Selasa, 10 Maret 2020

KONFLIK BATAS TANAH DI ADONARA DAN CAPACITY-BUILDING UNTUK RESOLUSI KONFLIK – SEBUAH TAWARAN UNTUK DISKUSI

Oleh Robert B.Baowollo

Pengantar

Tulisan ini dimaksudkan sebagai kontribusi pemikiran – untuk memperkaya berbagai pemikiran dan analisis yang sudah, sedang, dan akan terus masuk ke dalam ruang diskursus publik – bagi upaya-upaya resolusi konflik atas sengketa ‘batas tanah’ di Adonara yang selalu terjadi secara berulang.

Tulisan ini tidak berpreteni untuk menggurui siapa pun. Apalagi posisi saya pada saat peristiwa itu tarjadi sangat berjarak secara geografis dengan tempat kejadian perkara, berjarak dengan para pihak yang terlibat dalam konflik, dan berjarak dengan proses sebelum, selama dan sesudah eskalasi konflik.

Saya hendak membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian – sesuai dengan substansi pembahasan dan dengan mempertimbangkan faktor keterbacaan serta daya tahan pembaca di media sosial. Pembaca media sosial tidak tahan terhadap teks yang panjang.

Bagian pertama mencoba menjernihkan konsep ‘konflik batas tanah’ di satu sisi - seperti yang sering terjadi di Adonara dan di mana-mana – dan konsep ‘konflik agraria’ di sisi lain, yang memiliki cakupan, konteks dan dimensi yang lebih luas dan lebih kompleks. 

Baik konsep ’konfik batas tanah’ maupun ‘konflik agraria’, keduanya memiliki landasan teorerits berbeda mulai dari pendekatan studi hingga praksis resolusi konflik (mediasi atau negosiasi). Kejelasan tentang konsep ini membantu kita, antara lain, dalam memilih konsultan, mediator, negosiator serta para pihak yang berkepentingan dalam proses analisis dan resolusi konflik.

Bagian kedua mencoba fokus pada ‘konflik batas tanah di Adonara’ dengan memakai kerangka analisis melampaui pendekatan yang dipergunakan dalam studi konflik agraria. Bagian ini mencoba menganalisis ‘tanah’ sebagai obyek sentral “konflik kepentingan’, tidak saja karena nilai ekonomisnya, melainkan (baca: terutama) karena ‘tanah’ yang disengketakan memiliki nilai sosio-antropologis yang ekuivalen dengan rasion d’etre sebuah suku (marga) dan kewajiban sosial mereka. Tak ada “suku” tanpa “ekang”. Mengusik “ekang” akan dirasakan sebagai goncangan atas ‘suku’ yang hidup dan berdiri di atasnya.

Bagian ketiga akan mencoba  menawarkan konsep pemetaan stakeholders konflik, yaitu para pihak yang berkepentingan dan menjadi aktor yang terlbat dalam konflik maupun dalam resolusi konflik pada level lokal sebagai upaya awal membangun kerangka berpikir dan kerangka kerja resolusi konfik, baik berupa mediasi maupun negosiasi.

Bagian keempat akan mencoba menawarkan kerangka konsep capacity-building untuk “resolusi konflik batas tanah” mulai dari level mikro menuju ke level makro.

Semoga empat point yang ditawarkan disini dapat menjadi salah satu batu kecil yang ikut menjadi bagian dari susunan batu-batu fondasi perdamaian yang juga disumbangkan banyak pihak demi resolusi koflik batas tanah yang sustainable, memiliki nilai pembelajaran, dan keluar dengan hasil yang bermartabat.


A. Konflik Batas Tanah

Sengketa batas tanah dalam konteks Adonara memiliki struktur konflik yang lebih sederhana dibanding konflik agraria pada umumnya yang bersifat konflik stuktural. Namun, demikian konflik batas tanah dalam konteks ini memiliki dimensi hukum adat dan nilai-nilai sakral yang jauh lebih dalam, lebih kompleks, dan amat sensitif.

Pada konflik agraria sebagai konflik struktural pada umumnya, masyarakat (terutama masyarakat adat) berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hegemonik di atas mereka seperti negara dan korporasi. Posisi mereka sudah dilemahkan dan menjadi pihak yang tertindas dan terkalahkan sejak awal akibat struktur kekuasaan dan regulasi yang tidak adil dan tidak memihak kepada mereka.

