Selasa, 08 September 2020


150 TAHUN INFALIBILITAS PAUS: PENEMUAN KATOLISISME

Oleh Professor Dr. Dr. H.C. Hubert Wolf – Profesor Sejarah Gereja Zaman Pertengahan dan Zaman Baru pada Universität Münster.

 

Pengantar Penerjemah

Memperingati 150 tahun doktrin infalibilitas Paus, Profesor Hubert Wolf dari Universitas Münster tidak saja membedah sejarah proses lahirnya doktrin kontroversial tersebut, tetapi lebih dari itu: ia menawarkan perspektif kritis yang sangat kaya bagi kerangka studi sosiologi agama. Dengan pendekatan akademis kritis ia bebas menerabas semua hambatan ‘tabu’ dalam tradisi magisterium Gereja Katolik yang konservatif dalam mengungkit, apalagi menggugat, tema sensitif yang menjadi salah satu tema ikonik konflik antara Josef Ratzinger (Paus Benediktus) dengan Prof Hans Küng serta banyak teolog progresif lain .

Artikel ini terbit dalam media Jerman (Frankfurter Allgemeine Zeitung) pertama-tama untuk publik Jerman  yang dewasa, terbuka terhadap perbedaan pendapat, bahkan perbedaan yang sangat keras, terutama dalam masalah teologi dan praksis hidup menggereja pada abad ini.

Perbedaan pendapat sering menjadi ketegangan antara Deutsches Bischofskonferenz (Konferensi Uskup-Uskup Jerman) dengan Vatican. Perbedaan sikap dan posisi teologis antara uskup yang satu dengan uskup yang lain terhadap posisi Vatican, juga perbedaan posisi antar uskup dalam lingkup DBK, dan perbedaan pendapat antar uskup dan teolog adalah hal yang lumrah dan terbuka. Bahkan sering terjadi perbedaan pendapat yang sangat keras – namun tetap saling respek - antara organisasi awam Katolik (misalnya melalui gerakan Wir sind die Kirche) dengan hierarki Gereja yang perlu disyukuri sebagai kondisi dialektis dinamis dan sehat yang selalu menarik perhatian publik

Tidak mudah menerjemahkan naskah-naskah teologi dan filsafat dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan artikel ini dibuat dengan sangat hati-hati, mempergunakan rujukan silang beberapavbahasa dan dokumen, misalnya, untuk mencari makna leksikal yang paling tepat atau mendekati untuk suatu frasa, demi menghindari salah persepsi atau bias-bias interpretasi lainnya – walau tidak ada jaminan bebas dari salah tafsir atas frasa tertentu dalam proses penerjemahan. 

RBB

----

 

150 JAHR UNFEHLBARKEIT: Die Erfindung des Katholizismus 

(150 Tahun Infallibilitas: Penemuan Katolisisme) 

oleh Prof. Hubert Wolf


Peristiwa Sejarah: Deklarasi Doktrin Infalibilitas (Paus tidak dapat bersalah)

 

Diiringi kilat dan guntur yang menggelegar di atas Basilika Santo Petrus Roma, pada tanggal 18 Juli 1870, lahirlah sebuah Gereja Baru. Satu demi satu dari 535 kardinal dan uskup yang hadir dalam sidang Konsili Vatikan Pertama maju memberikan suara. Dengan perayaan meriah mereka kemudian menetapkan dogma tentang Unfehlbarkeit des Papstes(latin: infalibilitas)atau doktrin yang mengatakan bahwa seorang Paus, dengan kuasa bimbingan Roh Kudus, tak mungkin bersalah dalam mengajar dan memimpin Gereja; juga tentang Jurisdiktionsprimatatau kewenangan tertinggi dan universal dari seorang Paus untuk melakukan intervensi kekuasaan ke dalam masing-masing keuskupan (Gereja Lokal) di seluruh dunia.

Ketika Paus Pius IX baru saja hendak membacakan Konstitusi Dogmatik tentang “Pastor Aeternus”cuaca buruk itu tiba-tiba berubah menjadi badai dasyat. Dan ketika ia sampai pada bagian inti teks dogma, ruangan di dalam Basilika Santo Petrus mendadak jadi gelap gulita. Paus terpaksa menghentikan sejenak pembacaan teks dogma itu. 

Setelah ketika seorang membawakan lilin kepadanya, ia kemudian melanjutkan pembacaan, dan menyatakan bahwa apa yang ia bacakan saat itu merupakan "dogma yang diwahyukan sendiri oleh Tuhan": Paus, ketika menjalankan otoritas tertingginya dan berbicara ex cathedra(dari takhta kepausan), memiliki kuasa penuh dan tanpa kesalahan untuk memaklumkan ajaran yang berkaitan dengan iman dan moralitas, dan karena itu harus "dipegang teguh oleh seluruh Gereja". "Keputusan-keputusan dari uskup Roma seperti itu semata-mata berasal dari dirinya sendiri (ex sese), akan tetapi tidak bersifat tidak-dapat-diubah (nicht unabänderlich)atas dasar persetujuan Gereja."

Amukan dasyat kekuatan alam itu kemudian menimbulkan pertentangan keras tidak hanya di dalam ruang konsili, tetapi juga menjadi debat terbuka di luar sana. Berbaga argumen yang disodorkan dalam debat tentang infalibilitas kepausan, tema yang telah mendominasi seluruh konsili itu, kembali meruncing: para penentang dogma baru itu menafsirkan peristiwa kegelapan yang terjadi saat itu sebagai "tanda kemarahan Ilahi atas pengkultusan seseorang". Langit sendiri dengan cara itu hendak mencegah deklarasi dogma infalibilitas. 

Di sisi lain, para pendukung infalibilitas meyakini bahwa apa yang mereka alami saat itu adalah situasi yang juga terjadi di gunung Sinai: sama seperti ketika Tuhan memberi dua loh batu kepada Musa di bawah gemuruh guntur dan kilat, demikian Yang Mahakuasa telah menunjukkan kebenaran dogma baru itu.

 

Infallibiltas dan “La tradizione sono io”

Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas pada saat itu masih tetap aktual untuk masa kini. “Apakah mungkin, bahwa sampai dengan tanggal 18 Juli 1870 itu ada sesuatu yang harus dianggap sebagai tidak benar atau keliru, dan sejak tanggal itu baru dianggap sebagai benar?” Demikian Daniel Bonifatius von Haneberg, pimpinan biara Benediktin St. Bonifasius di München, menyimpulkan apa yang diyakini oleh mayoritas teolog Katolik dan seperlima uskup Jerman pada tahun 1870.

Menurut keyakinan Katolik, hanya apa yang "selalu, di mana-mana, dan oleh semua orang" diyakini saja, seperti yang dirumuskan Vincentius dari Lérins pada abad kelima, yang dapat diterima dan ditingkatkan menjadi keyakinan yang bersifat mengikat. 

Sampai saat itu, yang dianggap tidak benar adalah kalimat yang mengatakan bahwa hanya Paus sendiri, tanpa terikat pada konsensus bersama para uskup dan keyakinan seluruh Gereja, dapat membuat keputusan yang tidak mengandung kesalahan. “Klausul” ini dalam teks dogma infalibilitas sudah dihilangkan. Persetujuan Gereja, yang sebelumnya diperlukan, bahkan secara tegas dinyatakan tidak berlaku.

Sesudah tanggal 18 Juli 1870, Gereja Katolik tidak lagi seperti Gereja sebelumnya. Setidaknya sebagai seorang Katolik, sekarang orang harus percaya pada sesuatu yang sebelumnya dianggap salah. Karena Konsili Trente pada abad ke-16 menetapkan Kitab Suci dan Tradisi sebagai rujukan keyakinan, satu-satunya sumber pengetahuan bagi iman dan Gereja. Sekarang sebagai penganti Kitab Suci dan Tradisi hanya Paus seorang diri, Pius IX, yang memerintah sejak 1846 dan menyamakan dirinya dengan Tradisi itu.

Paus Pius IX pertama-tama menganggap dirinya “La tradizione sono io”(saya adalah tradisi). Ini benar-benar merupakan suatu pelecehan. Oleh karena itu, para pembela (kekuasaan) Paus telah berulang kali mencoba mempertanyakan historisitas dari pernyataan ini. Namun Klaus Schatz, seorang imam Jesuit di Frankfurt yang merupakan salah satu ahli terbaik tentang Konsili Vatikan Pertama, sudah membuktikan dengan sangat meyakinkan bahwa Pius IX benar-benar telah mengatakan kalimat seperti itu.

 Oleh karena itu, dengan meminjam model imaginer tentang pembentukan bangsa-bangsa, apakah orang lebih jauh kemudian boleh mengatakan, bahwa pada tahun 1870 telah ‘ditemukan’ sebuah Gereja Katolik yang baru dan sama sekali berbeda dari Gereja Katolik sebelunya? Jika demikian maka dapatlah juga kita katakan bahwa katolisisme yang kita kenal sekarang adalah sebuah ciptaan abad 19? Atau apakah ini berkaitan dengan suatu dugaan pelanggaran tradisi seputar polemik tersebut yang diangkat kembali oleh “mereka yang kalah” dalam Konsili Vatikan pertama? 


Dari Petrus kepada Fransiskus

Para penentang tesis yang mengatakan bahwa katolisisme baru ditemukan (kembali) pada abad ke-19, memiliki argumentasi yang bisa dipadatkan dalam pernyataan berikut: “Di dalam dunia yang berubah sangat cepat dan penuh ketidak pastian ini, jika ada institusi yang terus bertahan dan memiliki jangkar yang tertancap kuat di dasar sungai melawan derasnya arus perubahan zaman, maka institusi itu adalah Gereja Katolik. Bagaimanapun juga, harus diakui, bahwa Gereja sudah bertahan kokoh selama dua milenium dan kita dapat melihat kembali deretan kepemimpinan yang tidak pernah putus dari tidak kurang 266 Paus, seperti yang ditunjukkan oleh daftar resmi kepausan Roma, dimulai dari Petrus hingga Fransiskus.

Oleh karena itu, prinsip-prinsip suksesi dan tradisi menjamin suatu penerusan kebenaran kristiani yang tidak dapat dimanipulasi: yaitu, kesinambungan yang tak terputus dan tak terbantahkan dari Gereja Katolik mulai dari Yesus Kristus hingga hari ini.

Berdasarkan ajaran Gereja, Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus sendiri. Dan Ia mewariskankannya persis apa adanya seperti saat ini. Oleh karena itu, pengajarannya, jabatan-jabatan, juga institusi-institusinya - sebagaimana ditekankan secara terus-menerus oleh dogmatika neo-Skolastik:  "menurut kodratnya (Gereja) tidak dapat berubah". Oleh karena itu, semuanya harus selalu tetap persis seperti itu sebagaimana ditetapkan sendiri oleh Tuhan.

Melalui argumen eklesiologis tentang tradisi seperti ini, upaya yang sudah dan sedang dilakukan itu (hanya) untuk menghancurkan Gereja Katolik, memisahkannya dari proses perkembangan duniawi dalam dirinya dan menjadikannya abadi. Oleh karena itu, perubahan atau reformasi sejak dari awal mula sudah tidak dimungkinkan


Menutup Rapat Pelanggaran Tradisi

Tetapi apakah penegasan tentang kontinuitas ini, yang secara nyata dikembangkan oleh teologi Gereja Katolik Roma dan magisterium kepausan pada abad ke-19 itu didukung fakta-fakta sejarah? Tidak diragukan lagi bahwa era Aufklärung, Revolusi Prancis, dan sekularisasi – semuanya telah menyebabkan kehancuran berbagai tradisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Keuskupan yang dipimpin oleh para pangeran (Fürstbistümer) kini tinggal sejarah, Negara-Gereja (Kepausan) semakin menjadi sejarah masa lalu yang suram; pokok-pokok keyakinan dan bentuk-bentuk kesalehan menjadi obyek kritik. 

Demikian juga Gereja yang berdiri dalam krisis fundamental saat ini sedang menghadapi tantangan untuk mempertahankan identitasnya - atau perlu mendefinisikan ulang identitasnya. Sepertinya masuk akal (upaya) untuk menutupi pelanggaran tradisi ini dilakukan dengan mempergunakan unsur-unsur dari tradisi itu sendiri atau setidaknya dengan merujuk pada tradisi-tradisi itu.

Pertanyaan, bagaimana jemaat-jemaat memantapkan diri dalam kiris identitas, sering dijawab oleh studi-studi sejarah dengan konsep „invention of tradition“. Sejarawan Inggris Eric Hobsbawm pada awalnya mengembangkan model ini dengan merujuk pada proses berdirinya Negara-bangsa pada abad ke-19.

Dan sejak itu telah terjadi proses modifikasi berkali-kali. Pada dasarnya modifikasi itu berkaitan dengan construction of traditionsuntuk keperluan masa kini. Unsur-unsur yang tampaknya perlu tidak harus selalu diambil dari dalam tradisi yang terjamin keabsahannya secara historis, semuanya juga dapat dengan mudah ditambahkan atau dibuatkan yang baru - seringkali dengan polesan artifisial sehingga ia (kembali) tampak seolah-olah berasal dari masa lalu, dari jaman kuno.


Abad ke-19 yang Panjang

Sebagian besar tradisi negara-bangsa yang sudah tua dan seringkali kuno itu, sebenarnya adalah produk abad ke-19. Oleh karena itu, Benedict Anderson dengan tepat menafsirkan negara sebagai „imagined communities“, sebagai komunitas yang sebagian besar diciptakan melalui fantasi dan imajinasi, tetapi dibuat seolah-olah didasarkan pada tradisi-tradisi kuno.

Pada dasarnya, masalah ini berkaitan dengan fiksi kesinambungan yang mencoba membangun hubungan antara masa kini yang dilanda krisis dengan sebuah mitos pendirian atau waktu purbakala yang diangap sebagai sesuatu yang ideal. Dari apa yang dianggap sebagai kebesaran di masa lalu itu kemudian orang hendak menciptakan gambaran diri hari ini.

Konsep "invention of tradition“ juga telah digunakan dengan sukses di bidang agama-agama. Bagi banyak komunitas religius, tradisi adalah instrumenpar excellenceuntuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu, dan secara khusus untuk terus memperbarui kontak dengan pendiri agama yang hidup jauh di masa lalu.

Terkait Eksodus, yaitu peristiwa sentral dalam sejarah keselamatan bangsa Yahudi, Jan Assmann dalam suatu studi yang brilian menunjukkan bahwa Kisah Eksodus dari Mesir harus dilihat sebagai "komposisi fiksi atau sastra" yang diklaim mengambil latar belakang abad ke-13 SM. Namun, sebenarnya kisah itu adalah sebuah konstruksi dari abad ke-6, suatu seruan terhadap apa yang dianggap sebagai tradisi kuno, yang dengan cara itu digaraplah kisah bencana pembuangan ke Babilobia dan kembalinya mereka yang dibuang ke Palestina di sebuah negeri yang berisi aneka suku dan agama. Jadi hal ini tidak kurang dari upaya ‘untuk menemukan kembali ‘Israel’ (to reinvent Israel‘)dalam pengertian sebuah identitas etnis dan religious, dan menempatkannya di atas basis sebuah konstitusi yang bersifat politis, sosial, dan kultis".

Konsep „invention of tradition“itu belum diterapkan secara komprehensif pada Gereja Katolik - meskipun sejarah gereja yang panjang dari "abad ke-19" yaitu dari Revolusi Prancis pada tahun 1789 hingga diadopsinya "Codex Iuris Canonici" pada tahun 1917 sangat cocok dengan istilah itu. Karena semua unsur dan tahapan esensial dalam proses „invention of tradition“juga dapat ditunjukkan dalam “Invention of Catholicism”yang mencapai klimaksnya dengan dogma infalibilitas pada tahun 1870.

 

Pada Awal Mula adalah Revolusi

Sebagai pemicu perlunya suatu „invention of tradition“biasanya dapat diidentifikasi dari adanyai bencana atau setidaknya krisis besar yang secara masif mempertanyakan identitas kelompok sendiri. Terkadang bahkan ada risiko kehancuran, misalnya karena bergabung dengan arus-arus hegemoni baru.

Bagi komunitas-komunitas agama ada masalah lain lagi: mereka harus menjelaskan mengapa Tuhan membiarkan terjadinya malapetaka itu. Demikian, Revolusi Prancis adalah sebuah serangan massif terhadap Gereja Katolik dan eksistensinya. Bahkan kalender Kristen pun diganti dengan kalender revolusi yang dibuat sendiri pada tahun 1791. Juga jika pada akhirnya ternyata kaum revolusioner radikal tidak memperoleh kemenangan: Aufklärung, sekularisasi, de-kristenisasi pada dasarnya telah mengangkat masalah katolisisme untuk dipertanyakan.

Umat Katolik memiliki beberapa pilihan untuk menanggapi hal ini: mereka dapat sedikit banyak mengadopsi pandangan kaum revolusioner dan pencerahan yang kurang lebih bermakna asimilasi, pada level dimana mereka menunjukkan diri loyal tehadap kekuatan baru, melarikan diri ke dunia alternatif yang romantis, atau cukup mengimpikan kembali masa lalu yang indah.

Semua jalan ini benar-benar telah diikuti setelah 1789. Hasilnya adalah katolisisme yang sangat majemuk: muncul pencerah katolik yang moderat dan yang radikal, ada kelompok katolik yang romantik, dan ada  gereja-gereja negara serta orang-orang Katolik yang jelas-jelas beraliran restoratif. Kebanyakan mereka mencari keselamatan (baca: cari aman) dengan merapat lebih dekat ke Roma, yang lain justru ingin sebaiknya: menghindari kedekatan dengan Roma. Gaya sentrifugal dan sentripetal saling berkelindan.

Selain itu, ada yang disebut sebagai “ultramontanes”, yaitu mereka yang karena alasan kekalahan hendak membentuk aliasnsi perjuangan menantang Paus. (Istilah ultramontane diambil dari makna asli “melampaui batas wilayah pegunungan – montana - Italia” atau mereka yang bukan Italia, orang belakang tanah). Pada awalnya kekuatan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak; tetapi tidak tunggu lama lagi, mereka menjadikan diri mereka setara denganGereja, menyamakan diri dengan gereja dan mulai menganggap semua katolisisme lain sebagai sesat. Konsep gereja ultramontane itu pada dasarnya adalah suatu hal baru yang bersifat radikal, tetapi tidak dapat diakui untuk alasan apapun.

Tak dapat dipungkiri lagi, inilah inti dari teori invention of tradition“ à’la Hobsbawm. Tradisi yang ditemukan itu seharusnya dapat membuktikan keterpilihannya sebagai suatu bangsa sendiri sebagai sesuatu yang ekslusif - seringkali dengan dalil-dalil agama. Hal ini berfungsi untuk memperkuat rasa percaya diri sendiri dan dengan demikian menjadi kekuatan untuk menghadapi musuh dari dalam dan dari luar: Kami lebih besar, lebih baik dan tentu saja lebih suci dari kalian. Kalian ingin menghancurkan tradisi kuno kami. Negeri kami memiliki Tuhan dan tradisi yang terhormat bersamanya sepanjang masa.

  

Tidak Sesuai dengan Modernitas

Dalam pengertian seperti ini orang juga bisa berbicara mengenai penemuan kembali (reinvention)katolisisme di abad ke-19. Banyak hal yang hari ini dianggap sebagai typicalkatolik atau asli katolik justru sebelumnya tidak pernah ada.

Termasuk dalam konteks ini adalah Gereja itu sendiri – Gereja yang berpusat pada Paus semata, dan memberikan kewenangan tertinggi kepada Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja dalam menetapkan doktrin dan hukum, dan menjadikan para uskup yang sejatinya adalah penerus para rasul hanya menjadi kaki tangan utama untuk pelaksanaan tugas-tugas kepausannya. Hal ini tidak sesuai dengan sejarah Gereja dalam 1800 tahun pertama.

Kecenderungan-kecenderungan dalam tradisi kepausan dan episkopal, monarki maupun kolegial dalam momentum-monentum penting sejarah Gereja justru menunjukkan bukti adanya penerapan prinsip ‘checks and balances’.

Alih-alih (merujuk pada) katolisisme yang plural seperti pada awal periode modern, dan juga pada dekade pertama abad ke-19, para paus belakangan dan para pembela mereka justru menyebarkan paham katolisisme yang seragam, yang mereka kemukakan bahwa itulah yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri.

Seruan meminta permintaan kepada tradisi-tradisi yang dituduhkan (telah) melegitimasi suatu pemberian stigma (bid'ah) kepada semua bentuk alternatif dalam mewujudkan kekatolikan sebagai tidak katolik. "Seorang katolik liberal adalah setengah Katolik" demikian salah satu kalimat jahat dari Pius IX.

Sejalan dengan itu maka digembar-gemborkan bahwa Gereja Katolik pada dasarnya tidak sesuai dengan modernitas, tidak sesuai dengan nilai-nilai, dan dengan prinsip negara konstiusional modern yang menjamin kebebasan sipil. Paus Gregorius XVI sudah sejak tahun 1832 bahkan mengutuk kebebasan hati nurani sebagai "kekeliruan yang paling mewabah" - sekali lagi dengan merujuk pada tradisi.

Penyeragaman liturgi Katolik dipaksa-tegakkan dengan mengacu pada "Misa Tridentium" yang diduga ditetapkan tanpa pengecualian oleh Konsili Trente pada abad ke-16, yang secara historis sama sekali tidak sesuai dengan resolusi Tridentium itu sendiri. Larangan studi pada universitas bagi calon imam yang prospektif kembali dibenarkan dengan sebuah Tridentinum yang baru dibuat.

Dogma tentang Maria Dikandung Tanpa Noda ditentukan pada tahun 1854 tanpa bukti tertulis dan bertentangan dengan tradisi, bahkan secara tegas bertentangan dengan pernyataan St Thomas Aquinas. Dalam hal ini tradisi Gereja telah digantikan oleh Paus, yang menjadi orang pertama yang menenentukan sebuah dogma tanpa konsili.

 

Ketaatan Kanak-Kanak

Pada tahun 1917, dengan “Codex”, sebuah hukum kanon seragam dan kaku menggantikan “Corpus Iuris Canonici” tradisional dan majemuk dengan case law yang penuh ketidakpastian.

Infalibilitas dan supremasi yurisdiksi tertinggi menggenapi penemuan kembali (reinvention) katolisisme di bawah Paus Pius IX. Selain itu, ada penemuan baru jabatan pengajar biasa: tidak seperti sebelumnya, sekarang tidak hanya dogma, tetapi semua pernyataan doktrinal Paus ditarik boleh diperdebatkan. Model “ketaatan kanak-anak" dituntut dari umat beriman maupun dari para teolog.

