Rabu, 27 Mei 2020

TENTANG “NEW NORMAL”


 oleh Robert B. Baowollo



Tentang Nama dan Asal Usul Istilah New Normal


Istilah “New Normal” yang jadi fenomenal saat ini sebagian besar dikaitkan dengan sikap hati-hati dan rasa prihatin dari para ahli ekonomi dan penentu kebijakan publik, terutama dengan merujuk pada situasi krisis finansial global pada tahun 2007 – 2008.

Inti pesan wacana new normal adalah bahwa masyarakat harus siap dan bisa hidup dengan realitas-realitas sosial ekonomi baru pasca-pandemi Covid-19 – terlepas dari persoalan apakah realitas sosial-eknomi baru itu menyenangkan atau menyulitkan.

Richard C. Marston dalam “Investing For A Lifetime - Managing Wealth For The “New Normal” (2014), menyebut nama Bill Gross dari Pacific Investment Management Co. (PIMCO) sebagai orang pertama yang mengenalkan istilah new normal ini dalam Morningstar Investment Conference yang diselenggaraan dalam bulan May 2009.

Namun demikian, sejatinya istilah new normal memiliki akar historis yang lebih panjang. Dimitris N. Chorafas dalam “Sovereign Debt Crisis - The New Normal and The Newly Poor”  (2011) menyebut dua nama besar sebagai bidan yang melahirkan istilah new normal: selain nama Bill Gross ada nama Mohamed El-Erian. Keduanya adalah CEO PIMCO. Sumber ini bahkan lebih menekankan peran Mohamed El-Erian dalam mencetuskan konsep new normal.

El-Erian melukiskan sebuah lanskap masa depan yang suram dimana pertumbuhan ekonomi tertekan, angka pengangguran tetap tinggi, sistem perbankan hanya akan menjadi “a shadow of its former self”, dan pasar sekuritis hanya mampu menjadi “the shadow of a shadow” (Chorafas 2011: hal. 9).

Walaupun demikian sejarah lahirnya istilah new normal masih dapat dilacak ke masa setelah Perang Dunia Pertama (PD-I). Adalah Mayer Amschel Rothschild (1744–1812), bankir legendaris Jerman berdarah Yahudi, dikabarkan pernah memberi ultimatum kepada jagad keuangan Eropa pada saat itu untuk bertindak radikal dan keras dalam situasi krisis: ‘Let me issue and control a nation’s money and I care not who writes the laws.’ Dan ternyata diktum ini sejalan dengan statuta dan kebijakan bank sentral Jerman saat itu (dan diaminkan tentu!).

Rothschild melihat kebangkrutan ekonomi Jerman lalu memutuskan melakukan tindakan radikal dan drastis dalam menghadapi realitas sosial eknomi saat itu dan untuk seterusnya konsekuensi apapun dari sikap dan keputusnanya itu ‘diterima” sebagai sebuah new normal.

Demikian, menurut Rothschild, PD-1 ternyata sia-sia karena tidak membawa kesehateraan bagi negara-negara yang terlibat dalam perang. Pernyataan Rothschild segera memicu kepanikan likuidasi sekuritas di London pada tanggal 30 Juli 1914, sementara pasar bursa di Berlin, Wiena dan Sankt Petersburg saat itu ditutup atas perintah penguasa masing-masing negara. The first days after the Great War saw the first glimpses of what was then a new normal (Chorafas 2011:hal. 12-13)


Implikasi New Normal atas Dunia Kerja

John Putzier dalam “Weirdos In The Workplace | The New Normal--Thriving in the Age of the Individual” (2004) menyebut nama Roger McNamee sebagai ‘penemu’ istilah ‘new normal’ yang berpendapat lebih radikal: new normal is a time of substantial possibilities dimana orang bisa “bermain” dengan aturan-aturan baru untuk jangka panjang dengan prinsip: melakukan hal-hal yang benar dan tidak tunduk pada tirani urgensi.

New Normal menuntut perubahan radikal dalam pola kepemiminan. Salah satu prinsip utama John Putzier adalah bahwa setiap pemimpin bisnis harus menjadi manajer sumber daya manusia, dan bahwa keberhasilan bisnis pertama-tama didorong oleh akal sehat. Oleh karena itu para pemimpin akan lebih fokus pada menemukan dan mempertahankan orang-orang dengan talenta terbaik, dan kunci kesuksesan adalah mendorong perubahan dan peningkatan dalam menyelesaikan pekerjaan setiap hari (John Putzier, 2004: hal. xvi).

Untuk itu seorang pemimpin harus bisa memastikan bahwa ia sendiri yakin akan langkah yang ia tempuh, kemudian memastikan bahwa orang-orang yang ia pilih memiliki sumber daya, dukungan, dan kebebasan untuk memenuhi tantangan — atau merebut peluang — ketika mereka harus tanpil (John Putzier, 2004: hal. xvii).

Kejutan yang muncul adalah didorongnya pengakuan akan diskriminasi dalam pengertian positif, yaitu bahwa orang yang memiliki selera berbeda itu adalah hal yang positif. Bahwa diskriminasi tidak hanya baik, tetapi itu benar dan perlu jika anda berharap memiliki harapan untuk berkembang di zaman Individu. “Discrimination is good; discrimination is right; discrimination is necessary! (John Putzier, 2004: hal.18-19)


Bagaimana Menghadapi New Normal?

Earl Wysong dan Robert Perrucci dalam “Deep Inequality | Understanding The New Normal And How To Challenge It (2018), memandang situasi ekonomi US yang stagnan sebagai sebuah new normal. 

New normal adalah sebuah realitas.  New Normal is a reality and that we must “meet this challenge by doing more with less.”

Oleh karena new normal itu nyata adanya, dan bahwa situasi itu tidak akan berubah dalam waktu dekat, maka rata-rata orang Amerika harus bisa menerima situasi itu dan belajar hidup dengan situasi dengan semua konsekuensi tidak-nyaman yang menyertainya. 

Ketidak-nyamanan yang menjadi implikasi dari prinsip “meet this challenge by doing more with less” adalah bahwa pemerintah harus mengurangi rancana anggaran belanja di berbagai sektor pembiayaan publik sebagai akibat dari penurunan pendapatan terutama dari sektor pajak (Earl Wysong, Robert Perrucci, 2018: hal. 2).

Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu keluar dari zona nyaman, berpikir out of the box dan bekerja dalam sebuah enthusiastic, winning team dan meninggalkan kultur kepemimpinan Walking Dead”.(John Dyer - The Façade Of Excellence | Defining A New Normal Of Leadership - Productivity Press (2020)

Mungkin di sini kita bisa meraba mengapa Presiden Jokowi banyak merekrut kaum milenial – khususnya milenial dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sosial Amerika Serikat – ke dalam barisan pemerintahan dan think tank staf khusus kantor presiden. 


Apa yang sudah dan bisa dilakukan?

Pemerintah China, misalnya, dalam menghadapi new normal mempergunakan legitimasi dari keputusan Kongres Partai Komunis China yang menetapkan langkah strategis “to conduct scientific regulation with a mark-based mechanism” (Xiaowu Song, Shiguo Wu, Xin Xu - The Great Change In The Regional Economy Of China Under The New Normal (2019: hal. 194-198)


New Normal, Hubungan sosial dan Civic Engagement

Pandemi Covid-19 membawa perubahan baru dalam relasi sosial baik dalam lingkaran keluarga maupun dengan masyarakat yang lebih luas. Joseph Gaugler dan Robert L. Kane dalam “Family Caregiving In The New Normal (2015), menyebut bahwa Pendemi Covid-19 menghadirkan disruptive changes. Jika di masa lalu persoalan perhatian pada anggota keluarga dalam situasi sakit bisa jadi beban yang terus bertambah, kini “new normal’ membuka peluang penggunaan teknologi dan informasi yang melimpah untuk merawat anggota keluarga (Gaugler & Kane, 2015: hal.1) dan dengan demikian mengurangi beban kewajiban memberi perhatian kepada keluarga secara tradisional dan konvensional. Dan bahwa kesadaran dan tindakan kepedulian itu ternyata meluas di seluruh kalangan masyarakat Amerika 

Bagi Gaugler dan Kane, kepedulian otentik itu tidak cukup diserahkan (mengandalkan) pada sistem sosial. Di sana ada dimensi personal yang mencakup dan menyentuh setiap individu dan ada kesadaran bahwa ternyata semua orang juga memiliki kesadaran subyektif yang sama sehingga terdapat potensi mobilisasi solidartas publik. Untuk itu masyarakat perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk kesejahteraan publik. Keluarga-keluarga perlu dipersiapkan untuk tanggap terhadap isu-isu yang terus berkembang di masyaralat.(Gaugler & Kane, 2015: hal.2).


New Normal Dalam sektor pertahanan dan keamanan

David H. McIntyre dalam “Risk, Threats, And The New Normal | How To Think About Homeland Security Vol. 2 (2020) bebicara mengenai kerentanan sebuah negara seperti Amerika serikat terutama dalam bentuk ancaman keamanan baru dari luar dan dalam negeri, terutama dari non-state actors, dan bahwa belum ada lessons learned dari masa lalu yang cukup komprehensif dan teruji yang dapat dijadikan referensi dalam bertindak menghadapi ancaman baru.

Amerika menghadapi New Normal dalam konteks urusan dalam dan luar rnegeri. Hal itu terkait dengan perubahan-perubahan dalam teknologi, hakekat siapa itu musuh, skala kerentanan, dan ancaman internasional terhadap keamanan dalam negeri. Ancaman terbesar datang dari penggunaan Weapons of Mass Destruction (WMDs) yang mengancam kekuatan dan legitimasi sebuah negara. Ancaman-ancaman itu disebut sebagai Maximum of Maximums (MOMs).

New normal adalah hidup dalam ancaman-ancaman baru itu dan upaya-upaya pertahanan terhadap ancaman-ancaman yang ditujukan ke ruang publik sebagai public safety (PS). 


Memandang New Normal dalam Konteks Globalisasi

Mathew Burrows dan Alexander Dynkin dalam “Global System On The Brink | Pathways Toward A New Normal” (2016) memberi petunjuk bagaimana membaca jalur benang merah new normal sebagai bagian dari polik global yang dikuasai negara-negara adidaya dalam berbagai hal.

Menurut Burrows dan Dynkin, pemicu percepatan globalisasi terutama adalah telekomunikasi disusul sector keuangan, kemudian jaringan logistic global, transnational corporation, production networks, global information technology (IT) dan social and cultural interaction.

Dalam hal ini globalisasi itu bukan saja masalah trend saling ketergantungan dunia, tetapi lebih dari itu: ia merupakan sebuah objective trend - sebuah political trend yang dibuat oleh masing-masing negara dan kemudian mencakup (baca: mendikte) masyarakat sedunia.

Dalam menentukan pilihan pro atau kontra terhadap globalisasi, setiap negera mendefinisikan terjamin tidaknya kepentingan mereka tentang manfaat untuk berintegrasi lebih dekat atau takut kehilangan sesuatu jika merapat ke dalam jaringan global (Burrows dan Dynkin, 2016: hal.22).

Globalsiais itu sebuah objective trend yang mencerminkan saling ketergantungan dunia yang terus meningkat. Tetapi globalsiasi juga adalah sebuah political choice of a ruling class yang mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka anut.


Pertanyaan yang perlu dijawab ke depan:

Dalam konteks politik global, siapa sesungguhnya yang lebih berkepentingan dalam “memaksakan” konsep dan model masyarakat “new normal” ini?


Jauh sebelum pandemi covid-19 dan munculnya jargon new normal, elemen-elemen new normal yang dihehendaki (dan didiktekan) sesungguhnya sudah lama disusupkan ke dalam masyaralat internasional termasuk di negeri ini) menumpang logika globalisasi.

Sebab … pemicu percepatan globalisasi terutama adalah telekomunikasi disusul sector keuangan, kemudian jaringan logistic global, transnational corporation, production networks, global information technology (IT) dan social and cultural interaction.

Sebagai peneliti masalah sosial, terutama masalah konflik dan perdamaian, saya selalu menaruh kecurigaan pada fenomena seperti ini.

Di tahun 1995 saya mengikuti Konferensi UNESCO untuk global life-long educaton di Hamburg. Saya duduk satu komisi dengan delegasi Amerika Latin. Saya sangat kaget ketika negara berkembang dengan ekonomi morat-marit seperti Venezuela atau Brazil pada saat itu justru tampil semangat mendorong arah pendidikan orang dewasa untuk mendukung masyarakat industri. Pertanyaan saya: siapa penguasa dunia industri global saat itu (dan sekarang)?

Tak lama sesudah itu orang mulai berbicara mengenai era teknologi dan informasi yang menjadi sempurna dalam wacana pengembangan teknologi industri dan pendidikan, dan kesehatan dan dan dan … berbasis artificial intelligence.

Lalu secara bertahap kita mulai dengan wacana ÅSN boleh kerja dari rumah, distance learning, distance meeting, distanc conference, dan disempurnakan dengan smes telak penutup yang super keren: karena covid-19 maka kita belajar dan kerja dari rumah (WfH) mempergunakan teknologi distance learning.

Kita sebagai konsumen naif menggunakan semua sarana modern itu sebagai new normal mode of, and modality in, work tanpa bertanya, misalnya, siapa yang sedang menguasai cara berpikir dan bertindak kita? Definisi dan kepentingan siapa yang kita terima dan pakai dalam konsep new normal di negeri ini pada saat ini?


Walahualam


Yogyakarta, 23 Mei 2020.