Konflik struktural yang manipulatif dan kooptatif mampu membentuk polarisasi kekuatan pada para pihak yang berkonflik kedalam pola relasi yang asimetris. Konfik agraria tidak lagi bersifat vertikal tetapi diagonal. Posisi-posisi para pihak di akar rumput yang berhadapan secara diametral dalam konflik awal yang bersifat horizontal berubah menjadi relasi diagonal karena praktek kooptasi dan manipulasi untuk keberpihakan ‘ke atas’ (dengan janji keuntungan).

Demikian, praktek land grabbing, akuisisi tanah masyarakat untuk dan atas alasan pembangunan (developmentalism), kolusi jahat antara penguasa dan pengusaha dalam menggusur masyarakat adat dari pemukiman mereka untuk pembukaan dan/atau perluasan lahan perkebunan dan pertambangan – semuanya adalah contoh-contoh konflik agraria yang memiliki karakter dan mekanisme resolusi konflik yang sejak awal dicurigai sebagai tidak memihak kepada masyarakat.

Dalam konteks konflik agraria ini sumber konflik maupun mekanisme resolusi konflik pro-justisia merujuk pada tafsir pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengenai sumberdaya alam. Ketika konflik itu berkaitan dengan masalah pertanahan maka UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang menjadi payung hukum dari semua aturan hukum agraria akan menjadi rujukan.

Tentu masyarakat atau beberapa anggota keluarga dalam satu desa dari dua marga/suku (bukan etnis!) yang berbeda di desa Sandosi Witihama atau masyarakat dari dua desa yang berbeda seperti Riangbunga dan Lewonara tidak memiliki substansi konflik yang dapat dibedah dan dicarikan solusi melalui argumentasi hukum seperti konflik-konflik agraria pada umumnya.

Perbedaan fundamental antara paradigma konflik agraria dan konflik batas tanah (dalam konteks Adonara) seperti yang baru terjadi terletak pada (a) obyek konflik dan dimensi substansi konflik itu sendiri, (b) siapa saja para pihak yang berkonflik, (c) apa alasan dan kepentingan yang diperjuangkan oleh para pihak yang berkonflik, (d) mekanisme resolusi konflik yang tersedia dan dipraktekkan selama ini.

Berbeda dengan status tanah dalam konteks konflik agraria yang merujuk pada hukum formal, status tanah dalam konfik batas tanah lebih berdasarkan pengakuan dan/atau klaim subyektif dengan merujuk pada (a) fakta keras tak terbantahkan dan semua orang tahu bahwa mereka telah mengolah tanah yang sama secara turun temurun, (b) klaim historis yang mendukung atau menolak klaim kepemilikan atas sebuah bidang tanah oleh satu orang atau oleh satu keluarga, satu marga, satu desa hingga oleh penguasa satu wilayah adat.

Pada titik ini, klaim kepemilikan adat atas tanah di sebuah kawasan yang melekat pada status satu keluarga atau suku/marga yang diakui sebagai ‘lewo alapeng’ (pemilik/penguasa kampung) yang dalam banyak hal tidak terlalu kritis disejajarkan sebagai ekuivalen dengan ‘tana alapeng’ (pemilik/penguasa tanah) – semuanya membutuhkan kajian yang lebih cermat dan hati-hati.

Koflik batas tanah untuk konteks ini - dan hanya untuk konteks ini – tidak memadai untuk diselesaikan melalui penegakan hukum di jalur lembaga peradilan (saja!) sesuai Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 jo Peraturan Kepala BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengelolaan, Pengkajian, dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Orang Adonara berkonflik dalam urusan batas tanah antar kebun atau antar ‘petuanan’, tidak untuk mendapatkan ganti rugi yang diselesaikan melalui mekanisme penegakkan hukum, melainkan untuk memperoleh pengakuan definitif dan final bahwa obyek tanah yang disengketakan adalah benar dan sah hak milik keluarga, suku, atau kampung, dan bukan milik pihak lain di luar keluarga, suku/marga, atau kampung.

Sayangnya, mekanisme penegakan klaim kepemilikan hak atas sebidang tanah atau atas beberapa meter di batas dua kebun itu dilakukan dengan cara-cara konfliktual adu kekuatan perang tanding: “hukut koda kiring, bau lolong, nage tai ta’ang wekiket. Kalau goeng mur’eng pe go balik mor’ing. Kalau goeng nalang pe go matayek”. 

Simpel, sakral, walau absurd!

Hal terakhir ini tidak ada dalam litaratur, tidak diatur dalam KUHAP, dalam undang-undang agraria atau peraturan pemerintah. 

Yang lebih paham dan memiliki legitimasi adat untuk berbicara dan melakukan praksis resolusi konflik adalah …. para tua adat yang masih disegani dan didengar karena mereka memiliki kharisma dan wibawa.

Resolusi konflik batas tanah pada akar rumput harus dimulai dari upaya sistematis melakukan capacity-building bagi para pemangku kepentingan pada level ini! Bukan ceramah, bukan pemaksaan dengan senjata atau ancaman lain.

Masyaraiat adat memiliki modal dan modalitas resolusi konflik yang berlimpah dan jika dikemas secara baik dan benar akan menghasilkan model resolusi konflik tanpa kekerasan (peace by peaceful means).

Penggunaan pendekatan keamanan (security approach) saja (!) dalam menyelesaikan konflik di akar rumput – seperti untuk kasus konflik batas tanah pada dua kebun antara dua marga/suku – tidak cukup, tidak lagi memadai untuk konteks masyarakat demokratis abad ini, lebih sering berlebihan, dan sudah kadaluarsa! Sorry to say that.


B. Tanah dan Batas Tanah Sebagai Obyek Sengketa

Dalam hal ‘tanah’ atau lahan, orang Adonara sejatinya sangat ‘generous’ atau sangat bermurah hati hingga sangat royal. Mereka bisa mengijinkan penggunaan hingga ‘menghibahkan’ tanah mereka kepada pendatang yang ‘masuk’ dan menjadi bagian dari kekerabatan mereka. 

“Mai rae ama orang tua ki, maring on’em, leta maang mela-mela, miang ama nuru mo mode ma’ang mang kam’eng tou lau wai ne.” demikian petikan suatu percakapan dari hati ke hati. (Kau pergi ketemu bapa dulu, sampaikan isi hatimu, minta baik-baik, nanti bapa akan tunjuk kau boleh olah salah satu tanah kami di daerah mata air sana)

Tetapi dalam hal ‘batas tanah’ orang Adonara sangat ‘rigid’: berdiri dengan pinsip harga mati, berjuang mempertahankan dan/atau merebut kembali sebidang tanah dengan prinsip zero sum game.

Apa artinya ini?

Konflik tanah dan konflik batas tanah berawal dari matinya komunikasi yang humanis, otentik, kultural, kekeluargaan, dan ketika orang hanya berpegang pada klaim-klaim kepemilikan absolut secara sepihak.

Dalam kajian berbagai kasus sengketa tanah dan batas tanah, selalu ditemukan persoalan (a) klaim kepemilikan tanah dan batas tanah tanpa dokumen kepemilikan yang sah, (b) klaim lisan berdasarkan penuturan yang tidak selalu akur di antara beberapa saksi hidup yang masih ada dan dijadikan narasumber, (c) klaim lisan dengan mempergunakan ‘saksi-saski alam” sebagai patokan batas: sungai ini, bukit itu, pohon itu dna itu, dst., (d) pemindahan/penggeseran hingga penghilangan patok-patok batas tanah baik dengan sengaja atau tidak sengaja.

Dari sisi ekonomi, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak disertai dengan pertambahan lahan pertanian mendorong persoalan tanah dan batas tanah menjadi obyek sengketa yang sentisitf dan siap pecah setiap saat menjadi konflik terbuka yang mematikan.

Namun persoalan paling mendasar dalam konteks tanah dan batas tanah di Adonara menyentuh masalah yang lebih kompleks terkait persoalan harga diri perorangan yang dibawa menjadi persoalan harga diri kelompok suku/marga dan terus berkembang menjadi persoalan harga diri masyarakat satu kampung. 

Jadi pada level ini substansi konflik mulai bergeser atau malah bermetamorfosis dari masalah sebidang tanah dan batas tanah menjadi masalah tercederanya harga diri kelompok suku dan terus berkembang (atau dikembankan) menjadi masalah harga diri masyarat satu kampung. Tanah dan batas tanah lalu ‘turun kelas’ hanya menjadi alasan pemicu konflik. (Yang tertarik mendalami masalah tercederanya harga diri, silahkan baca Nocomachean Ethics dari Aristoteles, tentang ‘insult’)

Selanjutnya orang berperang-tanding lebih untuk mempertahankan harga diri dan martabat ‘suku ekang’ dan tidak lagi peduli apakah tanah dan batas tanah yang disengekatan itu berukuran seratus hektar atau hanya satu meter persegi. Pada titik ini konflik tanah dan batas tanah di Adonara menemukan titik kulminasi yang mematikan dan irasional, dan hampir tidak menyisakan ruang ‘reasoning’ dan peluang deliberatif bagi jalan pulang.

Orang siap untuk mati. Orang mengatur siapa yang maju perang, siapa yang akan membunuh siapa. Orang juga menyepakati siapa yang siap masuk penjara, dan siapa yang akan menanggung kehidupan keluarga yang ditinggalkan oleh korban atau oleh orang yang bersedia masuk penjara, dst.

Dalam hal konflik tanah dan batas tanah yang melibatkan beberapa orang atau beberapa suku/marga dalam satu kampung, masyarakat tentu memiliki jaringan kekerabatan sosial yang lebih luas dan lebih kuat dibanding relasi frontal permusuhan antara dua kubu atau lebih dalam konflik ini.

Dan kita lalu tahu, dari mana kita harus memulai menyusuri jaring-jaring kekerabatan itu sebagai jalan dan modal pertama dalam merajut kembali perdamaian, mengurai sengketa dan permusuhan, memposisikan relasi “kenetung” dan “plala hala” sebagai status-quo pasif tanpa ekspresi permusuhan sosial yang dipamerkan terbuka.

Dalam relasi ‘kenetung” (terputus) akibat peristiwa pembunuhan, misalnya, relasi sosial dan kekeluargaan antara dua pihak dinyatakan terputus, ada larangan saling menerima dan memberi tumpangan, larangan saling memberi makan dan minum – untuk menghindari kutukan ‘mei nawa’. 

Namun di luar sana, di luar kampung atau di tanah rantau, mereka tetap saling tolong-menolong sebagai sesama orang bersaudara dari satu kampung dan satu daerah, tanpa bayang-bayang beban ‘kenetung’ dari kampung halaman. Mereka bahkan tampil sebagai pihak pertama yang membela jika ‘seteru kenetung’ mereka sedang dalam keadaan terancam di negeri orang.

Oleh karena itu, seungguhnya, dalam hal konflik tanah dan batas tanah, masyarakat Adonara memiliki kearifan yang menjadi modal sosial untuk menyembuhkan luka-luka konflik. Dan proses penyebuhan itu hanya bisa dimulai dari dalam, dari dan oleh masyarakat itu sendiri. Orang luar hanya ikut membantu memfasilitasi proses penyembuhan/rekonsiliasi.

Kalau begitu, apa peran pihak luar dalam proses rekonsiliasi di antara para pihak yang terlibat dalam konflik tanah dan batas tanah di desa Sandoi dan di Adonara pada umumnya?


C. Stakeholders Mapping

Dalam memetakan aktor-aktor konflik di antara para pihak yang berkonflik orang membagi kelompok masyaraat atas tiga level piramida: kelompok elite (top leaders), kelompok menengah (middle actors, action/mass mobilizators), dan kelompok lapis bawah (mass). Yang memiliki massa konkret adalah mereka yang berada pada kelompok tengah. 

Top leaders tidak memiliki hubungan dan pengaruh langsung terhadap massa. Mereka membutuhkan middle actors sebagai operator untuk menerjemahkan dan menggerakkan massa dalam manajemen konflik, baik untuk kepentingan meningkatkan kualitas eskalasi maupun untuk meredam hingga menghentikan eskalasi konflik.

Tetapi middle actors juga berpotensi menjadi pecundang. Mereka bisa membelokkan arah perintah hingga mendelegitimasi sampai merontokkan wibawa para elite di hadapan massa akar rumput.

Mengapa? Karena para tokoh pada middle level ini juga memiliki kepentingan sendiri, baik dalam konteks konflik yang sedang terjadi maupun dalam rangka suksesi elite dalam suatu komunitas.

Untuk itu, sebelum merancang aksi resolusi konflik tanah atau batas tanah, misalnya, perlu diperlukan langkah stahekolders analysis untuk memastikan:
a.    siapa saja dan berapa banyak para tokoh elite dan tokoh middle level yang jelas pro-perdamaian, pro-konflik, dan yang mengambil posisi moderat dan tidak berpihak;
b.    seberapa besar akumulasi massa lapis bawah yang menginduk pada kecenderungan polarisasi tokoh middle level dan top level tertentu, baik yang pro maupun yang kontra upaya perdamaian.
c.     Isu dan tuntutan apa saja yang diusung masing-masing kubu.
d.    Seperti apa konfigurasi inter-section para elite dan middle level terkait isu dan tuntutan agenda masing-masing pihak yang sedang berkonflik,
e.     Seperti apa konfigurasi relasi sosial ekonomi mereka dalam kehidupan sehari-hari di luar urusan konflik yang sedang berkembang.
f.     Apakah polarisasi para elite dan middle actors yang terbentuk terkait konflik yang sudah mencapai fase eskalasi dengan kekerasan itu juga memiliki korelasi linear dengan polarisasi di luar urusan konflik.
g.    Apa saja yang menjadi common plattform atau  common ground sosial para stakeholders yang seharusnya tidak mudah runtuh gara-gara satu konflik.
h.    Dst.


Peta konfigurasi inter-section ini bermanfaat untuk 
(a)   mengumpul kekuatan untuk membendung hingga mereduksi pengaruh destruktif dari mereka yang terus menghendaki konfik
(b)   mengisolasi trouble makers, kontra perdamaian, dan sejenisnya selama proses fasilitasi untuk mediasi ke arah rekonsiliasi.
(c)    Menjadikan aktor pro-perdamaian pada semua level sebagai agent untuk merangkul, menjinakkan, dan mengedukasi ‘sahabat-sahabat mereka’ untuk berjalan bersama di satu jalur menuju rekonsiliasi 

Siapa yang harus melakukan stakeholders mapping?


D. Capacity-Building untuk Resolusi Konflik

Masalah klaim kepemilikan tanah dan soal batas tanah di Adonara (juga di banyak tempat lain) selalu menjadi konflik laten – potensi konflik yang setiap saat bisa pecah dan bereskalasi menjadi konflik terbuka dengan kekerasan yang mematikan. Ada banyak faktor dan banyak penjelasan untuk hal yang satu ini.

Pertanyaan yang cenderung normatif tetapi harus diajukan kembali di sini adalah: mengapa proses pendidikan formal di bangku sekolah tidak mampu membekali anak didik kita memasuki masyarakat dengan kompetensi menyelesaikan konflik di tengah masyarakat tanpa mempergunakan kekerasan?

Apakah lembaga agama dan lembaga adat terlalu sibuk mengurus masalah ritual dan penegakan etika dan moral sosial sehingga lalai membekali masyarakat dan umat dengan pengetahuan dan ketrampuilan mengelola konflik?

Dan masih ada sederet pertanyaan lagi yang bisa diajukan di sini untuk mencari jawaban: mengapa masyarakat kita, dulu, sekarang, dan mungkin juga nanti, selalu terjebak untuk menyelesaikan konflik tanah dan batas tanah dengan cara mengangkat parang dan tombak untuk saling meniadalan? Mengaa tidak ada pilihan jalan dialog?

---

Meminjam model Segitiga-ABC-Konflik Johan Galtung, mula-mula ada potensi konflik dimana ada dua atau lebih pihak di dalam masyarakat yang mengklaim memiliki kepentingan untuk menguasai satu atau beberapa obyek yang sama, dan untuk mendapatkan obyek kepentingan itu mereka harus bersaing. 

Untuk konteks pembahasan kita: ada perbedaan klaim atas garis batas tanah yang dimiliki dua orang, dua keluarga, atau dua suku/marga. Sampai pada taraf ini konflik masih merupakan potensi atau kemungkinan, masih tertutup (covert conflict), masih bersifat konflik laten yang akan pecah jika ada pemicu yang efektif.

Agar supaya potensi konflik laten itu tidak terus berkembang menjadi parah hingga pecah menjadi konflik terbuka (manifested conflict) maka diperlukan upaya mitigasi dalam bentuk pemetaan potensi konflik (mapping), identifikasi aktor dan agenda para pihak yang berkonflik, mengelola potensi konflik itu sedemikian rupa sehingga potesi konflik itu tidak membentuk perilaku konflik (conflict behavior) pada para pihak yang bersengketa.

Upaya mitigasi hingga tindakan mengempeskan potensi konflik itu kita sebut sebagai strategi manajemen konflik. Potesi konflik harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menghasilkan perilaku kekerasan yang bemuara pada pecahnya konflik terbuka yang disertai tindak kekerasan yang destruktir.

Dalam konteks ini diperlukan apa yang disebut early warning system (EWS = sistem peringatan dini) untuk mengingatkan bahwa sebuah potens konflik bisa pecah sewaktu-waktu jika terdapat faktor pemicu yang efektif dan tidak ada upaya mengelola potensi konflik tersebut. 

Jika suatu potensi konflik sudah terlanjur pecah dan bereskalasi menjadi konflik terbuka (manifested cinflict atau overt conflict), maka kita akan berbicara mengenai upaya resolusi konflik melalui mekanisme mediasi dan negosiasi.

---

Kita sepakat untuk satu hal bahwa potensi konflik tanah dan batas tanah di Adonara masih akan terus terjadi. Oleh karena itu harus ada upaya sistematis yang dilakukan dari titik waktu dan tempat sekarang ini untuk mencegah kemungkinan terulangnya konflik dengan tingkat kekerasan serupa.

Pengetahuan dan ketrapilan mengelola konflik dan/atau melakukan upaya resolusi konflik, maupun upaya-upaya pasca-konflik untuk mencegah dan memelihara suasana damai (peace-bulding = bina damai) tidak terjadi/terbentuk dengan sendirinya ‘by instink’, tidak turun dari langit, juga tidak cukup dari hanya membaca buku petunjuk. Yang harus ditanya dan dilibatkan adalah masyarakat!

Pengetahuan dan ketrampilan mengelola konflik harus ditanamkan sejak di bangku sekolah, diajarkan sebagai pelatihan capacity-building bagi aparat desa, pemuda desa, aktivis dalam desa dan lintas desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam satu wilaya (kecamatan).

Upaya capacity-building bagi semua stakeholders di masyarakat diperlukan – terutama untuk konteks Adonara - agar para pemangku kepentingan di masyarakat memiliki komitmen bina damai dan kompetensi yang memadai dalam memahami, mengelola, mencegah dan mengatasi konflik, terutama konflik tanah dan batas tanah di Adonara.

Kurikulum pelatihan, pilihan fasilitator, pilihan metode dan teknik pelatihan, seleksi peserta, dll – semuanya adalah hal-hal teknis yang tidak dapat dianggap sepeleh dalam merancang langkah-langkah konkret membentuk kemampuan mengelola konflik oleh dan bersama masyarat. 

Siapa yang harus memulai?


(Post Script-1)
Ketika Semua Roh Kebijakan Terbang Menjauh dari Tanah Adonara 

Saya masih bermimpi menyelesaikan draft sebuah manuskript – yang entah kapan bisa rampung – tentang Adonara dan tentang Koda-Kirin: The Sacred World and the Sacred Words of Adonara.

Bahwa di pulau Adonara banyak hal seperti tempat, obyek, ritual/upacara, tindakan, dan lain-ain, yang masuk kategori ‘gerar’ang’ atau sakral (sacred). Orang harus memperlakukan semua yang ‘gerar’ang’ itu dengan hati-hati, penuh hormat, tak boleh dilanggar, tak boleh sembarang, dst – sebab dibalik larangan dan pantangan atas semua yang ‘gerar’ang’ itu ada hukuman dari alam gaib dan kekuatan tak kasat mata: ina-ama, koda kwokot, etc.

Orang Adonara juga memiliki kearifan yang dikualifikasi sebagai “hukum ‘keramat’, ‘gerar’ang-plating’, bernilai sangat tinggi dan amat kompleks, dikemas dalam ‘koda-kirin’ yang disampaikan secara lisan turun-temurun dan hanya oleh penutur yang memiliki otoritas dan kelayakan untuk itu.  

Di antara banyak fungsi koda-kirin itu, ada dua fungsi yang sangat sentral: sebagai code of conduct masyarakat dalam “Dunia Orang Adonara”: perama, yang mengatur tata-perilaku individu dalam masyarakat, tata-perilaku dalam hubungan antar manusia, dan tata-perilaku manusia dalam hubungan dengan alam lingkungan dan dengan alam gaib.

Fungsi kedua, koda-kirin menjadi bentuk sastra klasik Adonara yang sangat tinggi. Kekayaan sastra klasik ini belum (banyak) dieksplorasi oleh para filolog. Saya masih menyimpan obsesi untuk belajar ilmu dan seni sastra klasik yang satu ini. “Onek suka koi koda(-kirin)”. 

Dan seorang sahabat sudah menasehat saya: “kalau mo suka moi koda, seba waktu, uhung-balik rae lewon tana esi ki. Sebab koda itu tidak bisa dipelajari tetapi ia tumbuh dengan sendirinya (nimo node tawang).”

Hem …. Siapa yang tidak penasaran terhadap godaan intelektual yang satu ini? 

Dalam penasaran dan pencarian saya yang masih sangat pemula, awam, dan baru sejengkal, belum apa-apa, saya meminjam pendekatan archeology of knowledge-nya Om Michel Foucault untuk mencoba mencari hubungan antara koda-kirin sebagai the sacred words dengan Dunia Orang Adonara sebagai the sacred world.

Di saat konflik batas tanah seperti yang terjadi di desa Sandosi baru-baru ini, satu per satu mulai keluar kata-kata bijak, nasihat, mutiara-mutiara kearifan lokal, pepatah-petitih, ungkapan kebijakan tentang menjaga persaudaraan, tentang menghindari konflik, tentang menghormati yang tua, tentang menghormati yang mati, tentang prinsip-prinsip keadilan, tentang …. tentang banyak hal yang menjadi code of conduct orang Adonara dalam suasana damai maupun perang.

Maka metodologi pencarian intelektual di jalan Foucault adalah melacak dari mana dan dalam konteks apa kearifan-kearifan itu lahir, tumbuh besar dan bekerja dalam keseharian masyarakat menjadi habitus. 

Tetapi pada saat yang sama juga muncul gugatan: MENGAPA ketika pecah konflik di mana orang mengangkat parang dan tombak untuk saling membunuh itu terjadi, Roh-Roh Kebaikan dan Kebijakan luhur dengan sayap yang “dianyam” dalam xan dengan jiwa-kata arif sakral itu gagal terbang turun masuk ke dalam hati orang Adonara untuk menuntun cara berintak dan berperilaku yang benar. Apakah Roh-Roh Kearifan pembawa the Sacred Words itu terlambat mendarat atau enggan singgah lagi di tanah the Sacred World Adonara?

Saya tak tahu.

Yang saya masih ingat, juga masih di jalan Foucault, bahwa kebijakan, kearifan, pesan moral – semua nilai yang menjadi code of conduct orang Adonara itu – pernah lahir dalam sebuah situasi, tumbuh dalam sebuah proses bermasyarakat – namun tersangkut di laci lemari collective memory orang-orang Adonara.

Dan sebagai dalil shahih psikologi kognitif: isi laci collective memory tentang kearifan, kebajaksanaan, nilai-nilai luhur dll. semuanya itu baru disadari untuk ditengok lagi JUSTRU ketika nilai-niai itu terusik oleh pengalaman telanjang di depan mata. 

Orang baru terburu-buru membangun jembatan akses ke dalam laci collective memory jika nilai-nilai collective memory itu terusik oleh peristiwa-peristiwa sosial yang kita tidak berkenan, dan kita butuh pegangan. 

Kalau saja tidak ada yang menggangu, tidak ada peristiwa yang mengusik, maka nilai-nilai luhur itu pun istrahat dalam damai di laci colelctive memory kita semua.


Ygyakarta, 9 Maret 2020.


rbbaowollo