Selasa, 20 Juli 2010

Perdamaian di Aceh: Jalan Melelahkan dari Acheh Menuju Aceh

Oleh Robert B. Baowollo


Perang adalah kontinuum sejumlah pertempuran yang terdiri dari kalah dan menang. Si vis pacem para belum! Jika saudara menghendaki peredamaian maka bersiaplah untuk peperangan! Perdamaian menjadi tujuan perang – sebuah adagium yang aneh yang dikemukakan oleh sejarahwan Romawi Titus Livius (59SM-17M) dalam bukunya Ab Urbe Condita. Sebuah perang seharusnya sudah dinyatakan abort jika kedua belah pihak gagal mencapai apa yang hendak dicapai melalu perang (tujuan perang). Pertempuran sebagai episode perang jika menyimpang dari alur tujuan perang untuk mencapai perdamaian (perang hanya untuk perang) seharusnya didiskualifikasi dari sebuah bentuk solusi permasalahan. GAM dengan berbagai faksinya, sama seperti pemerintah Indonesia dengan TNI dan polisi, akhirnya harus bertanya: untuk apa peperangan ini dilanjutkan? Apakah kemenangan TNI atau GAM di medan pertempuran masih mempunyai makna bagi sebuah conflict resolution yang berbuah perdamaian yang diterima kedua belah pihak, khususnya bagi rakyat Aceh sendiri?

Ada tiga hal yang mengganggu dalam wacana penyelesaian konflik Aceh: pertama, langkah militer mengepung berbagai markas GAM adalah strategi perang dan penaklukan, dan bukan pola diplomasi sipil sebagaimana yang sedang dilakukan di Genewa dan Tokyo; kedua, langkah militer tersebut, sebagaimana banyak dipersoalkan pengamat masalah Aceh, kembali menegaskan kesan lepasnya kontrol pemerintahan sipil Megawati Sukarnoputri atas militer dalam wacana penyelesaian konflik Aceh menurut cara-cara sipil, dan karena itu akan kontraproduktif terhadap setiap usaha perdamaian; ketiga, persoalan konflik Aceh seolah-olah direduksi menjadi masalah antara TNI dan GAM sementara hingga saat ini belum muncul satupun konsep pemerintah maupun GAM yang komprehensif untuk melindungi masyarakat sipil Aceh jiga kesepakatan damai itu jadi atau gagal ditandatangani. Bukankah konsep damai yang dipahami pihak pemerintah RI dan GAM masih berbeda?

Tulisan ini mencoba menggugat berbagai manouver TNI dan GAM menjelang tanggal 9 Desember 2002 untuk menempatkan nasib warga sipil Aceh sebagai faktor sentral dalam setiap pertimbangan dan keputusan politik pihak-pihak yang bertikai.

GAM: separatist atau pejuang kemerdekaan?

André Glucksmann, filsuf Perancis yang membelot dari Marxisme dan terus-menerus mengeritik komunisme, menjadi satu dari sedikit intelektual Eropa yang buka mulut membela penderitaan rakyat Chehnya dan mencerca kebijakan Putin terhadap Chehnya yang membiarkan pembantaian sebuah etnis oleh tangan dingin tentara Sovjet. Glucksmann melihat aksi pendudukan dan penyanderaan pemberontak Chehnya di gedung Musical-Theater Moskow sebagai “tidak adanya alternatif lain bagi rakyat Chehnya untuk bersuara”, terutama setelah mingguan Nesweek menurunkan sebuah laporan bagaimana tentara Sovjet memperkosa wanita dan laki-laki di depan umum di desa-desa, mengikat laki-laki, perempuan dan anak-anak sekitar 20-an lalu meledakkan granat atas mereka yang tak berdaya itu (Die Welt, 25/10).

Pembelaan dan keberpihakan Glucksmann terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Chehnya melahirkan kecaman keras dari Schlomo Avineri, guru besar ilmu politik Hebrew University Yerusalem: Glucksmann dinilai sebagai filsuf moralis buta! (Die Welt, 28/10) Dan oleh lawannya yang lain, Mathias Kamann, ia dinilai memberi justifikasi atas perang apokaliptis gerilyawan Chehnya (Die Welt, 26/10).

Menjadi pahlawan atau pengkhianat, pemberontak atau pejuang kemerdekaan – semuanya tergantung dari perspektif mana orang memandangnya. Cara Amerika menggiring dunia ke dalam polarisasi keberpihakan memerangi terorisme dengan motto „bersama kami atau melawan kami“ adalah sebuah simplifikasi persoalan dan pemaksaan kehendak dengan argumentasi yang paling absurd yang tidak boleh dijiplak baik oleh TNI maupun GAM di bumi Aceh. Cara pandang dan strategi tersebut tidak memberikan alternatip apapun bagi masyarakat sipil tak berdosa untuk memilih dan bersikap sendiri sesuai hati nurani mereka. Memaksa orang untuk menentukan pilihan keberpihakan dalam memerangi terorisme adalah juga sebuah bentuk terorisme lain dalam perang melawan terorisme. Bukankah para pejuang Mudjahiddin dan Taliban di mata Amerika Serikat merupakan „good guys“ selama mereka berjuang untuk kepentingan Amerika mengusir tentara Sovjet dari Afganistan?

Rakyat Aceh tak boleh digiring ke dalam dilemma yang dipertajam untuk memilih memihak GAM yang berarti menjadi musuh TNI, atau memihak TNI yang berarti menjadi musuh GAM – sebuah pilihan yang amat pahit, yang tidak dikehendaki siapapun dan dimanapun di semua daerah konflik seperti Aceh, Papua, Chechnya, Bosnia, Ruanda, dan lain-lain.

Para pejuang separatis dimanapun yang memilih mengangkat senjata sejak dulu disebut sebagai pemberontak, pimpinan perang gerilya dan war lords, serta heroisme gerilyawan dan pejuang partisan – dewasa ini dalam wacana perang modern lebih merupakan sisa-sisa mythos perang masa lalu (Alan Posener, 2002) yang semakin terdesak oleh perang modern yang mengandalkan ilmu pengetahuan, teknologi dan diplomasi.

Adalah menarik menyimak filosofi strategi perang gerilya Mao Zedong (Mao Tze Tung) dan konsep ahli teori perang kerajaan Prusia, Carl von Clausewitz, untuk mencermati pernyataan Panglima TNI bahwa tindakan TNI di Aceh disasarkan pada keputusan politik (Suara Pembaruan 28/12). Hal ini penting untuk mengkritisi akuntabilitas politik pemerintah pusat terhadap masalah Aceh.

Paradoxical Trinity

Dewasa ini tidak terdapat banyak laporan keberhasilan perang gerilya, pemberontakan, atau separatisme – dengan sedikit pengecualian. Teori perang gerilya Mao lebih merupakan sebuah romantisme yang sulit dipakai untuk perang modern. Point penting perbedaan konsep perang menurut Clausewitz dan Mao terletak pada definisi perang sebagai sarana untuk menundukkan lawan. Menurut Clausewitz “war is nothing but the continuation of policy with other means”, sementara Mao dan pengikutnya mendefinisikan perang sebagai penerusan perang “with the same means” . Perbedaan ini penting untuk dicermati mengingat kedua belah pihak saling mengklaim sebuah justified war.

Dimana ada perang gerilya, disana tata masyarakat sipil akan kacau-balau. Perang gerilya, apapun nama dan ideologi yang diwakilinya, tidak hanya berkaitan dengan kepentingan kekuasaan tetapi terutama menyangkut pesan yang hendak disampaikan lewat moncong senjata (Posener). Perang gerilya ala Mao tidak saja merupakan taktik menghalalkan cara untuk mencapai tujuan tetapi telah menjadikan perang itu sendiri sebagai tujuan. Di Aceh bukan saja GAM yang bergerilya tetapi TNI yang kaya pengalaman perang gerilya tentu tak bisa dikatakan tidak memakai konsep perang gerilya!

Perang, sebagaimana perang di Aceh, selalu mencakup tiga unsur utama: the nature of the war, the conduct of the war dan the purpose of the war (Clausewitz, On War, 1989). Ketiga unsur tersebut melibatkan tiga pihak berkepentingan: the people, yaitu pihak yang terkena dan menjadi bagian dari the nature of the war; the military yang berurusan dengan the conduct of the war; dan the government yang berkepentingan dengan the purpose of the war. Keterkaitan ketiga komponen tersebut oleh Clausewitz disebut sebagai suatu
paradoxical trinity.

Akuntabilitas perang Aceh

Baik TNI maupun GAM akan memandang opsi perang sebagai justified war dengan argumentasi masing-masing. Ada tiga pertanyaan yang perlu dicermati berkaitan dengan justified war, baik pada pihak TNI maupun GAM: pertama, berkaitan dengan formulasi tujuan perang. Apa yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan kebijakan perang di Aceh, mulai dari era DOM hingga sekarang? Apakah tujuan politik resolusi masalah Aceh dengan kebijakan pendekatan militer itu masih konsisten, tanpa bias, terutama ketika kebijakan itu telah berpindah ke tangan militer sebagai pihak yang berurusan dengan the conduct of the war?; kedua, kalau terjadi bias di tangan pemegang otoritas the conduct of the war (tentara), apa (saja) kepentingan tentara dalam proses conducting the war yang menjadi faktor deviasi? Seberapa besar bias itu masih konsisten dan tidak menyimpang jauh dari tujuan politik yang dirumuskan pemerintah? Seberapa besar bias kepentingan itu menggeser tujuan awal perang (the purpose of the war) yang dirumuskan pemerintah yang kemudian diidentifikasi sebagai kepentingan tentara sendiri? Pendekatan yang sama juga dikapai untuk mengkaji dan mengkritisi tujuan perjuangan GAM.

Baik TNI maupun GAM keduanya berurusan dengan medan dan manusia rakyat sipil Aceh yang sama, karena wajah perang sebagai a great trinity (Osgood, 2000) terbentuk dari violence and passion berujud friksi di tengah masyarakat; uncertainty, chance, and probability; dan political purposes and effect. Persoalan the nature of the war tidak saja merupakan pertanyaan hakekat perang tetapi terutama merupakan altar pembantaian moral dan etik yang lebih dasyat yang menuntut pertanggungjawaban politik para penguasa perumus the purpose of the war.

Situasi Pasca Perjanjian damai.

Apapun hasil yang dicapai dalam rencana penandatanganan perjanjian perdamaian, tidak boleh membuat semua pihak berpuas diri dan berhenti berpikir. Situasi Maluku dan Poso pasca Perjanjian Damai Malino I & II menunjukkan bahwa perjanjian damai baru merupakan awal dan hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan proses rekonsiliasi dan pembangunan kembali tatanan masyarakat sipil setempat. Trauma kolektif tidak hanya menghinggapi masyarakat Aceh tetapi juga keluarga-keluarga TNI dan Polri. Demikian pula nasib para pahlawan pada kedua pihak yang bertikai yang menjadi warriors, milisi, paramiliter, “cuak” (mata-mata atau kaki tangan) yang sangat ditakuti dan dibenci masyarakat Aceh tetap merupakan luka segar yang menganga lebar dalam hari-hari yang dijalani pasca persetujuan damai.

Manusia Aceh sebelum perang berbeda dengan manusia Aceh pasca perang, yang sarat dengan pengalaman konflik, kekerasan, pertumpahan darah, kehilangan anggota keluarga. Manusia Aceh pasca perang adalah sebuah sejarah hidup tersendiri yang hanya bisa ditulis sebagai monumen penderitaan oleh para psikiater dan pendamping korban perang, dan tak akan pernah dimengerti oleh para politisi di Senayan sana.

Sesungguhnya jalan menuju perdamaian di Aceh itu adalah melalui Aceh juga. Hanya orang Aceh yang paling tahu, apa artinya menjadi manusia merdeka yang tidak diganggu siapapun saat ia turun ke sawah atau menggembala kambing, menjual hasil panen ke pasar kota untuk membiayai anak sekolah.

Tanyakanlah kepada orang Aceh sekali lagi: apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka menerjemahkan keinginan mereka itu agar tercipta perdamaian. Setiap nyawa yang gugur sia-sia terlalu mahal untuk setiap petualangan politik yang tidak membawa kabar perdamaian sejati tetapi hanya mengumbar retorika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar