Kamis, 15 Juli 2010

MULTIKULTURALISME DAN POLITIK IDENTITAS PASCA-REFORMASI[1]

Robert B. Baowollo[2]
Pengantar: ’Proyek Indonesia” dan Urgensi Membicarakan Multikulturalisme dan Politik Identitas

Ada tiga alasan utama mengapa kita perlu membicarakan kembali konsep kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia. Pertama, semangat dan komitmen bersama untuk ”menjadi Indonesia” (Anderson, 2002) melalui sebuah proyek nation building – ’Proyek Indonesia’ – untuk membangun dan memperkuat daya dukung serta daya rekat rasa kebangsaan mulai mengendor. Semangat kebangsaan kita sedang mengalami decaying process - yaitu proses pembusukan dan pengeroposan dari dalam melalui tindakan menjarah dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ancaman atas integrasi dan kedaulatan negara-bangsa kini datang dari preaktek politik sektarian dan/atau politik partisan dengan karakter prebendalism[3] yang sangat kuat sebagai ciri khas perilaku masyarakat dan elite politik post-colonial pada bangsa-bangsa yang baru merdeka.
Kedua, kontestasi di antara berbagai kelompok identitas di Indonesia sejauh ini ditanggapi dengan dua cara berbeda namun sama-sama bersifat kontra-produktif: (a) Orde Baru berupaya menekan perbedaan lewat politik kriminalisasi SARA[4]. Politik kriminalisasi SARA tidak hanya membentuk sikap curiga terhadap perbedaan, tetapi juga membuat kita tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola perbedaan[5]; (b) kelompok-kelompok identitas (dan ideologis) yang selalu ditekan selama masa kekuasaan rejim represif Orde Baru mulai bangkit dimana-mana dan menuntut pengakuan atas eksistensi mereka dalam dan atas nama demokrasi. Mereka berupaya saling berebut pengaruh di ruang publik. Maka demokrasi dan reformasi menjadi sebuah euforia yang nyaris tanpa kendali dan tanpa arah hingga melabrak rambu-rambu konstitusi.
Hegemoni antara berbagai kelompok identitas itu dirasakan tidak saja mengganggu tetapi sudah mengancam komitmen kebangsaan. Dua ancaman yang paling dominan adalah menguatnya fundamentalisme agama sebagai fenomena bangkitnya religious nationalism dan tuntutan otonomi daerah serta prinsip prioritas bagi putra daerah sebagai fenomena kembalinya regional nationalism.
Ketiga, wacana multikulturalisme dalam konteks re-inventing wawasan kebangsaan Indonesia memang bukanlah satu-satunya wacana dan cara untuk mengatasi berbagai persoalan multi-dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang. Politik Multikulturalisme diperlukan karena ia merupakan faktor penguat daya rekat yang dapat menyelamatkan republik ini dari ancaman kehancuran dan perpecahan. Namun demikian, pengembangan wacana multiklturalisme perlu didasarkan pada pemahaman konsepsional yang baik dan benar disertai pola pendekatan yang memiliki basis konsepsi didaktis yang dapat dipertanggungjawabkan. Anda tahu, dengan membaca buku teori berenang seseorang tidak serta-merta lalu mahir berenang. Demikian juga halnya dengan multikulturalisme!
Paper ini secara berurut akan membahas empat persoalan pokok Multikulturalisme dan politik identitas di Indonesia pasca reformasi: (a) konsep dan problem multikulturalisme, (b) multikulturalisme dan masalah kewargaan, (c) Reformasi dan politik identitas post-colonial, dan (d) politik identitas dan penguatan social capital pada masyarakat akar rumput untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan berbasis warga (community-based sustainable deveopment). 


1. KONSEP DAN PROBLEM MULTIKULTURALISME
Perbincangan tentang multikulturalisme sebaiknya berangkat dari tinjauan ontologis tentang kultur (latin: cultura) yang makna dasarnya merujuk pada tindakan manusia dalam menanam, membangun dan merawat (latin: colere)[6]. Konsep dasar kultur selanjutnya berbicara tentang segala sesuatu yang dihasilkan dan dirawat manusia[7] sepanjang sejarah umat manusia, dan karena itu selalu berkembang, berubah dari masa ke masa, dan bukan tentang segala sesuatu yang diberikan oleh alam dan yang tidak berubah. Dengan demikian konsep kultur tidak bisa dilepas dari pembicaraan tentang manusia dan hasil tindakan manusia sebagai sebuah proses dinamis. Sering kita menyebutnya sebagai peradaban. Karena itu disini berlaku tesis provokatif yang mengatakan bahwa: Gesellschaft hat keine Kultur, sondern ist Kultur - masyarakat tidak punya kultur, (karena) masyarakat adalah kultur itu sendiri (Bolten, 2007: 14).
Wacana culturalism dan multiculturalism mula-mula muncul sebagai reaksi terhadap semua yang bernama naturalism dan monism. Secara lebih spesifik: pluralism (selain plurality) yang menjadi elemen utama multikulturalisme muncul untuk menggugat dominasi paham naturalisme maupun monisme (”mono-isme”).

Naturalisme
Naturalisme menganggap segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk dunia itu sendiri, hanya dapat dijelaskan melalui cara-cara ilmu pengetahuan: secara ontologis dan semantis. Tesis naturalisme ontologis (disebut juga teori identitas) mengatakan bahwa hanya entitas natural yang eksis (artinya: keberadaannya dapat diterima secara ilmu pengetahuan alam). Tesis naturalisme semantis (disebut juga reduksionisme) mengatakan bahwa hanya deskripsi, yang disederhanakan dalam vokabular ilmu pengetahuan alam, yang dapat dianggap benar. Di sini orang berbicara mengenai reduksionisme yang bersifat empiris dan logis. Dengan demikian naturalisme berbicara mengenai kebenaran obyektif, sementara pluralisme menolak klaim kebenaran obyektif itu dan mengeritik jenis kebenaran seperti itu sebagai kebenaran yang kering dan statis[8].

Monisme
Monisme sebagai ’mono-kebenaran’ tidak saja menolak naturalisme tetapi juga memerangi ’unwanted child’ naturalisme yang bernama pluralisme. Naturalisme dan pluralisme adalah dua musuh bebuyutan dalam tradisi keilmuan, namun justru naturalisme, yang ibu kandungnya adalah rasionalisme alias pencerahan (Aufklärung) itu, telah membuka ’wacana terlarang’ tentang adanya ’kebenaran lain’ di luar kebenaran tunggal (monism) yang bersifat mutlak dan dianggap sudah selesai dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Demikian, misalnya, Galileo Galilei harus menerima resiko mati karena berani mengungkapkan kebenaran lain di luar kebenaran tunggal yang selama berabad-abad dimonopoli oleh Gereja. Teori evolusi Darwin tentang asal usul makhluk hidup (On the Origin of Species by Means of Natural Selection,1859) menggegerkan dan mengguncang keyakinan orang-orang yang sangat percaya pada otoritas Al-Kitab sebagai kebenaran tunggal dan dengan itu telah memicu bangkitnya fundamentalisme Protestan di Amerika Utara (antara 1910 dan 1915). Sejak itu, agama-agama, terutama Kristen dan Islam, menabuh genderang perang fundamentalisme melawan semua aliran keyakinan yang lain karena dianggap membahayakan kebenaran tunggal mereka. Dewasa ini, penolakan terhadap pluralisme sebagian besar lebih disebabkan oleh salah kaprah yang menyamakan pluralisme dengan relativisme!

Pluralisme
Pluralisme berangkat dari pandangan bahwa setiap posisi (termasuk posisi-posisi yang bertentangan sekalipun) harus diterima sebagai memiliki peluang yang sama untuk dianggap valid dan benar. Hal ini merupakan sebuah pergeseran paradigmatis yang sangat radikal dalam cara pandang – sebagai sebuah radical worldview – yang mengatakan bahwa setiap klaim kebenaran bersifat relatif, tergantung konteks di mana klaim itu dibuat. Tidak ada kebenaran yang (berlaku) universal dan karena itu dapat diterapkan secara universal – termasuk kebenaran moral. Pluralisme bukan juga suatu pernyataan tentang apakah sebuah pandangan sebaiknya diberi kesempatan yang valid untuk mengemukakan perspektifnya. Pluralisme sebaliknya adalah sebuah epistemological commitment: bahwa tak ada klaim kebenaran, klaim moral, atau klaim yang lain, yang dapat dianggap sebagai lebih benar atau lebih valid dari yang lain. Artinya tidak ada kebenaran obyektif tunggal dan bersifat final sebagaimana diklaim naturalisme dan monisme!
Obyek kajian multikulturalisme pertama-tama dan terpenting adalah pluralisme. Pluralisme kultur (baca: multikulturalisme) pada tempat pertama berurusan dengan masalah perbedaan atau keberagaman. Tanpa mengakui keberagaman kita tidak akan berbicara tentang multikulturalisme. Dalam kata-kata St. Agustinus: non essent omnia, si essent aequalia – tidak akan ada yang bernama semua, jika yang banyak yang membangun konsep semua itu ternyata sama adanya (Parekh, 2006: 23)[9]. Pernyataan itu menjadi tesis dasar pluralisme: semua mensyaratkan adanya yang banyak, dan yang banyak yang membentuk semua itu pasti berbeda satu dari yang lain. Kalau yang semua itu sama pasti bukan semua. Karena itu keinginan untuk menundukkan perbedaan dan menjadikannya sama dan seragam (baca: hegemoni untuk homogenisasi) atas nama semua adalah cara berpikir yang secara semantik bersifat self-refutting.

Pluralitas
Pluralitas adalah suatu realitas yang tak terhindarkan. Pluralitas muncul manakala orang memiliki freedom of conscience – yaitu kebebasan untuk menangkap, membaca, memaknai, dan menyikapi realitas. Orang diberi kebebasan untuk memiliki padangan yang berbeda dan hidup menurut keyakinan mereka di arena publik (sosial, politik, ekonomi, kenudayaan, dan seterusnya). Dimana saja jika terdapat sebuah masyarakat yang terdiri dari beberapa kultur, sub-kultur, atau beberapa sistem keyakinan, maka per definisi, situasi itu adalah sebuah realitas pluralitas. Namun pluralitas juga sama sekali tidak bermakna bahwa setiap suara/pendapat dengan sendirinya juga diterima sebagai sama benar atau bermanfaat bagi semua masyarakat.

Multikulturalitas dan Interkulturalitas.
Pluralitas kultur sebagai realitas masyarakat majemuk membuka jalan dan memberi ruang dan peluang bagi setiap kelompok identitas untuk saling belajar dan saling memperkaya. Bentuknya bisa asimilasi, inkulturasi, dan/atau akulturasi. Itulah beberapa bentuk akhir multukulturalitas yang diharapkan. Namun disadari bahwa setiap kelompok masyarakat dengan identitas kultur sendiri bukan merupakan entitas pasif: mereka memiliki kecenderungan hegemonik untuk saling mendominasi dan/atau mengkooptasi hingga saling meniadakan. Untuk itu dibutuhkan strategi untuk memberdayakan keberagaman kultur itu lewat program-program integrasi, asimilasi dan sebagainya – yang menjadi kebijakan interkultur[10], dengan harapan agar berbagai kelompok kultur yang berbeda itu bisa saling beradaptasi dan membentuk satu ko-eksistensi damai dan bermanfaat untuk semua pihak.

Tiga Tipe Multikulturalitas
Studi tentang multikulturalitas secara tipologis membedakan tiga jenis realitas kemajemukan kultural yang bertumbuh dan berkembang sebagai proses dialektis dengan lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi yang ada:

Multikulturalitas I. Ciri khas multikulturalitas I: (a) merupakan kebersamaan ’semu’; (b) lebih merupakan kemajemukan statistik; (c) karena tuntutan asimilasi yang ketat maka perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing kelompok kultural harus ditekan, tidak boleh ditonjolkan; (d) perbedaan dianggap sebagai ancaman, sesuatu yang membahayakan; (e) paradigma intervensi kebijakan: mencurigai kemajemukan karena dianggap dapat mengancam stabilitas!

Multikulturalitas II. Ciri khas multikulturalitas II: (a) adanya jaminan dan pengakuan identitas bagi setiap kelompok kultural; namun (b) kelompok-kelompok kultural itu harus ’dipagari’, diberi batas ’teritori kultural’ agar tidak bercampur, tidak saling berbenturan, dan tidak terjadi kontaminasi kultural; (c) situasi terbaik yang bisa diharapkan adalah agar berbagai kelompok kultural yang ada dalam satu komunitas dapat hidup berdampingan (nebeneinander) yang ditandai oleh adanya semangat toleransi.

Multikulturalitas III. Ciri khas multikulturalitas III: (a) setiap kelompok kultural diberi ruang untuk mengembangkan dan mengekspresikan identitas mereka; (b) adanya kesediaan saling menerima satu sama lain; (c) semua pihak berupaya untuk mewujudkan suatu kehidupan bersama (miteinander) secara interkultural. Dengan demikian multikulturalitas tidak lagi sekedar menjadi sebuah prinsip tata-tertib hidup bersama melainkan sebagai proses untuk menjadi bersama. Dalam pengertian seperti ini, ungkapan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sedang menjadi (Anderson, 2002) menemukan relevansinya.

Multikulturalisme
Dalam Multikulturalisme berlaku prinsip pluralisme, yaitu sikap respek terhadap apa yang membedakan kita dan (perlu adanya) identifikasi atas apa saja yang menjadi kesamaan kita. Ungkapan pluralisme sejak diangkat oleh filosof abad pencerahan, Christian Wolff (1679-1754), berkembang pesat dalam kajian keilmuan dan merambat ke banyak bidang, namun tetap memegang dua substansi dasar itu: perbedaan dan kesamaan. Dengan pluralisme (1) kita mengakui bahwa di dalam masyarakat ada banyak sistem keyakinan (belief-systems), ada banyak macam ragam kultur dalam masyarakat kontemporer, ada plurality of viewpoints and groups. Dengan pluralisme pula (2) kita mengajukan pertanyaan, bagaimana mungkin kelompok-kelompok masyarakat yang beraneka ragam, seperti Indonesia ini, bisa menjadi satu bangsa tanpa kehilangan identitas suku/etnis mereka masing-masing dan tanpa melemahkan apa yang menyanggah kebersamaan mereka sebagai sebuah masyarakat. Dengan kata lain, dalam multikulturalisme/pluralisme kita berkeinginan untuk kedua-duanya: menghargai perbedaan dan berbagi kesamaan untuk membangun kebersamaan sebagai common ground untuk sebuah ko-eksistensi.
Wacana multikulturalisme harus bisa melampaui masalah pluralitas untuk dapat menangkap substansi pluralisme. Untuk itu multikulturalisme tidak saja harus memberi ruang bagi pengakuan dan penghormatan terhadap kemajemukan sebagai realitas pluralitas yang tak terhindarkan (bahwa ada banyak suku, agama, bahasa, budaya, etc), tetapi juga harus mampu membuka ruang dan mendorong dialog tentang perbedaan cara pandang untuk memahami dan menghargai keyakinan orang lain yang berbeda tanpa harus hanyut dalam keyakinan yang lain itu.
Multikulturalisme harus bisa menjadi dan/atau menawarkan kolam pluralitas tempat orang menyelam dan menimba kekayaan pluralisme. Tanpa masuk ke dalam kolam pluralitas (baca: hidup membaur dalam kemajemukan), orang tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal, mengalami, dan belajar menghargai perbedaan (cara berpikir, cara pandangan dan sistem keyakinan) sebagai esensi dari pluralisme. Sebaliknya, tanpa pemahaman dan sikap untuk menghargai perbedaan (pluralisme) setiap orang yang masuk ke dalam kolam pluralitas berpotensi untuk memperkeruh kolam itu sendiri dan dengan demikian mengancam kebersamaan, mengancam keberadaan kelompok identitas yang lain, mengancam cara pandang dan keyakinan yang lain, gaya hidup lain, etc. – dan karena itu mengancam pluralisme yang menjadi syarat bagi setiap peaceful co-existense dalam suatu masyakarat multikultur[11].

2. MULTIKULTURALISME DAN PRINSIP KESETARAAN KEWARGAAN
Idealisme masyarakat multikultural adalah adanya pengakuan atas eksistensi semua warga dari berbagai kelompok kultur dan bahwa semua warga mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Dalam konteks kenegaraan orang berbicara tentang kedudukan setiap warga negara yang setara di hadapan hukum. Praksis kehidupan berbangsa dan bernegara menunjukkan bahwa masih adanya banyak persoalan yang melilit kaki, tangan, dan pikiran kita, sehingga kita tidak bebas dan luwes bergerak maju menciptakan sebuah masyarakat multikultur yang dinamis, demokratis, produktif, dan beradab! Di mana letak persoalannya? Epistemologi multikulturalisme mencurigai sumber persoalan itu terletak pada konsep historis kewargaan itu sendiri.

Kewargaan
Kewargaan atau citizenship (Inggris) atau Bürgerschaft (Jerman) memiliki padanan yang agak dekat dengan qaum dalam konsep ummah (Arab). Istilah-istilah itu merujuk pada satu hal yang sama, yaitu penduduk atau warga sebuah komunitas yang memiliki hak penuh sebagai subyek politik (Precht & Burkard, 1999: 86-87). Dalam perspektif politik, orang yang disebut sebagai warga adalah subyek politik khusus/istimewa yang merdeka. Pada jaman Antik, berlaku prinsip Bürger als Gleicher unter Gleichen (setiap warga mempunyai kedudukan yang setara di antara semua yang sama), memiliki hak dan kewajiban yang sama, berhak untuk menjadi pihak yang memerintah maupun yang diperintah (Aristoteles).

Kewargaan dan Kesetaraan dalam Tradisi Hukum Islam
Dalam tradisi hukum Islam klasik masalah kewargaan dan multikulturalisme menemukan pijakannya pada Konstitusi Madinah[12]. Hubungan antara Muslim dan non-Muslim dalam masyarakat Islam klasik ditemukan dalam konsep dhimma. Dhimma menghendaki adanya sebuah perjanjian yang terus-menerus diperbaharui melalui mana orang-orang Yahudi dan Kristiani (ahl al Kitab)[13] mendapatkan perlindungan ‘berdasarkan ketentuan bahwa mereka mengakui dominasi Islam’ (Cahen, 1965, p.227).
Kesepakatan ini menjadi dasar bagi suatu dhimmī relationship antara otoritas Muslim yang berkuasa dengan kalangan non-Muslim. Namun demikian, secara historis, dhimma bukanlah asli Islam. Konsep itu berkembang dari berbagai praktek yang sudah ada saat itu, ‘dibentuk menurut makna fides dalam Hukum Romawi’, dan ‘dibuat sebagai model yang merujuk pada posisi kelompok-kelompok non-citizen di dalam Kekaisaran Romawi Timur’ (Coulson, 1964: 27). Mereka yang dikategorikan sebagai dhimmī tetap memiliki kebebasan (ber)agama berdasarkan prinsip Qurʽan tentang tidak ada paksaan dalam agama (QS 2:256), dengan syarat keharusan membayar jiyza bagi pria dewasa yang sehat rohani dan jasmani[14].
Status legal dan sosial kalangan non-Muslim di bawah hukum Islam bertahan tanpa perubahan berarti sampai dengan munculnya Dinasti Ottoman, dari tahun 1583 dan seterusnya. Kerajaan Ottoman terstruktur secara komunal berdasarkan identitas agama yang dibuatkan sesuai model Dhimma. Model ini kemudian dilembagakan dalam system millet, yang bukan merupakan sebuah sistem yang diadopsi secara seragam, tetapi lebih merupakan ‘a degree of legal autonomy and authority’ (Braude & Lewis, 1982: 12-13). Kalangan millet boleh membuat hukum sendiri, membentuk pengadilan milli, mengumpulkan dan mendistribusi pajak sendiri.
Sistem ini memberi jaminan kepada kalangan non-Muslim sejumlah bentuk otonomi baik dalam hal agama maupun non-agama, yang berarti bahwa Kekaisaran Ottoman, menurut Braude and Lewis, merupakan sebuah contoh klasik masyarakat pluralis (Braude & Lewis, 1982: 1). Dengan demikian, baik sistem dhimma maupun millet keduanya didasarkan pada pengertian toleransi agama yang sudah ada berabad-abad sebelum prinsip kebebasan ini diangkat oleh John Locke (1632 – 1704). Premis yang ada di belakang hal ini adalah bahwa supremasi politik dan dominasi Islam (atas yang lain) bersifat necessary, tetapi sama sekali tidak mengandung pengertian uniformitas agama. Dalam Islam pemaksaan beragama dikutuk. Iman/keyakinan sebagai masalah privat sangat ditekankan, sekalipun di sana-sini ada kasus kecil pemaksaan perpindahan agama (Hourani, 1947: 18).
Walaupun merupakan sebuah masyarakat pluralistik, dhimma bukanlah sebuah sistem liberal, karena prinsip religious tollerance tidak mencakup individual freedom of conscience: ‘hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali ruang bagi individual dissent dalam setiap komunitas agama, demikian juga tidak ada atau sedikit sekali kebebasan untuk berganti keyakinan (Kymlica, 2002: 230).
Ada toleransi yang diberikan kepada kalangan non-Muslim tetapi kedudukan mereka tetap tidak setara: ‘the non-Muslim was excluded from the polity’ (Lewis, 1988: 66), dan tidak memiliki legal parity dengan kaum Muslim. Misalnya, kesaksian seorang non-Muslim tidak akan dianggap sama validnya dengan kesaksian seorang Muslim. Juga diyakini bahwa kalangan dhimmī tidak boleh memegang jabatan sebagai penguasa atas orang Muslim, didasarkan pada ayat Quran: ‘[…] dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir [untuk memusnahkan orang-orang beriman] (QS, 4:141).
Sekalipun Kekaisaran Ottoman memperlakukan komunitas Kristen dan Yahudi dengan adil dan memberikan mereka sejumlah otonomi, namun masyarakat seperti itu tidak dapat disebut multikultural karena masyarakat seperti itu pada dasarnya adalah sebuah komunitas Muslim yang kebetulan mencakup juga komunitas non-Muslim yang disebut dhimmī yang bermakna the protected communities (Parekh, 2006: 7).
Kewargaan, Kesetaraan dan Kelas Sosial
Makna ekonomis dari istilah kewargaan berakar pada persyaratan yang berasal dari jaman Antik bagi kemungkinan (pencapaian) kematangan politik melalui autarkie (swasembada), di mana pemisahan ketat antara polis (negara) dari oikos (ekonomi) menempatkan (baca: menganggap seseorang sebagai) warga hanya dalam ruang politik publik. Hukum ekonomi dan perkembangan ekonomi itu sendiri selanjutnya melahirkan perselingkuhan antara politik dan ekonomi, terutama terkait monopoli sumberdaya ekonomi oleh (para penguasa) negara. Maka orang biasa, kaum proletariat, dapat naik kelas menjadi warga bahkan bangsawan – dan karena itu menjadi kelas penguasa, termasuk penguasa atas kaum proletariat, jika mereka mampu mengakumulasi modal ekonomi (autarkie) sebagai bukti kematangan politik untuk mempengaruhi kebijakan publik – dan karena itu mereka mendapat pengakuan sebagai warga. Bandingkan dengan fenomena banyaknya ’orang kaya’ yang berlomba jadi politisi atau pemegang jabatan publik lainnya!
Dalam perspektif sosial, kewargaan tidak pernah menjadi sebuah kelompok atau kelas yang homogen. Yang terjadi justru sebaliknya, bahkan cenderung negatip. Pada jaman Antik konsep kewargaan dibenturkan dengan orang-orang terjajah dan budak; dalam abad Pertengahan dan awal Jaman Baru (Neuzeit) dibenturkan dengan bangsawan, klerus dan petani, dan dengan kaum proletariat yang tidak memiliki apa-apa. Dalam Abad Pencerahan (Aufklärung) konsep dan status kewarga(negara)an ‘naik kelas’ menjadi kelompok sosial dari sebuah proses emansipasi kemasyarakatan dan duduk pada horison pendidikan yang sama.

Jejak Histroris Akar Ketidaksetaraan dalam Politik Kewargaan di Indonesia
Secara umum, perbincangan mengenai citizenship (kewargaan) berurusan dengan konsep ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pengakuan identitas dan kedudukan warga masyarakat. Konsep citizenship berasal dari negara kota (polis) Yunani kuno. Konsep tersebut sangat elitis dan hanya menyebut mereka yang memiliki kekayaan (property owners) saja yang dapat disebut sebagai warga: perempuan dan budak, apalagi orang miskin, tidak dikategorikan sebagai warga. Orang Romawi semula hanya mempergunakan istilah warga untuk penduduk kota Roma saja, kemudian diperluas ke seluruh Italia – untuk membedakan warga (negara) kerajaan Romawi (römische Bürgershaft) dari warga pendudukan atau bangsa terjajah. Sifat elitis status kewargaan dari Eropa ini kemudian menular ke dalam pembentukan strata kewargaan di luar Eropa, termasuk di Indonesia[15].
Di Maluku Tengah (Ambon dan Pulau-pulau Lease), para pemimpin di tingkat desa dipilih secara demokratis menurut demokrasi Barat dan memiliki sejumlah keistimewaan (seperti misalnya kwartodienst) yang diberikan dan diatur oleh penguasa kolonial. Pimpinan terpilih diberi gelar raja walau tidak memiliki takhta dan kerajaan sebagaimana raja pada umumnya. Namun pemberian gelar raja telah mengangkat seorang biasa menjadi lebih tinggi dari yang lain. Di kepulauan Kei pemegang jabatan kepala desa diberi gelar Orang Kaya walau sebutan itu tidak serta-merta berarti sang kepala desa itu kaya secara materi. Pada masyarakat Lamaholot (Flores Timur) orang yang kaya secara materi justru disebut sebagai ‚orang berkuasa‘ (ata kwasa). Fenomena hubungan dialektis kekuasan dan kekayaan ini tentu dapat ditemukan juga dalam masyarakat lainnya di negeri ini[16].
Persoalan kewargaan dan ketidaksetaraan di Indonesia sedikit banyak merupakan bibit impor dari Barat yang dibudidayakan di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, misalnya, membagi strata masyarakat menurut kelas-kelas kewargaan atas europeesche burger sebagai warga kelas satu disusul etnis Tionghoa (warga Timur Jauh) sebagai warga dengan kedudukan sedikit di bawah kelas satu tapi bukan warga biasa. Pribumi volken adalah warga tertundukkan yang tidak memiliki hak-hak dan kebebasan identitas seperti dalam klasifikasi Romawi di atas. Demikian pula, misalnya, pemerintah Belanda menata kelompok-kelompok pribumi Maluku (autotochtonous group) menjadi kaum burgers dan negorij volken, moorsche burgers dan ambonese burgers, inlandsche burgers (di luar europeesche burgers), christen inlanders dan mohamedansche inlanders. Bahkan di kalangan Kristen sendiri terdapat klasifikasi: ada gereja Ambon (ambonese Kerk) yang hanya boleh dimasuki oleh Ambonese Burgers dan tertutup bagi Chinese Christen sekalipun! (Kraemer, 1958: 20; Leirissa, 2000: 629; Baowollo, 2005: 93-94). Dan di sini kita mewarisi struktur sosial yang feodal, yang mengakui ketidaksetaraan kedudukan warga, ada kaum priyayi dan ada rakyat jelata, dan sebagainya dan seterusnya, seperti juga yang tercermin dari pemilihan bahasa dalam interaksi sosial.
Pasca-Orde Baru muncul kecenderungan di beberapa daerah untuk memformalkan hukum Shari’a sebagai produk hukum positip dalam bentuk Peraturan Daerah. Kecenderungan pada tingkat daerah tersebut sebenarnya merupakan perluasan dari sejumlah kecenderungan di tingkat nasional untuk menggusur pasal-pasal hukum pindana maupun perdata warisan kolonial Belanda. Tentu saja alasan pietism – yaitu untuk menjamin agar Umat Muslim dapat menjalankan kewajiban keagamaan mereka secara penuh dan konsekuen untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup rohani/kesalehan (piety) yang sebaik-baiknya – adalah sebuah alasan yang sangat mulia. Namun demikian, realitas politik di berbagai Negara Asia dan Afrika menunjukkan bahwa alasan pietisme telah ditunggangi oleh para elite oportunis dan haus kekuasaan untuk kepentingan mereka atau kelompok etnis mereka dan karena itu memicu resistensi dari kelompok-kelompok non-Muslim. Hal ini nampak dari resistensi terhadap gagasan menjadikan kota Yoagyakarta sebagai Serambi Madinah – sebagai kota multikultur – sebagai tandingan terhadap Provinsi NAD sebagai Serambi Mekkah – sebagai dar al Islam yang ‘mono-kultur’.

3. REFORMASI DAN POLITIK IDENTITAS POST-COLONIAL
Masyarakat post-colonial selalu merupakan contested identities karena empat alasan berikut: pertama, kambuhnya ’penyakit rasa superioritas’ pada (elite) kelompok-kelompok etnis tertentu sebagai residu kolonialisme, baik sebagai kelompok mayoritas maupun sebagai the privileged minorities untuk mempertahankan status quo mereka; kedua, terjadi resistensi dari kelompok-kelompok minoritas dan/atau kelompok-kelompok yang tersubordinasi untuk menantang dan merebut kekuasaan; ketiga, dalam situasi itu selalu terjadi peningkatan intensitas dinamika identitas dan munculnya varian-varian baru model polarisasi kelompok-kelompok identitas yang merobah konstelasi kekuatan-kekuatan politik dan peta kontestasi di antara kelompok-kelompok identitas di ruang publik; keempat, menguatnya hegemoni kelompok-kelompok identitas untuk berebut dominasi dan akses ke berbagai resources yang dimiliki negara – sebuah situasi yang kontra-produktif: melemahkan sendi-sendi kebangsaan.
Untuk kepentingan tersebut para elite politik dari masing-masing kelompok identitas berupaya memobilisasi dukungan politik dengan berbagai cara, terutama dengan memanipulasi dan memperalat ikatan-ikatan dan sentiment-sentimen primordial. Salah satu cara yang paling sering digunakan ialah melakukan redefinisi identitas kelompok, baik identitas primordial maupun konstruktivis, yaitu dengan mengembangkan mitos-mitos tentang kesamaan asal-usul sejarah, bahasa, kebudayaan, kekerabatan, perkawinan, dan sebagainya. Mitos biasanya melampaui sejarah, artinya tidak semua yang ada dalam narasi mitos itu benar adanya dan merupakan fakta sejarah.
Mitos selalu dikembangkan dengan ‚niat menelikung‘ untuk merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu narasi tentang identitas dikembangkan bukan untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran obyektif tentang sebuah kelompok identitas, melainkan hasil manipulasi sedemikian rupa agar mereka memiliki citra positif di mata orang lain, dan dikembangkan untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan. Jika kekuasaan sudah didapat maka mereka akan membangun dan menguasai institusi. Jika institusi itu sudah berhasil dibangun maka wacana tentang superioritas kelompok identitas berbasis mitos tadi akan memperoleh legitimasi dan dukungan[17]. „Identity is not what we actually are, but what we want to be and what we want others to see us to be. To that end, the construction of a discourse is an act of appropriation of power, which produces social institutions; in turn the institution support the discourse” (Arun, 2004: 277).
Kontestasi diantara berbagai kelompok identitas itu mengambil beberapa bentuk dan/atau merupakan kombinasi dari beberapa kategori identitas yang ada. Dua polarisasi identitas yang cenderung menguat pasca kolonialisme Belanda dan ‘kolonialisme’ Orde Baru adalah bangkitnya ethno-nasionalism, atau kadang-kadang mengambil bentuk regional-nationalism, dan religious nationalism. 
Ethno-Nationalism.
Ethno-nationalism sebagai bagian dari semangat ethnosentrism timbul sebagai respons terhadap dominasi kelompok kultur mayoritas, atau untuk melawan hegemoni dan represi oleh pusat kekuasaan. Ethno-nationalism bisa saja identik dengan regional nationalism jika klaim batas wilayah sebuah ethnic boundaries sama dengan wilayah geografis pemukiman kelompok etnis tersebut. Sebaliknya regional-nationalism tidak (selalu) sama dengan sebuah ethnic boundaries. Dalam hal ini terdapat beberapa kelompok etnis atau sub-etnis dengan kultur, bahasa, dan agama yang berbeda, tersebar di sejumlah pulau kecil, namun disatukan oleh rasa kedaerahan yang sama.
Kebijakan ‘otonomi daerah’ dalam penataan administrasi pemerintahan di berbagai negara yang baru merdeka secara politis memang terbukti amat efektif dalam meredam ancaman separatism dan secessionism atau bentuk-bentuk insurgencies lainnya terhadap pusat kekuasaan. Namun persis pada titik nilah kebijakan itu juga memupuk regionalism yang berlebihan yang mengabaikan konsep negara kesatuan. Wacana ‘harus putra daerah’ adalah contoh ekstrem dari ekses semangat ethno-nationalism dan regional nationalism.

Religious-Nationalism
Religious nationalism pada tempat pertama muncul sebagai reaksi terhadap secular nationalism. Ali Ansgar Engineer menyebut fenomena kebangkitan kelompok-kelompok agama di ruang publik, misalnya Islam politik, sebagai religious nationalism, yaitu sebuah identitas yang terbangun di atas konsepsi identitas etnis dan identitas agama yang menyatu dan sukar dipisahkan (Juergensmeyer, 1993) tanpa harus mempertentangkannya dengan konsep secular nationalism. ‘Pemekaran” negara India menjadi India, Pakistan dan Banglades adalah contoh terbaik dalam studi tentang religious nationalism. Model gerakan separatism berbasis religious nationalism dapat ditemukan pada perjuangan masyarakat Muslim di Philipina Selatan dan Thailand Salatan.
Berbeda dengan pengertian religious nationalism seperti di atas, apa yang terjadi di Indonesia adalah religious nationalism sebagai lawan dari secular nastionalism. Jargon yang diusung adalah simbol keagamaan seperti penerapan dan penegakaan hukum Shari’a. Nasionalisme jenis ini bukan produk lokal dan dapat ditemukan sebagai fenomena umum dan laten, sebagai penyakit post-colonial, mulai dari Afrika, Asia hingga kawasan Balkan. Belum ada cerita sukses gerakan kelompok identitas berbasis religious nationalism ini selain kisah banjir darah dengan korban ribuan, bahkan jutaan seperti yang sudah dan sedang terjadi di Nigeria, Sudan, dan beberapa Negara sub-Sahara lainnya.
Varian-varian Identitas Post-Colonial lain yang lebih Kompleks
Politik identitas rejim kolonial Hindia Belanda, terutama melalui strategi divide et impera, yang diwariskan dan diteruskan rejim ‘kolonial’ Orde Baru kini, dalam era reformasi, ‘melahirkan keturunannya’ dalam bentuk bangsa yang terpecah-belah dengan tingkat kompleksitas yang semakin tinggi. Munculnya varian-varian baru dalam pola segregasi dan polarisasi kelompok-kelompok identitas yang melampaui klasifikasi dikotomis umum yang biasa dikenal dalam studi konflik, seperti kategori kelompok mayoritas vs. minoritas, atau kategori penduduk asli/pribumi (indigeneous) vs. pendatang (migrants). Kelompok-kelompok minoritas yang secara historis termarginalkan dan tersubordinasi secara sosial dan politik selama masa-masa represi ternyata mampu bangkit dan menjalin kerjasama lintas-kelompok minoritas yang tertindas dan membentuk mayoritas-mayoritas baru[18] yang kembali (a) menekan kelompok-kelompok minoritas yang lain di sekitar mereka dan (b) melawan hingga mengalahkan kelompok-kelompok mayoritas status quo, baik dalam pengertian besaran kelompok maupun kekuatan politik.
Dinamika politik identitas dengan varian-varian polarisasi dan segregasi kelompok-kelompok identitas seperti disebutkan di atas berimplikasi serius terhadap upaya membaca dan memaknai kompleksitas peta ethno-religious conflits di berbagai kawasan di dunia, dan tentu saja sangat bermanfaat bagi upaya menemukan perspektif baru studi konflik identitas di Indonesia. Konflik-konflik identitas di negeri ini bisa saja berkembang dan mengambil bentuk (a) konflik identitas tunggal, seperti ethnic conflicts, religious conflicts, regional conflicts, communal (sub-ethnic) conflict; dan (b) konfik dengan struktur yang lebih kompleks dan melibatkan kombinasi dari beberapa jenis identitas, seperti ethno-regional conflicts, ethno-religious conflicts, dan ethno-cultural conflicts (bdk. Osaghae & Suberu, 2005: 14-15).
4. POLITIK IDENTITAS, SOCIAL CAPITAL, DAN COMMUNITY-BASED SUSTAINABLE DEVELOPMENT
Wacana tentang multikulturalisme dan kewargaan dalam rangka ko-eksistensi berurusan dengan masalah community cohesion dan community integration sebagai persoalan sosiologis dan masalah social integration, discourse, dan deliberative democracy sebagai persoalan filosofis dalam kehidupan bernegara – tepatnya partisipasi warga dalam kehidupan bernegara. Community cohesion ditandai oleh adanya ‘sebuah visi yang sama dan adanya rasa saling memiliki, adanya pengakuan atas perbedaan/keanekaragaman dan peluang yang sama (Wetherell, 2007: 3-4). Konsep integrated community, misalnya yang diadopsi oleh Commission for Racial Equality (CRE), didefinisikan tidak berdasarkan pada asimilasi melainkan atas sebuah ‘core set of values’ yang diterima secara universal, seperti: demokrasi, persamaan jender, integritas seseorang, dan kebebasan berekspresi. Dengan demikian, setiap indiviu dalam sebuah masyarakat multikultural tetap menjadi dirinya sendiri, tidak ditelan atau dikooptasi oleh kultur dominan. Dalam hal terjadi konflik dengan nilai-nilai kultur lokal tertentu maka yang harus ‘dimenangkan’ adalah nilai-nilai universal yang merupakan core values (Johnson, 2007: 25-26).

Bonding and Bridging
Masalah kohesi sosial oleh Robert Putnam dibedakan menjadi masalah bonding and bridging social capital. Bonding (social capital) merujuk kepada adanya jaringan sosial (networks) dan saling percaya di dalam (within) jaringan itu sendiri; sedangkan bridging (social capital) berbicara tentang ‘conections and bonds across community boundaries’ (Putnam, 2000: 21-24). Realitas kemajemukan di Indonesia menunjukkan kemajuan dan kemunduran di dalam kedua aspek itu. Kemajuan ditunjukkan oleh munculnya berbagai jejaring sosial dalam nama civil society organizations (CSOs) yang relatif sudah mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan primordial sektarian dan etnosentrisme, dan fasih berbicara dengan memakai terma-terma seperti civil religion, civic virtues, HAM, demokrasi, keadilan jender, dan sebagainya. CSOs bahkan dalam pengertian tertentu mejadi agency yang amat efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi bonding dan bridging pada saat negara gagal atau tersandera oleh kepentingan-kepentingan partisan dan/atau sektarian yang bersifat pragmatis, sesaat, dan kadang sesat.
Namun di sisi lain kita dengan amat prihatin menyaksikan kemunduran dalam praksis kehidupan masyarakat-warga yang sesungguhnya sangat kuat dan menjadi contoh pembelajaran dalam hal bonding dan bridging – terutama disebabkan oleh pemahaman-pemahaman ekslusif tentang komunitas: tentang kita dan mereka yang lain. Untuk hal ini kita patut menangisi gejala menguatnya fundamentalisme dan religious nationalism, juga etnosentrisme dan regional nationalism yang memiliki definisi sendiri tentang bonding dan bridging. Fenomena menguatnya gejala-gejala di atas merupakan dampak politik identitas yang mengeksploitasi identitas parsial untuk kepentingan kelompok sendiri dengan mengorbankan ikatan komunitas yang sudah terbentuk dan telah menjadi wadah yang nyaman bagi eksistensi bersama.

Partisipasi Warga dan Demokrasi Liberatif
Melemahnya inisiatip, partisipasi, dan semangat gotong royong dalam masyarakat perlu dikembalikan ke dalam refleksi tentang praksis politik identitas sepanjang sejarah yang semakin hari semakin pragmatis dan hanya untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan jangka pendek. Sejumlah produk undang-undang dan peraturan pemerintah (dan peraturan daerah) dewasa ini gagal menjalankan fungsi utama membangun dan merawat integrasi sosial sebuah masyarakat yang amat hetergogen seperti Indonesia. Akar kegagalan tersebut, secara hipotetis, terletak pada pengabaian prinsip-prinsip demokrasi liberatif, yaitu bahwa produk-produk hukum tersebut tidak lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Oleh karena itu, menurut Habermas, hukum modern adalah sarana integrasi sosial yang amat ambigu (Habermas, 1992: 59).
Dalam situasi politik yang terkooptasi seperti itu eksistensi warganegara dan perjuangan untuk menegakkan dan menjaga semangat kemajemukan hanya dapat dicapai dengan memakai apa yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai kekuasaan komunikatif yang dapat dimainkan melalui media massa, CSOs, forum-forum akademik dan forum warga utuk menekan sistem politik yang ada. Menurut von Magnis, kekuasan komunikatif memang tidak dapat menguasai sistem politik, tetapi dapat mengarahkan keputusan-keputusan itu (von Magnis, 2004: 12-13). 

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities – Komunitas-Komunitas Terbayang, Insist dan Pustakan Pelajar, Yogyakarta.
Arun C, Joe. 2004. “Myth in identity making: ‘The Other as Alien” in Vidyajyoti – Journal of Theological Reflection. Volume 68, No.4. April: pp.277-294.
Bolten, Jürgen. 2007. Interkulturelle Kompetenz, Landeszentrale für politische Bildung Thuringen.
Braude, B. & Lewis, B. 1982. ‚Intriduction’, in Braude, B. & Lewis, B. (eds.). Christian and Jews in the Ottoman Empire: The Functioning of a Plural Society, Vol. 1. New York: Holmes & Meier: pp. 1-34.
Cahen, C. 1965. ‚Dhimma’ in Encyclopedia of Islam, 2nd edn. Vol 2 (Leiden, The Netherlands: Brill), pp. 227-231.
Coulson, N. 1964. A History of Islamic Law. Ediburgh: Edinburgh University Press.
Fattal, A. 1958. Le Statut Legal Des non-Musulmans en Pays d’Islam. Beirut: Imprimerie Catholique.
Habermas, Jürgen. 1992. Faktizität und Geltung. Beiträge zur Diskurstheorie des rechts und des demokratrischen Rechtsstaates, Shurkamp, Franfurt am Main.
______. 1994. "Struggles for Recognition in the Democratic Constitutional State" in: Amy Gutmann (ed.), Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press.
Hourani, A. 1947. Minorities in Arab World. Oxford University Press.
Isḥāq, Ibn. 1968. The Life of Muhammad: A Translation of Ishāq’s Sīrat Rasul Allāh, ed. Ibn Hisham, trans. A. Guilaume , Lahore: Oxford University Press.
Janoski, Thomas. 1998. Citizenship and Civil Society – A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Reimes. Cambridge University Press.
Johnson, N. 2007. “Building an integrated society”, dalam M. Wetherell, M. Lafleche and R. Berkeley (eds) Identity, Ethnic Diversity and Community Cohesion, pp. 23-33. London: Sage.
Juergensmeyer, Mark. 1993. The New Cold War?: Religious Nationalism Confronts the Secular State. Berkeley: University of California Press.
Kathīr, I. Ibn ‘Umar. 2000. Tafsīr Ibn Kathīr, trans. Shaykh Safiur-Rahman al-Mubarakpuri, 10 vols, Vol.4, Riyadh: Darussalam.
Kramer, H. 1958. From Missionfield to Independent Church. The Hague: Boekencentrum.
Kymlicka, W. 1995. Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Clarendon Press.
______. 2002. Contemporary Political Philosophy: An Inroduction, 2nd edn. Oxford University Press.
Leirissa, R. Z. 2000. “The Bugis-Makassarese in the Port Towns Ambon and Ternate Through the Nineteenth Century” dalam BKI 153-3 (2000) pp.241/619 – 255/633
Lewis, B. 1988. The Political Language of Islam. Chicago/London: University of Chicago Press.
Lustig, Myron W. & Koester, Jolene. (1998). Intercultural Competence – Interpersonal Communication Accross Cultures, third edition, Addison Wesley Longman Inc.
Menamparampil, Thomas. 2008. “Moving Deeper into a Multicultural Situation” dalam Vidyajyoti Journal of Theological Reflection, Vo. 72/3. Agustus 2008: hal. 22-30.
Osaghae, Eghosa E. and Suberu, Rotimi T. (2005) ‘A History of Identities, Violence, and Stability in Nigeria’ CRISE WORKING PAPER No. 6, January 2005. Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity, CRISE Queen Elizabeth House, University of Oxford, 21 St Giles, OX1 3LA, UK.
Parekh, Bhikhu. 2006. Rethinking Multiculturalism – Cultural Diversity and Political Theory. 2nd.ed. Palgrave Macmillan.
Prechtl, Peter & Burkard, Franz-Peter (hrsg.). 1999. Metzler Philosophische Lexikon – Begriffe und Definitionen. 2., erweiterte und aktualisierte Auflage). Verlag J. B. Metzler. Stuttgart – Weimar.
Putnam, Robert. D. 2000. Bowling Alone – The Collapse and Revival of American Community. Simon & Shuhster, New York.
Scott, Rachel M. 2007. “Contextual Citizenship in Modern Islamic Thought” in Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 18 Number 1 January.
Smith, Anthony D. 1991. National Identity. Reno, NV: University of Nevada Press.
Tajfel, Henri (ed.). 1982. Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.
Tilly, Charles (ed). 1996. Citizenship, Identity and Social History. International Riview of Social History Supplements Nr. 3. Published by the Press of the University of Cambridge.
Ulfig, Alexander. 1993. Lexikon der Philosophischen Begriffe. Bechtermmünz Verlag GmbH, Eltville am Rhein.
von Magnis-Suseno, Franz. 2004. ‚75 Tahun Jürgen Habermas‘ dalam BASIS. Nr. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hal. 4-13.
Watt, David Harrington. 2004 – ‘The Meaning and End of Fundamentalism’, Religious Studies Review. Volume 30, Number 4 / October: 271-274.
Wetherell, M. 2007. “Community cohesion and identity dynamics”, dalam M. Wetherell, M. Lafleche and R. Berkeley (eds) Identity, Ethnic Diversity and Community Cohesion: hal. 1-14. London: Sage.

[1] Disampaikan pada seminar tentang multikulturalisme dengan tema “Merawat Indonesia – Merawat Kebhinekaan: Politik Identitas Pasca Reformasi terkait Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Model Pembangunan Berkelanjutan“, STMPD „APMD“, Yogyakarta, 5 Juni 2010. Tidak untuk dipublikasikan. Copy write protected - © Robert B. Baowollo 2010.
[2] Robert B. Baowollo is independent researcher and consultant in ethno-religious conflicts at Peace Concrete Indonesia (PCI) – LIAN Network for Peace and Human Security Studies. Contact: baowollo@yahoo.de; baowollo@web.de.
[3] Prebendalism adalah kecenderungan eksploitasi ketamakan untuk memperebutkan dan mempertahankan jabatan-jabatan/posisi-posisi basah dalam pemerintahan yang memberi rasa superioritas secara sosial dan politik serta keuntungan ekonomi bagi kelompok primordial (Joseph, R. 1987. Democracy and Prebendal Politics in Nigeria: The Rise and Fall of the Second Republic. The University Press, Cambridge).
[4] Politik kriminalisasi SARA menganggap masalah-masalah suku/etnis, agama, ras dan hubungan antargolongan sebagai masalah-masalah identitas yang sensitif dan karena itu tidak boleh dibicarakan karena dapat memicu prasangka dan kebencian/permusuhan yang dapat memicu konflik sosial.
[5] Setiap konflik identitas cenderung diatasi dengan pempergunakan pendekatan keamanan.
[6] Dari sana kita menemukan padanan makna dan penjelasan penggunaannya seperti pada ’pertanian monokultur’, ’hortikultur’, ’agrikultur’ (latin: agricola = petani).
[7] Dalam frasa “segala sesuatu” mencakup berbagai bidang kehidupan manusia: agama, kebiasaan, adat-istiadat, bahasa, kesenian, politik, gaya hidup, kehidupan sosial, pemikiran, teknologi, dan seterusnya.
[8] “Orang-oran dari disiplin ilmu-ilmu alam” misalnya, selalu membuat model-model matematika berdasarkan hasil-hasil studi empiris untuk menjelaskan berbagai “kebenaran”. Yang tidak bisa dibuktikan secara matematis dianggap tidak logis dan karena itu tidak mempunyai nilai kebenaran.
[9] Namun pluralisme dan/atau multikulturalisme mengandung sebuah paradox: semakin besar dan semakin dalam suatu keberagaman (diversity) di dalam sebuah masyarakat, semakin besar kesatuan dan kohesi yang dibutuhkan untuk menyanggah dan menyuburkan keberagaman itu (Parekh, 2006: 196). Keberagaman itu adalah sebuah realitas dan tak seorangpun dapat melarikan diri dari padanya. Karena itu pilihan kita adalah bagaimana memasuki realitas itu ketimbang lari dari padanya atau memeranginya.
[10] Nama lain untuk interkultur adalah cross-culture.
[11] Studi tentang struktur lapis actors dalam konflik etnis dan agama selalu menunjukkan fakta yang sama, yaitu bahwa: masyarakat yang memiliki pengalaman panjang hidup berdampingan relatif tidak punya masalah satu sama lain dan bukan merupakan perpetrators utama dalam ethno-religious conflicts. Para pembunuh bergerombol, penyerbu dan pembakar gereja atau masjid, biasanya berasal dari luar komunitas yang tidak mengenal dan memiliki ikatan emosional dengan komunitas inti yang dilanda konflik. Pihak-pihak luar yang bersimpati dan mau membela tetapi tidak memiliki kohesi dengan sebuah ketetanggaan dan kekerabatan dalam sosiologi dikenal sebagai local isolates dalam struktur neighbourhood.
[12] Konstitusi itu menjamin syarat-syarat antara Muhammad dan komunitas religiusnya dengan tujuh suku Medina lainnya pada tahun 627 Masehi. Para pihak yang terikat dalam kontrak itu, baik Muslim maupun Yahudi, sepakat mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka. Orang Yahudi sebagai pemeluk agama monoteis jelas dibedakan secara istimewa dari orang-orang kafir Arab lainnya pada saat itu, yang disebut kaum mushrikūn. Orang Yahudi mendapat perlindungan dari negara dan dijinkan menjalankan keyakinan agama mereka dan berhak memiliki kekayaan. Mereka dilindungi tetapi tidak memiliki posisi yang setara: Dokumen itu juga mengatakan bahwa‘a believer shall not slay a believer for the sake of unbeliever, nor shall he aid an unbeliever against a believer’. Muslim dan Yahudi bersama-sama membentuk suatu komunitas (umma), walau pada saat yang sama dinyatakan bahwa kaum Muslim membentuk sebuah umma atas dasar afiliasi religius yang berdampak pada exclusion semua pihak yang lain (Ibn Isḥāq, 1968: 232-233).
[13] Menurut mashab Ḥanafī dan Malīkī di dalam Dhimma juga termasuk kalangan non-Muslim lain.
[14] Di mata banyak ahli hukum abad pertengahan, jiyza dipandang sebagai sebuah (bentuk) pembayaran bagi orang kafir (kufr) (Ibn Kathir, 2000: 405) atau sebuah ‘punishment for infidelity’ (hukuman karena kekafiran) dan merupakan sebuah ‘instrument of humiliation’ (alat untuk merendahkan) (Fattal, 1958: 266). Kontrak dhimma memberikan kepada warga non-Muslim jaminan keamanan atas nyawa dan hartabendanya, juga pertahanan/pembelaan terhadap musuh, communal self-government, dan kebebasan menjalankan keyakinan agama. Warga dhimmī diperkenankan menjalankan organisai-organisasi agama mereka, juga personal status codes yang mencakup perkawinan, perceraian, pewarisan, penjagaan, dan dilaksanakan oleh pengadilan mereka sendiri (Scott, 2007:3).
[15] Melalui Indirect Rule para penguasa colonial seperti Belanda dan Inggris melestarikan system feodalisme dan kelas social di Indoneia, menjadikan para penguasa lokal sebagai kepanjangan tangan penguasa kolonial dalam mengatur masyarakat pribumi, dan mereka disebut kaum priyayi, bangsawan dall.– yang berarti bukan para kawulo, rakyat jelata.
[16] Dewasa ini muncul sebuah fenomena menarik dan menggelikan: banyak orang yang sudah kaya-raya justru sibuk berburu kekuasaan (menjadi anggota legislatif, gubernur atau bupati). Sementara itu banyak orang yang sudah berkuasa rajin berburu harta-kekayaan (dan kurang mengurus kekuasaan). Maka pendulum politik kita pun hanya bergerak antara titik kekayaan dan titik kekuasaan. Seperti lingkaran setan: orang kaya mencari kekuasaan, dengan kekuasaan mereka menumpuk kekayanaan, setelah menjadi lebih kaya mereka memburu kekuasaan lagi. Mungkin ini salah satu biang korupsi yang belum pernah ditemukan! Namun demikian, ternyata jagat politik kita sangat tidak kreatif!
[17] Untuk hal yang satu ini silahkan periksa sendiri betapa sejarah Indonesia mengalami distorsi, manipulasi dan kontaminasi kepentingan di bawah rejim otoritarian Orde Baru hanya untuk memberi legitimasi pada rejim yang berkuasa.
[18] Proses pembentukan mayoritas-mayoritas baru dari serakan minoritas ini bekerja melalui eksploitasi dan rekayasa narasi-narasi kesamaan-kesamaan primordial: narasi sejarah dan mitos-mitos yang merujuk kepada kesamaan asal-usul, tradisi, bahasa, hubungan perkawinan, sejarah perang, penaklukan dan pemberian perlindungan oleh kelompok etnis yang satu terhadap kelompok etnis yang lain, dan seterusnya – semuanya kemudian disimpulkan ke dalam satu grand narrative tentang kesamaan nasib sebagai kelompok tertindas dengan satu common enemy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar