Jumat, 16 Juli 2010

POSISI DESA DALAM MATA RANTAI PEREKONOMIAN NASIONAL-GLOBAL [1]


oleh Robert B. Baowollo[2]


Pengantar

Laporan Awal tahun 2007 dari Bank Dunia menyebutkan bahwa (a) (ternyata) perekonomian desa adalah kontributor terbesar bagi perekonomian global[3]; dan karena itu (b) keterkaitan ekonomis antara desa dan dunia pasar global adalah sebuah realitas praksis ekonomi pasar yang asimetris. Terlepas dari persoalan sifat dasar kapitalisme yang mengakui (bahkan menghendaki) realitas ketidaksetaraan, persoalan kita tidak terletak pada soal percaya atau tidak percaya dan menerima atau menolak kesimpulan tersebut, melainkan pada upaya menemukan argumentasi mengapa kita percaya atau tidak percaya, menerima atau menolaknya. Hanya dengan demikian kita bisa belajar sesuatu dari kesadaran atas perjumpaan dengan realitas yang tidak berimbang itu, terutama tentang perilaku ekonomi pasar global dan pengaruhnya terhadap perilaku ekonomi masyarakat pedesaan. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan di mana posisi desa dalam perekonomian pasar global dalam kajian ini pertama-tama tidak dicari pada locus geo-ekonomi (dan geo-politik)[4] melainkan pada focus pola pikir ekonomi yang melandasi dan mendorong perubahan perilaku ekonomi (di) pedesaan yang gamang menghadapi hegemoni ekonomi pasar global.
Developmentalisme Orde Baru dan fakta streaming up tendencies (lawan dari trickle down effect seperti yang selalu digembar-gemborkan) adalah sebuah pelajaran berharga bagaimana pembangunan menjelma menjadi sebuah ideologi yang anti-kritik. Dalam ekonomi developmentalisme Orde Baru negara tampil sebagai regulator sekaligus wasit untuk dirinya sendiri dalam rangka mengejar tujuan yang ia patok sendiri pula. Lalu kita menemukan fakta bahwa ternyata pertumbuhan ekonomi yang dikejar hanya menghasilkan landasan perekonomian yang keropos. Malapetaka krisis moneter tahun 1998/99 adalah bukti tak terbantahkan. Teori trickle-down effect untuk sebagian memang terjadi tetapi tidak signifikan. Rejeki pembangunan memang sempat menetes ke bawah tetapi sebagian besar tetesan yang kental justru ‘nyangkut’ pada kroni dan kalangan terbatas. Tetesan ‘encer’ yang sampai ke bawah belum banyak mempengaruhi struktur ekonomi pedesaan secara bermakna, dan karena itu tidak dapat diklaim sebagai telah memberi kontribusi bagi penguatan fondasi ekonomi Indonesia. Proses deagrarianisasi[5] yang ditandai dengan alih-fungsi dan alih-kepemilikan lahan pertanian di pedesaan, migrasi tenaga kerja produktif dari desa ke kota secara massal dari waktu ke waktu, meningkatnya angka pengangguran dan jumlah orang miskin – semuanya adalah bukti kegagalan dogma trickle down effect developmentalisme tadi. Upaya pertumbuhan memang meroket dan amat mencengangkan, menimbulkan kekaguman seluruh jagat ekonomi, tetapi menghasilkan bangun ekonomi yang jomblang alias tidak merata, bahkan nyaris jadi piramida terbalik, sehingga ketika badai krisis moneter menerpa Indonesia saat itu, kita tidak memiliki fondasi yang cukup kuat untuk menahannya[6].
Apa sebenarnya yang terjadi saat itu? Yang terjadi adalah efek streaming up sebagaimana dipertontonkan data Bank Dunia itu. Orang kecil mensubsidi orang kaya dan negara miskin mensubsidi negara kaya. Dalam batas-batas tertentu eskpektasi trickle down effect memang terjadi tetapi jauh dari memadai. Secara irroni, trickle down effect itu justru terjadi dalam bentuk negatip seperti pencemaran lingkungan oleh limbah industri dan rusaknya lingkungan hidup. Laut dan sungai tercemar logam berat. Ikan dan udang pun enggan hidup di sana. Manusia yang mandi dan minum dari sungai terkena berbagai penyakit kulit. Demikian pula hutan yang habis dibabat dan kayunya dijual secara gelondongan dalam jumlah yang massif menghasilkan banjir dan pemanasan global – semuanya mengancam keseimbangan ekosistem secara permanen. Belum lagi kita berbicara tentang aneksasi tanah, hutan dan pantai serta laut milik masyarakat adat – semuanya atas nama pembangunan dan kepentingan negara yang diatur dalam UU. Warisannya adalah sengketa kepemilikan tanah dan perang antarsuku yang tak kunjung berhenti di berbagai penjuru tanah air.
Kritik dan sikap kritis terhadap pembangunan dengan ideologi develompentalisme nyaris dilawan dengan senjata pamungkas ideologis pula: orang-orang anti-pembangunan yang ekuivalen dengan komunis/PKI, separatis, dissident, dan lain sebagainya. Paradigma pembangunan pun kemudian seolah bergeser dari developmentalisme ala Orde Baru ke pendekatan ekonomi pasar. Tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah kegamangan pemerintah antara pilihan menyerahkan urusan pembangunan ekonomi pada mekanisme ekonomi pasar atau tetap pada kendali negara secara ketat dengan alasan nasionalisme. Karena memilih filosofi ekonomi pasar bebas mengandaikan adanya kesediaan untuk melepaskan seluruh atau sebagian kewenangan dan campur tangan Negara atas pasar.
Dalam ekonomi pasar (neoliberal) segala urusan produksi dan pasar diserahkan kepada individu dan swasta. Negara cukup mengatur hal-hal yang ‘seperlunya’ saja dalam berbagai bentuk (de)regulasi. Dalam kenyataan negara dan nasionalisme selalu mengalami kesulitan besar dalam mendefinisikan hal yang ‘seperlunya’ itu. Dan kita benar-benar sedang ‘menunggang macan’ globalisasi yang tidak dapat kita kendalikan: kalau turun akan dimangsa macan. Mau terus, pertanyaannya kemana? Kita tidak saja tak kuat dan tak memiliki keberanian menyuruh macan berhenti di pasar rakyat, biar hanya untuk sejenak sekedar mau pipis. Kita juga tidak punya kemampuan negosiasi yang cukup kuat untuk ikut menentukan arah perubahan ekonomi pasar global. Globalisasi mempunyai tujuan sendiri dan dia tidak merasa wajib untuk bertanya kepada komunitas desa, mereka mau kemana.
Apa yang kita saksikan kemudian adalah ketimpangan perilaku ekonomi di mana orang miskin mensubsidi orang kaya, desa mensubsidi kota, dan negara miskin mensubsidi negara kaya – semuanya berlangsung secara involuntarily dan unintentionaly. Paper ini mencoba mengangkat dua dari sederet persoalan yang ditimbulkan oleh relasi asimetri antara ekonomi pedesaan dan ekonomi pasar global tersebut, yaitu (a) persoalan perobahan perilaku ekonomi pedesaan sebagai dampak dari hegemoni (perilaku) ekonomi pasar global, yang berada pada rentang persoalan sekaligus keruwetan hukum pasar, neo-liberalisme dan mimpi welfare state, etika ekonomi dan etika pembangunan; dan (b) respon masyarakat yang merasa tersubordinasi (baca: terkolonisasi) secara ekonomi dan mempersepsikan substansi dan sifat ancaman kolonisasi baru itu sebagai ancaman ideologis seperti (neo)kapitalisme, (neo)liberalisme, (neo)kolonialisme dan sebagainya – yang harus dilawan dengan nasionalisme dan nasionalisme agama (religious nationalism).
Nasionalisme dalam sejarah dunia, sayangnya, cenderung menjadi ideologi dan mengeras menjadi semacam fundamentalisme baru dalam nama-nama seperti religious nationalism dan/atau ethno-nationalism. Bentuk-bentuk fundamentalisme ini muncul tidak sebagai sebuah wacana baru yang menawarkan jalan keluar dari kebuntuan sebuah ideologi lain, melainkan lebih sebagai reaksi terhadap wacana yang sudah ada yang dipersepsikan sebagai ancaman. Oleh karena itu diskursus fundamentalisme ekonomi pasar bebas versus nasionalisme adalah diskursus yang tidak produktif, karena modus reaksi tersebut juga bukanlah sebuah kesadaran epistemis berdasarkan pemahaman komprehensif dan penguasaan detil perilaku ‘ideologi’ yang hendak dilawan, melainkan lebih karena ketidakmampuan, atau seringkali kemalasan, dalam mengidentifikasi karakteristik dan memberikan nama kepada sesuatu yang tak disukai itu. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, yang ditawarkan ideologi baru juga bukan sebuah konsep ekonomi alternatif (yang lebih baik dan tidak memiliki defisit karakter yang ditudingkan pada karakter ideologi yang hendak dilawan) semisal ekonomi syariah dengan argumentasi yang meyakinkan.
Massa iya sih? Tidak percaya? Coba perhatikan kasus berikut. Orang-orang (didorong) memindahkan rekening mereka dari bank konvensional ke bank syariah karena menganggap bank konvensional itu antek kapitalis jahanam (motif evil avoidance) dan demi menghindari riba (motif seek for goodness). Tetapi setelah berpindah ke bank syariah, orang (kembali) mengisi formulir untuk memohon kartu kredit dari bank syariah juga yang menyediakan fasilitas itu karena para customers itu tetap membutuhkan sebuah makhluk kapitalis bernama credit card sejauh belum ada cara yang paling praktis, efisien dan legal untuk berjalan keliling dunia tanpa harus menggotong uang sekarung dan tidak terkena persoalan hukum. Menghindari sifat buruk yang satu tetapi mencintai sifat serakah yang lain. Ia menjadi semacam jalan lingkar: keluar dari kapitalisme untuk kembali lagi ke kapitalisme melalui ruang tengah bank syariah.

1. Paradoks relasi ekonomi Desa-Dunia sebagai paradoks perilaku ‘Ndeso-Mondial’.

Secara paradoks data Bank Dunia di atas dapat kita baca sebagai persoalan (baca: skandal) mengelembungnya pundi-pundi pelaku ekonomi pasar global dan melimpah-ruahnya isi meja makan tuan-tuan di negeri-negeri kaya-raya di dunia dan (segelintir) orang kaya di negara-negara miskin. Ini adalah bentuk pengorbanan involuntarily ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang sesungguhnya kaya dengan sumber daya alam tetapi miskin daya saing dan daya tawar di belantara pasar global yang aturan mainnya ditentukan dan dikuasai para pemilik modal trans-nasional. Dalam konteks ini desa dan orang desa adalah nowhere dan nobody dalam jejaring raksasa ekonomi pasar global. Tetapi desa seperti apa yang sedang dan hendak kita bicarakan di sini? Pertanyaan ini juga tidak mudah dijawab karena sampai detik ini, di satu sisi, kita memiliki desa yang setelah setengah abad merdeka keadaannya tidak lebih baik dari kondisi sebelum merdeka atau tidak merdeka sama sekali, bahkan nyaris tertinggal dalam isolasi jaman batu. Sementara di sisi lain ada juga desa yang sudah bisa berbicara mendunia lewat dunia maya dan berhubungan dagang langsung dengan mitra mereka di belahan bumi lain.
Angka-angka Bank Dunia tentang proporsi persentase 80:20 sumbangan desa-kota bagi perekonomian dunia dan 85:15 bagi perekonomian nasional negara-negara berkembang adalah potret yang amat mencengangkan. Angka-angka itu datang dari perhitungan rumit ribuan data berisi angka-angka dari seluruh penjuru dunia, dengan asumsi-asumsi dan dalil-dalil ekonomi dan formula yang tidak mudah dimengerti oleh orang awam. Karena itu saya kuatir kita hanya sampai pada batas tercengang dan terpesona, bahkan terbengong-bengong pada angka-angka yang menjadi representasi sebuah realitas disparitas yang nyaris absurd seperti itu tetapi tidak tergerak untuk bertanya lebih lanjut, apa lagi mau belajar sesuatu dari fakta tersebut.
Adalah tugas teori dan para teoretisi untuk menyederhanakan fakta yang bertumpuk dan tidak terstruktur menjadi sejumlah dalil pengetahuan yang memiliki struktur logis dan memudahkan penjelasan dan pemahaman. Tetapi untuk memahami dalil dan penjelasan yang disederhanakan tersebut diasumsikan bahwa orang (sudah) memiliki sejumlah perangkat pengetahuan awal yang relevan (preknowledge) sebagai prasyarat untuk masuk ke dalam struktur teori yang dibangun tersebut. Tanpa pengetahuan yang diprasyaratkan, seseorang yang bertanya adalah seorang awam yang terus-menerus membangun hipotesis dan praduga di atas asumsi yang keliru dan tanpa basis, akhirnya mendarat pada persepsi dan konsepsi antagonis, tidak utuh dan bahkan keliru, dan menjebak tumbuhnya prasangka ekonomi dan sosial. Kita menyaksikan bagaimana respon terhadap neo(liberalisme) yang mendasari sepak terjang ekonomi pasar global cenderung memakai dalil ideologis (seperti nasionalisme dan fundamentalisme agama) dan bukan dengan dalil ilmu ekonomi.
Mari kita lihat illustrasi dinamika ekonomi di desa yang amat sederhana dan mungkin agak bodoh berikut ini untuk memberikan gambaran bagaimana ekonomi desa mensubsidi ekonomi kota, bagimana ekonomi negara miskin mensubsidi negara maju – yang harus kita baca sebagai proses pemiskinan desa untuk penggendutan perut orang kota (baca: para pemilik modal) dan penguasa ekonomi pasar mondial.
Sebelum pemerintah membuka jalan yang mengakhiri isolasi desa A dengan dunia luar (baca: pasar), maka para petani di desa itu harus memikul sendiri kopra atau pisang ke pasar sejauh puluhan kilometer. Tata buku petani hanya mencatat (baca: mengingat) hasil menjual kopra atau pisang sebagai pemasukan, dan jumlah uang hasil menjual kopra dan pisang yang dipakai untuk membeli ikan dan alat tulis untuk anak sekolah di kampung dicatat (baca: diingat) sebagai pengeluaran. Sisanya disimpan di bawah bantal atau di dasar peti kayu sebagai tabungan. Mereka juga menghitung jumlah pohon kelapa, cengkeh, kemiri dan lain-lain sebagai kekayaan mereka in natura. Tetapi pekerjaan menjaga ladang jagung selama tiga bulan dari serbuan monyet liar dan babi hutan, atau tenaga dan waktu yang dipakai untuk memikul 80 kilogram kopra naik-turun gunung untuk mencapai pasar di kota, oleh orang desa tidak dihitung sebagai biaya produksi. Bandingkan dengan tengkulak atau pedagang di kota yang tidak menanam dan tidak memikul dari desa ke kota, apalagi menjaga tanaman selama berbulan-bulan, tetapi dengan ongkang-ongkang kaki sudah bisa memperhitungkan biaya produksi dan transportasi sebagai variabel penentu harga jual untuk memprediksi laba.
Dengan memakai asumsi sebuah ‘angka moderat’ bahwa pendapatan per keluarga per hari US$2, maka di desa dengan jumlah pendudukan 100 KK terdapat ‘akumulasi kekayaan’ komunitas desa dalam sebulan mencapai 100x30xUS$2 = US$6.000 (x Rp.9.250 = Rp.55.500.000,-). Mencengangkan? Tunggu dulu! Pemerintah yang melihat potensi ekonomi desa itu kemudian memutuskan untuk membangun jalan raya menghubungkan desa yang terisolasi secara ekonomi dengan pasar. Masalah mobilitas memang ampuh untuk menjawab persoalan efisiensi waktu dan biaya transportasi. Artinya proses perubahan barang mentah (natura) menjadi uang menjadi semakin cepat dan praktis. Sampai di sini selesaikah persoalannya? Tunggu dulu!
Pembukaan jalan raya sebagai akses ekonomi adalah juga pembukaan gerbang kapitalisme dan konsumerisme yang menyerbu dan mempengaruhi ruang-ruang kehidupan dan perilaku ekonomi masyarakat desa. Sejak kendaraan bermotor pertama masuk ke desa itu maka daftar jumlah dan ragam kebutuhan orang desa pun semakin panjang: kredit sepeda motor, beli hand-phone terbaru (walau kadang di daerah itu belum ada singnal telepon seluler sama sekali atau ada tetapi sangat lemah). Urusan mencari uang untuk membeli pulsa sudah menggantikan urusan mencari rumput untuk kambing atau sapi. HP adalah sebuah variasi ‘peternakan baru’ yang setiap hari harus diberi makan.
Jika dalam sehari terdapat rata-rata lima angkutan umum yang beroperasi masing-masing dua kali pulang dan pergi, dengan rata-rata muatan sepuluh penumpang, maka dalam sebulan uang dari desa secara sistematis mengalir balik ke atas: mula-mula masuk ke dalam kocek pengusaha angkutan, terus naik kocek dealer kendaraan bermotor, dan terus naik lagi ke kocek industri otomotif nasional dan seterusnya menyeberang lautan ke kocek para pemilik perusahaan raksasa industri otomotif di Jepang, Korea, Eropa atau Amerika sana, dan seterusnya ke rekening lembaga-lembaga kredit dunia semisal Bank Dunia atau IMF, kira-kira menjadi: 5(angkot) x 2(2 trayek pp) x 10(penumpang) x Rp.10.000,-(harga tiket sekali jalan untuk jarak tempuh 24 km) x 30(hari) = Rp. 60.000.000,-. Masya Allah! Itu baru angka pengeluaran dari sektor transportasi yang mengalir dari desa ke kota (baca: pemilik modal). Belum lagi uang dari ‘peternakan’ hand phone dan kredit sepeda motor atau beli organ/keyboard untuk pentas campur sari di kampung, atau belanja untuk pesta yang tak pernah berhenti sepanjang tahun.
Yang hendak ditunjukkan oleh ilustrasi yang sederhana dan dangkal di atas adalah proses sistematis pembentukan perilaku ekonomi konsumtif yang jauh lebih dasyat dan sulit dikendalikan ketimbang menyusun teori ekonomi untuk membentuk budaya produktif atau mencari ideologi tandingan untuk melawan hegemoni dan dominasi kapitalisme dan neo-liberalisme. Dalam mempersepsikan rasa keterancaman dan keterdesakan itu orang cenderung mempersalahkan kapitalisme dan neoliberalisme sebagai the big evils tetapi lalai melihat kerentanan diri terhadap godaan yang cenderung mengaburkan kebutuhan (need) dari keinginan (wish).

2. Mengapa perilaku ekonomi pasar mendikte perilaku sosial pedesaan?

Sifat sebuah sistem ekonomi sebagai baik atau buruk tidak turun dari langit, tidak juga terjadi secara serta-merta begitu sistem dan nama untuk sistem itu ditemukan. Hal baik atau buruk adalah domain moral, dan masalah moral adalah masalah konsensus sosial. Apa yang oleh masyarakat di sini dianggap buruk, ternyata pada masyarakat lain dianggap baik. Pesta adat kematian di Toraja atau Sumba oleh komunitas adat setempat masing-masing dianggap sebagai baik (kebanggaan dan terkait harkat dan martabat suku/marga). Sementara, untuk hal yang sama, oleh orang-orang rasional dianggap sebagai pemborosan besar-besaran dan kontraproduktif dengan semua aktivitas yang mereka sebut aktivitas ekonomi. Demikian pula, apa yang oleh sebuah masyarakat partikular dianggap sebagai virtue atau kabajikan/keutamaan terpuji, pada komunitas global justru dianggap sebagai kejahatan, seperti nampak dalam masalah terorisme atas nama agama. Jadi, apakah ekonomi pasar dan neo-liberalism itu baik atau buruk bagi ekonomi pedesaan dan komunitas pedesaan?
Ekonomi pasar global, yang dikuasai para pemilik modal dan jaringan ekonomi trans-nasional itu, bergerak mengejar sebuah tujuan yang ditetapkan para pemilik modal (semisal akumulasi modal dan penguasaan pasar trans-nasional). Karena itu desa dan ekonomi desa tidak pernah menjadi tujuan aktivitas dan ekspansi ekonomi pasar global. Bahwa desa juga ikut kecipratan rejeki dan menjadi lebih makmur dan lebih sejahtera – itu bukan tujuan primer ekspansi ekonomi pasar bebas melainkan sekedar efek, bahkan efek samping. Kita menyaksikan bagaimana ekonomi desa yang terperangkap dalam empang ekonomi global dan tidak memiliki pilihan lain atau jalan keluar. Juga tidak ada planet lain tempat melarikan diri agar bebas dari hegemoni perilaku ekonomi pasar. Karena itu ‘ikan-ikan’ yang berenang dalam kolam ekonomi pedesaan sangat rentan terhadap kontaminasi virus perilaku pasar global semisal konsumerisme. Yang paling jelek dan tragis adalah kalau desa hanya menjadi tempat pembuangan limbah pasar global dalam segala bentuk dan kualitas. Berikut ini saya memakai sebuah contoh lagi dari lapangan (kasus Flores Timur) untuk menjelaskan bagaimana perilaku ekonomi pasar mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat di pedesaan[7].
Tidak ada catatan sejarah yang dapat dipegang mengenai kapan pohon kelapa ditanam secara massal di pulau-pulau Indonesia Timur, baik sebagai perkebunan rakyat perorangan atau perkebunan milik pemerintah kolonial (ondeneming), sebagai komoditas perdagangan nusantara. Tetapi kopra sebagai komoditas perdagangan di kawasan itu sudah ada sejak jaman Belanda dan dalam jaman pendudukan Jepang dipacu secara besar-besaran untuk mendukung logisik perang Asia Timur Raya. Sejak itu kelapa adalah tanaman perdagangan yang sangat merakyat dan kopra adalah salah satu dari komoditas-komoditas yang paling mudah di antara berbagai hasil bumi penting lainnya di kawasan tersebut untuk disebut sebagai mata dagangan yang mudah menghasilkan uang.
Pada akhir tahun 60an dan awal 70an kopi muncul menggandeng kopra sebagai komoditas pertanian yang laku di pasar. Pada awal tahun 80an akibat harga cengkeh yang melambung, orang mulai menanam cengkeh. Sayang tanaman cengkeh tidak berkembang karena faktor iklim dan jenis tanah yang tidak cocok (selain faktor BPPC!). Booming perdagangan coklat di pasar dunia menyebabkan Malaysia membuka perkebunan coklat (kakao) secara besar-besaran di Sabah (Malaysia Timur). Usaha perkebunan kakao di sana menyedot ribuan tenaga kerja dari Indonesia Timur. Para perantau alias TKI perkebunan ini ketika kembali ke kampung halaman mereka di Flores membawa serta pengetahuan tentang kakao sebagai komoditas dagang, dan pengalaman bagaimana menanam kakao. Maka bertambahlah varian tanaman produksi yang dikelola rakyat pedesaan secara privat di kawasan itu.
Perubahan drastis justru baru terjadi pada akhir tahun 80an dan awal tahun 90an ketika jambu mete alias ‘jambu monyet’ menjadi primadona pasar dan kebetulan cocok dibudidayakan di tanah yang tidak terlalu membutuhkan banyak air (hujan) seperti NTT. Kebutuhan pasar produksi jambu mete yang terus meningkat membawa perubahan mendasar pada pola pertanian masyarakat pedesaan, terutama terkait pemanfaatan lahan tidak produktif dan lahan produktif. Ada hal yang harus disesali tetapi ada juga hal yang harus disyukuri.