Karya hidup Pius IX merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Paus dengan masa jabatan kepausan terpanjang dalam sejarah gereja itu menciptakan suatu katolisisme ultramontane yang seragam dan katolisisme model itu berfungsi dengan sangat mengesankan hingga akhir zaman Pianik, yaitu saat kematian Pius 'XII pada tahun 1958. Tetapi harga dari “invention of tradition” ini amat tinggi, dan Gereja masih terus membayarnya sampai sekarang.

Tentu saja, tidak boleh dilupakan bahwa katolisisme baru itu tidak dapat dipaksakan begitu saja kepada umat beriman, tetapi juga disambut oleh banyak kalangan penduduk mengingat banyaknya konflik negara-gereja terkait modernitas.

Dan masih ada lagi, yaitu orang-orang awam ultramontane (di luar wiyahah Italia) seperti negarawan Savoyard dan sastrawan Joseph de Maistre (1753-1821), mereka ikut mendorong terciptanya tradisi monarki kepausan absolut yang sesungguhnya belum pernah ada. Para paus awalnya lebih berfungsi sebagai sebuah bidang proyeksi bagi konstruksi-konstruksi tradisi dari bawah. Hanya melalui Pius IX. Hal ini hendak birubah: ia mengambil kendali penemuan tradisi di tangannya sendiri.

 

Saya adalah Tradisi

Dalam konteks ini muncul pertanyaan yang sangat menarik, yaitu apakah identifikasi Paus sebagai wakil Yesus Kristus atau sebagai Kristus yang baru tidak membuka kemungkinan bagi terbentuknya sebuah kualitas "invention of tradition" yang sama sekali baru.

Merujuk kepada asal-usul suci dalam suatu pembaruan tradisi sudah merupakan ciri khas dari setiap penemuan tradisi. Tetapi untuk memusatkan tradisi yang hidup pada orang yang masih hidup, dimana pendiri agamasendiri hadir secara simbolis dalam istilah nyata, merepresentasikan sebuah bentuk baru dari kekuasaan yang karismatis. Mungkin orang harus memahami "La tradizione sono io" Pius 'IX dengan cara persis seperti itu.

Harga yang harus dibayar untuk penemuan kembali katolisisme terletak paling tidak pada potensi konflik yang menyertainya. Kalangan ultramontanes menjaga kelompok mereka secara bersama-sama melalui pembaruan, penafsiran ulang dan penemuan tradisi secara ekstensif dan memberi mereka rasa percaya diri baru setelah krisis. Tetapi untuk melakukan ini mereka harus melawan tradisi dan lawan abadi mereka, dalam hal ini, adalah negara modern dan ilmu pengetahuan.

Self-ghettoizationumat Katolik dalam apa yang disebut Catholic milieudan sikap fundamental mengutuk modernitas bisa menjadi bukti nyata untuk hal ini. Dengan cara itu, orang-orang yang benar-benar beriman dapat diwajibkan untuk tunduk pada ketaatan khusus yang (akhirnya) menjerumuskan mereka ke dalam fitnah, kerugian ekonomi dan politik dan bahkan penganiayaan karena adanya "alasan yang dibenarkan".

Demikian, pengingatan kembali tradisi dan reinterpretasinya yang kadang-kadang dengan cara yang cukup masif tetapi terselubung itu menghasilkan energi yang luar biasa. Proses itu yang memungkinkannya untuk mempraktikan berbagai perilaku, nilai dan norma dan untuk mengkonsolidasikan semua itu dalam memori kolektif sebagai gambaran “orang Katolik yang baik".

Pengalaman hidup berjemaat, misalnya melalui berbagai prosesi dan perayaan liturgi, memiliki peran sentral yang sangat penting dalam pelaksanaan ritual simbolik dalam identitas tradisional. Bayangkan saja penemuan bulan Mei sebagai bulan devosi (kepada Bunda Maria) dan ziarah massal kepada Perawan Maria - dan terutama ritual prosesi Corpus Christi sebagai sebuah rekayasa yang tak ada bandingannya.

Pengamanan identitas dengan menciptakan tradisi hanya bisa bekerja secara internal selama diberlakukan sistem keseragaman yang ketat dan tidak boleh ada toleransi atau pengecualian bagi penyimpangan sekecil apapun. Setiap bentuk pluralisme dan ambiguitas di dalam sebuah kelompok sendiri harus ditindas dan diperangi secara radikal. Dalam pandangan ini, anggota yang setengah hati di dalam Gereja lebih berbahaya daripada lawan terbuka dari luar sana. 

Mereka menganjurkan untuk tidak bersikap kompromistis dengan tanda-tanda jaman (Zeitgeist) atau dengan (suara) mayoritas anggota. Kalangan "liberal" adalah mereka yang paling menjengkelkan ketika mereka mencoba untuk mengalahkan para pengawal tradisi dengan mempergunakan senjata mereka sendiri sambil menciptakan tradisi baru versi mereka – bahkan sedapat mungkin dengan tradisi yang dipastikan memiliki akar sejarah.

Menjadi sangat berbahaya ketika mereka juga dapat membuktikan bahwa tradisi yang dianggap esa dan abadi itu jauh lebih plural daripada yang diajarkankan oleh para penjaga doktrin, dan bahwa cita-cita ideal komunitas mereka justru encerminkan sebuah ideologi dan konstruk kekuasaan-politik yang transparan. Mantra yang berbunyi “memang dari dulu juga sudah begitu, oleh katena itu tidak ada yang bisa diubah” lalu pecah dan buyar sepertigelembung sabun.

 

Tradisi dan Tradisionalisme

Bahkan jika kedengarannya paradoks: hanya dengan merujuk kepada tradisi, terutama di dalam Gereja Katolik, ada kemungkinan untuk melegitimasi inovasi dan reformasi. Kenyataannya, tradisi pada dasarnya dirancang sedemikian rupa agar di dalam berbagai reformulasi (tradisi) selalu menyesuaikan sumber asli yang suci dengan tantangan-tantangan baru.

Namun sejak ditetapkan dengan amat sukses reinvention of tradition maupun restorasi dari tata kehidupan kuno dan abadi, hingga hari ini semua upaya untuk menghentikannya sudah dibungkam. 

Pius IX dan para penerusnya berhasil mencegah pembaruan lebih lanjut atau bahkan mencegah upaya menarik kembali penemuan baru itu. Itulah sebabnya, setelah tahun 1870. tradisi yang hidup dan dipraktekan dalam aneka ragam katolisisme lalu  dipadatkan menjadi tradisionalisme  

Bahkan Johann Friedrich, teolog Dewan Kardinal Gustav Adolf von Hohenlohe-Schillingsfürst, berbicara secara eksplisit dalam buku hariannya tentang reinvention of Catholicismoleh Konsili Vatikan Pertama. Uskup Agung MünchenGregor von Scherr sebelumnya telah berkampanye di Roma menentang diadopsinya dogma infalibilitas, tetapi kemudian berubah: ia siap untuk menerima dogma baru itu.

Karena itu, dia mendesak para teolog dari fakultas teologi LMU- München, terutama kepada sejarawan gereja Ignaz von Döllinger, agar juga melepaskan posisi mereka sebagai oposisi: Mari kita "bekerja lagi untuk Gereja yang kudus" - "Ya untuk gereja lama!" jawab sejarawan gereja itu yang tetap bertahan dengan iman Katolik lama dan tidak ingin menjadi seorang Katolik baru. Lalu von Scherr menanggapi balik: "Hanya ada satu Gereja, tidak ada yang baru dan tidak ada yang lama", Döllinger pun berteriak: "Orang sudah bikin yang baru!"

(sumber: https://www.faz.net/aktuell/politik/die-gegenwart/unfehlbar-ueber-d...87015.html?printPagedArticle=true#pageIndex_2&service=printPreview)

rbb