Selasa, 20 Juli 2010

Perdamaian di Aceh: Jalan Melelahkan dari Acheh Menuju Aceh

Oleh Robert B. Baowollo


Perang adalah kontinuum sejumlah pertempuran yang terdiri dari kalah dan menang. Si vis pacem para belum! Jika saudara menghendaki peredamaian maka bersiaplah untuk peperangan! Perdamaian menjadi tujuan perang – sebuah adagium yang aneh yang dikemukakan oleh sejarahwan Romawi Titus Livius (59SM-17M) dalam bukunya Ab Urbe Condita.

ROBINOCRACY: DEMOKRASI DAN KORUPSI

Robert B. Baowollo
„Tanpa korupsi tak mungkin ada sistem multi partai“, demikian Hannes Stein dalam rubrik debat di harian Die Welt (10/7) menyoroti praksis korupsi yang terjadi dalam pemerintahan Jerman sepanjang sejarah dengan menyebut dua tesis provokatif. Pertama, bahwa hal suap-menyuap itu adalah sesuatu yang manusiawi, yang terkait dengan kodrat manusia dalam realitas sosial sepanjang sejarah; kedua, belum pernah dalam sejarah terdapat suatu upaya perang total melawan korupsi sampai tuntas.

Impunity dan Politik Public Relations

Robert B. Baowollo*

Banyak logika konflik di Indonesia telah mengalami proses penjungkirbalikan yang luar biasa dalam bahasa manipulasi politik mulai dari yang sangat kasat mata hingga yang sangat halus. Korban dapat berganti posisi menjadi pelaku sekaligus tertuduh hanya karena ia berada dalam posisi yang lemah dari suatu sistem kekuasaan dan sistem sosial yang dikuasai pihak lain. Orang Aceh dan Papua marah karena Jakarta telah berlaku tidak adil kepada mereka selama puluhan tahun tetapi Jakarta terus saja melihat diskursus Aceh dan Papua sebagai diskursus separatisme dan karena itu soluasinya juga selalu solusi militeristik dan terus melestarikan ketidakberdayaan sturktural ini. Para koruptor dan penyuap juga terus saja berjaya sambil melepaskan tabir kentut yang menimbulkan polusi akal sehat manusia Indonesia: Indonesia menduduki peringkat atas negara terkorupsi di dunia tetapi tidak ada koruptor. Para koruptor itu bukanlah orang-orang bodoh. Dan kita diperhadapkan pada fenomena the educated tyranny and the civilized powerless.

Pemilu, Sirkulasi Élite dan Politisi Busuk

Robert B. Baowollo*

(Catatan: artikel ini merupakan makalah Voter Education tahun 2004 - Center for East Indonesian Affair - CEIA).


Wacana menolak politisi busuk tidak bisa dibendung. Warga melihatnya sebagai hak demokrasi untuk mengontrol proses seleksi calon wakil rakyat, yang dalam kelatahan berpolitik di Indonesia dikategorikan sebagai kaum élite. Élite tetapi busuk – sebuah kontradiksi! Mengidentifikasi siapa saja yang termasuk politisi busuk, baru merupakan bagian kecil dari upaya menahan proses pembusukan yang lebih luas, yaitu pembusukan rejim. Pembusukan rejim terjadi pertama-tama karena para elit yang berkuasa enggan berbagai kekuasaan dengan elit lain yang masih segar dan berada di luar system kekuasaan. Proses pembusukan (decaying process) dalam bahasa awam dapat dilukiskan ibarat pohon yang kelewat tua dan membusuk dari dalam, ibarat besi yang karat, keropos dan mengalami material fatigue, ibarat manusia yang menjadi usur dimakan usia – tetapi tidak mau mengaku tua dan keropos, terus memaksa diri berkuasa. Beban politik yang semakin kompleks membuat proses keruntuhan akibat pembusukan hanya tinggal menunggu waktu.

MEMBANGUN HABITUS BARU UNTUK KEADABAN PUBLIK

MERUMUSKAN PERTANYAAN BARU UNTUK PERSOALAN LAMA TENTANG CHARACTER AND NATION BUILDING[1]
oleh Robert B. Baowollo[2]


Pendahuluan
Pertanyaan awal: bagaimana mengelola kemajemukan dalam sebuah komunitas multikultural sehingga kemajemukan itu tidak menjadi alasan hegemoni satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tetapi sebaliknya, menjadi inspirasi membangun keadaban publik di atas pengakuan kesetaraan martabat dan peran semua pihak? Dalam rumusan yang lebih sederhana: “bagaimana menciptakan kondisi kehidupan bersama di kota ini, sehingga setiap orang yang menjadi warga kota ini merasa memiliki kota ini. dan oleh karena itu terpanggil untuk melakukan yang terbaik untuk kotanya?

Minggu, 18 Juli 2010

KRISTIANITAS DAN ATEISME[1]




Oleh Robert B. Baowollo 


        1.        Obyek, Fokus dan Rumusan Pertanyaan Kita

Teisme dalam Kristianitas dan ateisme adalah dua pokok bahasan yang sangat luas. Kelas ini tidak hendak membahas semua hal tentang Kristianitas dan ateisme secara ontologis, melainkan berusaha membatasi diri pada upaya memahami jalan pikiran (proses bernalar/reasoning) dan argumentasi-argumentasi yang menjadi dasar kritik para ateis terhadap teisme dan agama, khususnya terhadap Kristianitas, di satu sisi, dan bagaimana Kristianitas sebagai sebuah sistem keyakinan menolak gugatan kaum ateis menyangkut klaim eksistensi Tuhan yang menjadi sumber, alasan, dan tujuan hidup manusia.

Sabtu, 17 Juli 2010

Informasi Buku: KEKUASAAN SEBAGAI WAKAF POLITIK - MANAJEMEN YOGYAKARTA KOTA MULTIKULTUR

Judul Buku: KEKUASAAN SEBAGAI WAKAF POLITIK - MANAJEMEN YOGYAKARTA KOTA MULTIKULTUR
Oleh: Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta)
Editor: Robert B. Baowollo
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
ISBN 978-979-21-1985-5
Harga: Rp.35.000,-

Informasi Buku: MENGGUGAT TANGGUNG JAWAB AGAMA-AGAMA ABRAHAMIK BAGI PERDAMAIAN DUNIA


Judul: MENGGUGAT TANGGUNG JAWAB AGAMA-AGAMA ABRAHAMIK BAGI PERDAMAIAN DUNIA
Pengarang: Robert B. Baowollo (editor)
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Kategori: Humaniora
Tanggal Terbit: 02-03-2010
ISBN: 978-979-21-2565-8
Harga: Rp. 35.000,-
Ukuran:125x200
Halaman: 176

Jumat, 16 Juli 2010

Peran Pemimpin Agama Dalam Praksis Resolusi Konflik - Civic Education for Religious Leaders (CEFREL)[1]

Peran Pemimpin Agama Dalam Praksis Resolusi Konflik - Civic Education for Religious Leaders (CEFREL)[1]
Oleh Robert B. Baowollo
Pengantar
Materi pelatihan ini merupakan pengembangan (pengayaan) dari materi yang sama, yang diberikan kepada peserta pelatihan CEFRL angkatan sebelumnya (3-8 September 2007). Pengembangan materi mencakup struktur dan isi materi pembelajaran. Dari segi struktur materi terjadi proses restrukturisasi pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang diselaraskan dengan struktur dan alur materi teoretis yang dibawakan oleh Bapak Purwaharsanto dan alur proses belajar yang terjadi di kelas. Dari sisi isi materi pembelajaran terjadi proses pengayaan dan pendalaman atas setiap komponen materi pembelajaran (sub-sub pokok bahasan) dengan lebih banyak belajar dari kasus di lapangan (case studies). Dengan upaya pengembangan tersebut diharapkan materi ini dapat memberi kontribusi yang optimal bagi peningkatan dan pemantapan pengetahuan dan/atau ketrampilan para tokoh agama dalam bidang resolusi konflik.

MANAJEMEN KONFLIK BERBASIS WARGA

Robert B. Baowollo

Pe
ngantar

Saya dengan sengaja memilih judul makalah berbeda dengan tema yang diberikan panitia (’Model-Model Resolusi Konflik Berbasis Karakter Lokalitas’) karena dua alasan: pertama, pembahasan dan diskusi tidak perlu terjebak pada pekerjaan melakukan kompilasi atas model-model resolusi konflik – suatu pekerjaan yang jelas tidak mungkin selesai dalam satu sesi diskusi; kedua, saya menghindari penggunaan frasa ’lokalitas’ atau ’karakter lokalitas’ karena ingin memberi tempat pada aktor lokal ketimbang karakteristik lokal dan deskripsi atau spesifikasi kondisi locus konflik. Saya memilih memakai frasa ’berbasis warga’ (community based) mengandaikan bahwa adalah komunitas yang terlibat dalam konflik itulah yang harus diberdayakan untuk menjadi aktor pertama dan utama dalam mengelola konflik, baik itu konflik intrakelompok maupun konflik antarkelompok.

POSISI DESA DALAM MATA RANTAI PEREKONOMIAN NASIONAL-GLOBAL [1]


oleh Robert B. Baowollo[2]


Pengantar

Laporan Awal tahun 2007 dari Bank Dunia menyebutkan bahwa (a) (ternyata) perekonomian desa adalah kontributor terbesar bagi perekonomian global[3]; dan karena itu (b) keterkaitan ekonomis antara desa dan dunia pasar global adalah sebuah realitas praksis ekonomi pasar yang asimetris. Terlepas dari persoalan sifat dasar kapitalisme yang mengakui (bahkan menghendaki) realitas ketidaksetaraan, persoalan kita tidak terletak pada soal percaya atau tidak percaya dan menerima atau menolak kesimpulan tersebut, melainkan pada upaya menemukan argumentasi mengapa kita percaya atau tidak percaya, menerima atau menolaknya. Hanya dengan demikian kita bisa belajar sesuatu dari kesadaran atas perjumpaan dengan realitas yang tidak berimbang itu, terutama tentang perilaku ekonomi pasar global dan pengaruhnya terhadap perilaku ekonomi masyarakat pedesaan. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan di mana posisi desa dalam perekonomian pasar global dalam kajian ini pertama-tama tidak dicari pada locus geo-ekonomi (dan geo-politik)[4] melainkan pada focus pola pikir ekonomi yang melandasi dan mendorong perubahan perilaku ekonomi (di) pedesaan yang gamang menghadapi hegemoni ekonomi pasar global.

Kamis, 15 Juli 2010

MULTIKULTURALISME DAN POLITIK IDENTITAS PASCA-REFORMASI[1]

Robert B. Baowollo[2]
Pengantar: ’Proyek Indonesia” dan Urgensi Membicarakan Multikulturalisme dan Politik Identitas

Ada tiga alasan utama mengapa kita perlu membicarakan kembali konsep kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia. Pertama, semangat dan komitmen bersama untuk ”menjadi Indonesia” (Anderson, 2002) melalui sebuah proyek nation building – ’Proyek Indonesia’ – untuk membangun dan memperkuat daya dukung serta daya rekat rasa kebangsaan mulai mengendor. Semangat kebangsaan kita sedang mengalami decaying process - yaitu proses pembusukan dan pengeroposan dari dalam melalui tindakan menjarah dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

MENJEMBATANI PRO DAN KONTRA UU PORNOGRAFI

Oleh Robert B. Baowollo
 
Polemik UU Pornografi baik sebelum maupun setelah disetujui oleh DPR, (masih) terpusat pada: (a) terminologi ‘porno’ dan ‘yang porno’ yang masih multitafsir; (b) kekuatiran akan ancaman potensial bagi disintegrasi bangsa; dan (c) kriminalisasi perempuan dan anak-anak. Sesungguhnya, ketiga fokus polemik itu berangkat dari satu persoalan induk, yaitu persepsi tentang ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain dalam bentuk pemaksaan sebuah sistem nilai dari sebuah kelompok identitas atas semua kelompok identitas yang lain – sebuah kondisi yang mencederai prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat multikultur. Bagi mereka yang setuju dengan UU Pornografi, fenomena maraknya pornografi di Indonesia dipersepsi sebagai bentuk ancaman nyata dan amat serius terhadap sistem nilai yang dianut kelompok mereka. Ancaman itu mengambil bentuk hegemoni kebudayaan sekuler dari Barat yang liberal atas sistem nilai sebuah masyarakat religius dari Timur yang menjaga norma-norma secara ketat.