Jauh sebelum dikenal jambu mete sebagai sebuah komiditas pasar, para petani merusak alam dengan menebangi pohon hanya untuk menanam jagung atau kacang di sela-sela batu dan batu karang, atau dilereng-lereng bukit dan tebing curam. Nilai panen yang diperoleh dari menanam jagung dan kacang-kacangan ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat penggundulan hutan dengan bencana derivatifnya seperti banjir dan tanah longsor, rusaknya jalan raya dan prasarana publik lainnya yang dibangun dengan swadaya. Namun setelah mereka berganti menanam jambu mete, maka kawasan yang gundul serta lahan-lahan kritis itu telah menjadi ‚hutan’ tanaman produksi yang hijau sekaligus menghijaukan kawasan yang gersang itu.
Sementara itu, godaan untuk mendapatkan uang secara mudah dari menanam dan menjual jambu mete membuat para petani ‚mengkonversi’ lahan-lahan produktif yang semula diperuntukkan bagi pertanian padi dan jagung menjadi ‚perkebunan’ jambu mete. Produksi jambu mete memang meningkat tajam. Tetapi justru pada titik inilah terjadi perobahan besar-besaran pola perekonomian pedesaan yang seterusnya mempengaruhi pola kehidupan sosial mereka. Pada satu sisi memang orang menjadi lebih kaya dalam pengertian memegang uang tunai di tangan, tetapi di sisi lain orang menjadi rentan dalam hal ketahanan pangan. Jika sebelumnya mereka masih mengenal sawah dan ladang serta lumbung padi dan jagung, kini mereka harus tergantung pada mekanisme pasar beras (dan lain-lain) yang berada di luar kendali mereka, termasuk pasokan pangan dari petani di daerah/provinsi lain. Pola konsumsi pun berubah: dari makan padi ladang dan jagung serta umbi-umbian menjadi konsumen murni beras. Kampanye pemerintah untuk diversifikasi pangan menjadi mubasir. Cerita membangun lumbung padi dan pesta panen pun tinggal cerita masa lalu. Dan bayang-bayang nasib petani cengkeh yang jadi korban BPPT adalah sebuah bayang-bayang yang amat riil. Sebuah masyarakat yang secara ekonomi ketika memasuki panggung ekonomi pasar telah berubah menjadi individu dan komunitas yang bergantung.
Para petani itu menjadi pemasok bahan produk pertanian, yang jika mengalami sedikit sentuhan teknologi pengolahan hasil pertanian akan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Pemerintah daerah hanya berkepentingan dengan booming jambu mete ini untuk satu urusan: mengejar para tengkulak sampai ke desa-desa dan kebun para petani untuk memungut retribusi dari transaski penjualan jambu mete demi peningkatan PAD. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Wakil Presiden Yusuf Kalla ketika turun ke Kupang tahun lalu sempat menjanjikan akan mendirikan parbrik pengolahan jambu mete di kawasan itu. Janji tersebut, sejauh saya belum mempunyai informasi terbaru, masih tetap janji yang disusul daftar YK-promises lainnya seperti janji rekonstruksi rumah pasca gempa 30 JUTA di Yogyakarta!
Ketika saya berbincang-bincang dengan orang-orang di kampung tentang teknologi tepat guna mengolah biji jambu mete untuk menaikkan nilai tambah, mereka dengan polos menjawab: „Ah, itu hanya merepotkan. Bikin tangan kotor saja. Lebih baik petik, langsung jual, dapat uang. Habis perkara! Jawaban ini mengisyaratkan adanya persoalan lain di luar hukum ekonomi, dan membutuhkan pembenahan dari luar disiplin ilmu ekonomi – agar ekonomi desa tidak tersandra faktor mentalitas!
Bagaimana menjelaskan semua ‚revolusi’ perilaku ekonomi pedesaan ini? Pihak mana yang paling bertanggungjawab dalam merobah mentalitas manusia-manusia merdeka di pedesaan menjadi manusia-manusia tergantung dan selalu dihantui ketidakpastian pasar yang berada di luar kendali mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini juga tidak tunggal dan tidak mudah. Tapi baiklah kita coba melihat persoalannya dengan mengamati sifat dan perilaku ekonomi pasar itu sendiri pada makhluk yang bernama neoliberalisme.
Ekonomi pasar pertama-tama terkait dengan sistem sosial pembagian kerja yang mengedepankan azas kepemilikan pribadi dan (lawan dari kepemilikan kolektif) penguasaan alat-alat produksi berada di tangan swasta. Negara cukup mengatur hal-hal seperlunya saja. Neoliberalisme, menurut B. Herry-Priyono (2004), adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain dalam diri manusia; dan merupakan dominasi sektor finansial atas sektor riil dalam tata ekonomi-politik. Sebagai homo oeconomicus seluruh transaksi relasi antar manusia adalah transaski ekonomi, bukan transaksi yang lain. Dengan demikian hubungan manusia tidak lebih dari hubungan yang didasarkan atas perhitungan untung dan rugi. Jika demikian apakah keuntungan dan kerugian yang diperoleh komunitas desa ketika memasuki relasi ekonomi pasar global?
Boleh percaya, boleh tidak, tetapi dalam sistem ekonomi pasar yang menentukan produksi adalah konsumen. Produksi dan tayangan sinetron tertentu di televisi akan dihentikan jika survei rating menunjukkan bahwa acara tersebut tidak diminati pemirsa lagi. Demam hobby aneh seperti memburu ikan louhan atau ayam bekisar akan jenuh dan hilang ketika para penggemarnya ganti hobby. Demikian pula perburuan tanaman hias seperti anthurium dengan fluktuasi harga yang irasional. Tiba saatnya tanaman yang dinilai jutaan rupiah itu hanya akan menjadi seonggok rumput biasa tanpa harga – juga ditentukan oleh konsumen. Dengan kata lain, dalam sistem ekonomi pasar, konsumenlah yang menentukan apa yang diperlukan. Yang berada pada posisi bergantung adalah pemilik modal, pengusaha atau pemilik lahan produksi yang berusaha terus menerus, antara lain melalui survei pasar, untuk mengetahui jenis kebutuhan pasar, dalam kualitas dan kuantitas seperti apa, untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan keuntungan dari perilaku homo economicus itu. Lalu, kenapa ketika desa menjadi tujuan penyerbuan produksi pasar, justru kapitalisme yang disalahkan? Pasti ada yang salah!

3. Neoliberalisme versus Dua Fundamentalisme

Sejarah perlawanan terhadap neoliberalisme yang menjadi jiwa filosofi ekonomi pasar bebas sesungguhnya memiliki akar dalam perlawanan terhadap ideologi-ideologi asing seperti kapitalisme dan sosialisme. Yang menarik dari semangat perlawanan itu adalah muatan attitude anti-ideologi yang lahir dari pengalaman empirik kolonialisme serta hegemoni identitas yang dibawanya. Karena itu itu sikap anti-pasar bebas dan anti-neoliberalisme lebih merupakan reaksi dan ekspresi kebencian berbasis pengalaman historis terhadap praksis kolonialisme ketimbang terhadap sifat buruk dari sebuah ideologis atau sistem ekonomi itu sendiri. Lihat saja kegagapan kita ketika hendak merumuskan apa itu ekonomi Pancasila. Yang muncul adalah definisi negasi: ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang bukan liberal, bukan, kapitalis, bukan sosialis, bukan marxis. Kalau bukan semuanya itu, lalu apa? Dalam kegamangan ini lalu muncullah kosa kata nasionalisme sebagai jawaban untuk memenuhi tuntutan plausibilitas dari setiap pendapat dan/atau argumentasi. Maka ideologi sebagai kesadaran semu (falsches Bewusstsein) menemukan penjelasannya yang paling sempurna di sini.
Sikap anti ideologi asing sebagaimana disebutkan di atas tidak lepas dari pengetahuan dan pengalaman kolonialisasi ideologi kapitalis (blok) Barat sosialis di (blok) Timur dalam era perang dingin. Karena itu perlawanan terhadap hantu kapitalisme dan pasar bebas saat ini tidak dapat bebas dari kecurigaan dan kebencian terhadap kolonialisme dan bangsa-bangsa kolonial yang dilihat sebagai satu paket berisi bangsa, budaya, agama, ideologi, politik dan ekonomi, dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika perlawanan terhadap kolonialisme Barat mulai dari Afrika Utara, Asia Selatan dan Tenggara tidak bebas dari jargon-jargon dan sentimen agama. Demikian pula cara-cara yang dipilih untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara yang tertindas untuk melawan segala bentuk kolonialisme pun mencari legitimasinya di dalam teks-teks Kitab Suci. Maka lahirlah religious nationalism sebagai sebuah embrio fundamenalisme lain yang mempersepsikan kolonialisasi ekonomi dan politik sebagai persoalan hegemoni identitas dan/atau penindasan atas kelompok-kelompok/komunitas berbasis identitas keagamaan.
Lalu di mana posisi desa dan orang desa? Benarkah desa dan orang desa adalah nowhere dan nobody dalam jagat pertarungan ideologi di atas? Jawaban atas pertanyaan ini kembali menjadi mengambang ketika kita menyaksikan bahwa: (a) seharusnya nasionalisme itu membentengi kepentingan desa dan orang desa dari kooptasi yang unintended oleh ekonomi pasar global; dan untuk itu (b) nasionalisme seharusnya mampu meredam gejolak fundamentalisme lain di dalam negeri seperti fundamentalisme agama sehingga terdapat kekuatan yang utuh dan solid melawan hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme dari luar; tetapi pada kenyataannya (c) nasionalisme dan fundamentalisme agama kehilangan energi karena berambisi untuk saling menaklukkan dan bila perlu saling menihilkan. (d) Yang tersisa adalah kebenaran pepatah Romawi kuno: pecunia non olet (uang itu tidak bau). Baik nasionalisme maupun fundamentalisme agama ternyata amat mudah tertaklukkan oleh uang.

4. Tugas civitas akademik.

Siapa yang harus menolong desa dan orang desa agar tidak tertelan oleh arus ekonomi pasar global, dan sebaliknya, bisa mengambil manfaat dari realitas ekonomi global tersebut? Ketimpangan kontribusi ekonomi antara desa dan kota, antara negara miskin dan negara kaya, terhadap terhadap perekonomian global, dan fakta tragis bahwa redistribusi kesejahteraan itu ternyata berbanding terbalik di mana kontributor kekayaan dunia itu adalah orang-orang miskin di pedesaan yang masih akan tetap miskin selama struktur ekonomi masih seperti itu, maka tugas ilmuwan dan calon pembangun masyarakat pedesaan adalah mengkaji apakah kepincangan itu merupakan produk dari penerapan cara-cara politik dalam ekonomi untuk memperoleh kekayaan dengan metoda agresi dan koersi; atau kekayaan segelintir orang dan segelintir negara itu diperoleh melalui cara-cara ekonomi seperti menabung dan akumilasi modal untuk investasi? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana relevansi nasionalisme dan fundamentaslime agama dipakai sebagai senjata melawan neoliberlaisme.
Pekerjaan yang lebih menantang para calon pemimpin desa untuk meningkatkan ekonomi pedesaan adalah: (a) mengidentifikasi sumber daya alam di desa dan mengelolanya bersama dengan komunitas setempat sebelum diincar dan dikuasai oleh cukong dan konglomerat kroni para penguasa di pusat kekuasaan; (b) menggeser fokus aktivitas ekonomi pedesaan, dari produksi (saja!) menjadi pengolahan hasil produksi untuk menaikkan nilai tambah; dan (c) mengembangkan pasar dan mekanisme pasar untuk pertukaran dan/atau transfer kontraktual. Produksi tanpa industri pengolahan hanya menempatkan petani dan nelayan pedesaan menjadi pemasok bahan mentah abadi dan tumbal dari ketidakadilan dalam matarantai ekonomi pasar global. Industri pengolahan tanpa mekanisme pasar yang saling menguntungkan hanya akan mematikan upaya pertama. Melawan neoloberalisme harus dengan argumentasi ekonomi. Nasionalisme dan fundamentalisme agama saja tidak cukup.
***

[1] Disampaikan pada seminar Dies Natalis Sekolah Tinggi Pembangunan Pedesaan “AMPD’ Yogyakarta, 15 November 2007
[2] Peneliti independen masalah-masalah ethno-religious conflicts and fundamentalism, ‘Peace Concrete – an international network of Pen for Peace’. Mail address: baowollo@yahoo.de; baowollo@web.de.
[3] Lihat Term of Reference untuk seminar: “[…] sekitar 80% perekonomian global disumbangkan oleh desa melalui sektor, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, sayur-mayur dan sebagainya. Hanya 20% perekonomian global disumbangkan oleh sektor perkotaan melalui sektor korporasi, jasa, konstruksi, properti, transportasi dan sebagainya. Sekitar 85% perekonomian nasional di negara-negara berkembang dan terbelakang disumbangkan oleh desa. Tetapi ironisnya, sekitar 85% penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, mayoritas tinggal di desa (Bank Dunia, 2007)”
[4] Untuk urusan yang ruwet ini sebaiknya kita serahkan kepada para ahli ekonomi.
[5] Saya berterimakasih kepada Gerry van Klinken atas pengenalan istilah ini dalam analisisnya terhadap akar konflik di Indonesia.
[6] Ada asumsi lain yang menyebutkan krisis moneter saat itu tidak berpengaruh terhadap ekonomi pedesaan karena ekonomi pedesaan praktis tidak bergantung pada praksis ekonomi pasar global. Pernyataans emacam ini tentu harus diterima dengan sikap kritis, karena tidak terpengaruhinya ekonomi pedesaan oleh krisis moneter yang dianggap menjadi potret independensi perekonomian di desa tidak serta-merta identik dengan klaim kokohnya fundamen ekonomi ansional.
[7] Pengaruh ekonomi pasarglobal atas perilaku sosial, budaya dan lain-lain dengans engaja tidak dibahas di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar