Selasa, 20 Juli 2010

Impunity dan Politik Public Relations

Robert B. Baowollo*

Banyak logika konflik di Indonesia telah mengalami proses penjungkirbalikan yang luar biasa dalam bahasa manipulasi politik mulai dari yang sangat kasat mata hingga yang sangat halus. Korban dapat berganti posisi menjadi pelaku sekaligus tertuduh hanya karena ia berada dalam posisi yang lemah dari suatu sistem kekuasaan dan sistem sosial yang dikuasai pihak lain. Orang Aceh dan Papua marah karena Jakarta telah berlaku tidak adil kepada mereka selama puluhan tahun tetapi Jakarta terus saja melihat diskursus Aceh dan Papua sebagai diskursus separatisme dan karena itu soluasinya juga selalu solusi militeristik dan terus melestarikan ketidakberdayaan sturktural ini. Para koruptor dan penyuap juga terus saja berjaya sambil melepaskan tabir kentut yang menimbulkan polusi akal sehat manusia Indonesia: Indonesia menduduki peringkat atas negara terkorupsi di dunia tetapi tidak ada koruptor. Para koruptor itu bukanlah orang-orang bodoh. Dan kita diperhadapkan pada fenomena the educated tyranny and the civilized powerless.


Para politisi dan intelektual partisan tampil dengan jargon-jargon nasionalisme yang mengsubordinasikan kemanusiaan sebagai sekedar braune Masse meminjam istilah Adolf Hitler. Mereka berbicara dan mengingatkan publik akan bahaya dan ancaman separatisme klasik kolonialisme, dan neokolonialisme sambil melempar sejumlah contoh seperti India, Sri Langka, Yugoslawia, dan sebagainya, dan pada saat yang sama mereka mengklaim diri sebagai orang-orang yang paling nasionalis. Padahal mereka sesungguhnya sedang bermain dengan apa yang oleh Edward W. Said disebut pseudophilosophy politis dengan mempergunakan kesadaran ras, etnis dan kedaulatan nasional. Mereka berbicara mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi pada saat yang sama mereka mencabik-cabik kesatuan itu menjadi keping-keping ideologi partisan, agama dan hukum agama, suku dan ras menurut pemahaman dan kepentingan mereka. Bagi pemerintahan Megawati dan militer konsep kesatuan fisik teritorial NKRI telah mengideologi sedemikian rupa sehingga seluruh persoalan kesatuan bangsa direduksi menjadi persoalan kesatuan fisik teritorial sementara kesatuan hukum, kesatuan sosial, kesatuan politik, kesatuan kebangsaan yang tercermin dalam kemanusiaan yang adil dan beradab, rasa keadilan sosial dalam kekeluargaan, semakin terpinggirkan dan dianggap tidak relevan dalam wacana NKRI.

Persoalan ketidakberdayaan masyarakat sipil menghadapi tirani orang pandai, cerdik, terdidik dan berkuasa bersumber dari impunity dan penghayatan kekuasaan feodal yang memegang doktrin bahwa kesatuan (organisasi, institusi) tidak boleh dikalahkan (karena menyangkut moral perjuangan) dan karena itu tak boleh diberi kesempatan untuk dinyatakan bersalah!.

Impunity dan feodalisme kekuasaan yang mengangkangi hukum dan rasa keadilan masyarakat semakin hari semakin kuat dan dianggap biasa dalam dunia politik. Persoalannya tidak sekedar menyangkut pengingkaran azas accountability dalam berdemokrasi tetapi terutama merupakan proses penumpulan dan pengikisan kesadaran etika dalam berpolitik. Jika etika mempersoalkan apakah sebuah tindakan atau keputusan baik dan benar menurut tolok ukur nilai dan norma yang diterima masyarakat, maka moral memberi argumentasi pertanggungjawaban mengapa sikap tertentu baik dan benar. Ketidak-berdayaan figur publik yang nota bene adalah orang cerdik pandai dengan bekal intelektual yang cukup dan memiliki track record politik yang panjang mencerminkan rapuh dan rabunnya parameter etika dalam berpolitik yang disebabkan tiadanya basis pijakan moral dari dalam diri sendiri untuk membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang pantas dan yang tidak pantas.

Penjelasan yang paling sederhana mengapa politik minus etika bisa berjalan langgeng adalah bahwa para politisi itu dididik dan dilatih dalam kurikulum politik seperti itu sehingga out-putnya juga seperti itu. Sialnya, media massa dan publik terlanjur suka menokohkan tokoh-tokoh semu ini, sehingga masyarakat terjebak menerima keteladanan semu dari mereka yang menjadi figur publik.

Impunity institusi disebabkan oleh adanya doktrin bahwa lembaga tidak pernah bersalah. Kalau ada operasi militer yang berhasil maka itu adalah kemenangan kesatuan dan prestasi bagi pimpinannya. Tetapi kalau dalam operasi yang sama terjadi penyimpangan, maka dua penjelasan instan akan muncul; kesalahan prosedur atau tanggungjawab oknum. Tekanan publik atas silogisme ini melahirkan trik-trik politik pragmatis untuk menghentikan hujan pertanyaan dan ketidakpercayaan dari publik.

Suatu ketika di Jerman, polisi Berlin berhasil membongkar mafia Vietnam penyelundup rokok ke Jerman. Media massa meliput berita tersebut dengan headlines menyolok. Hari berikutnya muncul tanggapan sinis: polisi Berlin cuma bisa berani terhadap mafia Vietnam kelas teri, sementara terhadap jaringan mafia Jerman sendiri mereka tidak berdaya. Operasi mafia Vietnam adalah strategi PR (public relations) ofensiv kepolisian Berlin untuk memulihkan citra di tengah tuduhan kegagalan Innenminister (menteri dalam negeri) menurunkan kriminalitas kota Berlin.

Strategi PR amat mudah dipakai untuk mengakali gugatan publik terhadap accoutability pejabat dan atau badan publik. Demikian, ketika terjadi penembakan staf Freeport, mabes TNI cepat melancarkan strategi PR dengan menuding kelompok OPM sebagai pelakunya, sambil tak lupa menyempurnakan skenario itu dengan mendandani mayat seorang tak dikenal dengan identitas OPM. Pihak OPM juga segera membantah mengenal korban dan menolak memakamkan korban di wilayah mereka. Mabes yang sama juga kemudian mengatakan bahwa kemungkinan pelaku adalah orang dalam Freeport sendiri, tanpa meralat, apalagi meminta maaf kepada publik (apalagi kepada OPM) atas kesalahan isi strategi PR sebelumnya. Bukan tidak mungkin pendeta Damanik dari Crisis Center Gereja Sulawesi Tengah maupun sejumlah orang Aceh yang dijadikan terdakwa sejumlah kasus peledakan di Jakarta adalah korban dari strategi PR untuk menyelamatkan citra aparat negara, khususnya badan inteligen nasional, dari cercaan publik atas ketidak-mampuan mereka menjaga negara dan bangsa ini. Akankah negara meminta maaf kepada mereka yang dituduh itu jika pengakuan sejumlah teroris internasional yang mulai terkuak bahwa merekalah pelaku sejumlah peledakan di Indonesia? Bukankah Pemerintah dan TNI akhirnya ikut (walau dengan malu-malu) mengakui keberadaan sejumlah teroris dan jaringan terorisme di tanah air (dan Asia Tenggara), setelah sekian lama saling tarik urat leher antar pejabat tinggi soal ada-tidaknya teroris dan jaringan terorisme di Indonesia?

Sebuah penjelas yang masuk akal, mengapa pemerintah lamban mengakui adanya terorisme dan jaringan terorisme di Indonesia, adalah faktor kearifan. Sikap hati-hati pemerintah dalam mengakui ada-tidaknya terorisme merupakan sebuah kearifan yang perlu dihargai. Disamping kita tidak mau didikte, apalagi dijadikan operator kepentingan internasional seperti Amerika Serikat, kita juga mempunyai persoalan untuk menjaga kesatuan dan persatuan. Gejolak boleh ada, gesekan boleh terjadi tetapi tidak boleh sampai mencederai, apalagi menghancurkan persatuan. Fundamentalisme dan terorisme di Indonesia adalah sebuah tema sensitif yang membutuhkan kearifan dan kehati-hatian yang luar biasa dalam pendekatan dan penanganannya. Menangkap seekor tikus tak harus membakar seluruh lumbung dan membuat panik semua warga desa.

Akrobat politisi Senayan yang mempergunakan praktek pokrol bambu dalam upaya menyelamatkan institusi masing-masing merupakan contoh yang paling buruk dalam pendidikan politik di Indonesia. Masyarakat disuguhi sebuah praktek PR politik yang sangat memuakkan: semua pihak berjuang untuk kekuasaan dan akan tetap melestarikan kekuasaan yang dipegang walau untuk itu akal sehat konstituen mereka terpaksa dilecehkan. Sebuah praktek PR politik dengan pseudophilosphy yang melestarikan impunity!

* robert b. baowollo, pemerhati masalah indonesia pada universitas hamburg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar