Selasa, 20 Juli 2010

Pemilu, Sirkulasi Élite dan Politisi Busuk

Robert B. Baowollo*

(Catatan: artikel ini merupakan makalah Voter Education tahun 2004 - Center for East Indonesian Affair - CEIA).


Wacana menolak politisi busuk tidak bisa dibendung. Warga melihatnya sebagai hak demokrasi untuk mengontrol proses seleksi calon wakil rakyat, yang dalam kelatahan berpolitik di Indonesia dikategorikan sebagai kaum élite. Élite tetapi busuk – sebuah kontradiksi! Mengidentifikasi siapa saja yang termasuk politisi busuk, baru merupakan bagian kecil dari upaya menahan proses pembusukan yang lebih luas, yaitu pembusukan rejim. Pembusukan rejim terjadi pertama-tama karena para elit yang berkuasa enggan berbagai kekuasaan dengan elit lain yang masih segar dan berada di luar system kekuasaan. Proses pembusukan (decaying process) dalam bahasa awam dapat dilukiskan ibarat pohon yang kelewat tua dan membusuk dari dalam, ibarat besi yang karat, keropos dan mengalami material fatigue, ibarat manusia yang menjadi usur dimakan usia – tetapi tidak mau mengaku tua dan keropos, terus memaksa diri berkuasa. Beban politik yang semakin kompleks membuat proses keruntuhan akibat pembusukan hanya tinggal menunggu waktu.

Ancaman diistegrasi bangsa jika dilihat sekedar ancaman perpecahan fisik dalam ujud separatisme maka kita kecolongan. Sebab menjaga agar jangan pecah dan jangan pisah harus juga disertai kesadaran menjaga dan mencegah agar jangan hancur dan ambruk. Kehancuran yang diikuti keruntuhan bangun negara bangsa ini ibarat kanker yang menggerogot dari dalam tubuh. Suka atau tidak suka, para élite politik lebih suka berbicara tentang penumpasan GAM atau OPM dalam rangka menjaga integritas wilayah RI ketimbang upaya memerangi bahaya pengeroposan dan pembusukan sistemik dari dalam diri rejim yang bernama KKN dan oportunisme. Rejim dan para élite politik tidak serius membasmi praksis KKN dan oportunisme karena itu sama dengan menabur racun tikus di atas lahan jarahan sendiri! Memerangi korupsi dan menegakkan hukum ibarat membakar rumah sendiri. Rasa keadilan? Rasa keadilan dan keberadaban hanya ada dalam apa yang oleh filsuf Perancis Paul Ricoeur disebut sebagai just institution. Just institution merupakan syarat penegakan etika sosial. Dan institusi negara kita masih amat jauh dari kriteria ricoeurian tersebut.

Politisi busuk (stinking politician) atau politisi hitam (black politician) dan rejim yang mengalami proses pembusukan (sebagai decaying regime) adalah dua terminologi dan substansi yang berbeda, namun memiliki hubungan dialektis yang sangat dinamis. Tulisan ini mencoba membedah konsep pembusukan rejim sebagai akibat dari proses gagalnya sirkulasi elit dalam perspektif paretian (pandangn sosiolog dan ekonom terkenal asal Italia, Vilfredo Pareto, 1848).

Vilfredo Pareto adalah seorang pemikir besar padanan Karl Marx. Berbeda dengan Marx yang mengabdikan dirinya untuk mendorong kesadaran intelektual untuk melawan semua irasionalitas sosial, Pareto justru memusatkan perhatiannya untuk membuktikan bahwa hampir tidak ada gerakan sosial (seperti yang dikehendaki oleh Marx) yang benar-benar pada akhirnya merobah apa yang dulu dicanangkan sebagai agenda perjuangan. Keduanya memiliki banyak kesamaan latar belakang sejarah yang menjadi bagian dari kajian ontogensis pemikiran mereka: mengalami perlakuan diskriminatif dan represif dari rejim yang berkuasa. Oleh karena itu keduanya juga memiliki platform berpikir yang sama tentang civil violence.

Akibat kecewa terhadap rejim Italia dan Perancis saat itu yang berkali-kali mengangkangi publik maka dalam sebuah artikel berjudul Rivista (1900) Pareto yang sedianya adalah seorang radical democrat banting setir menjadi seorang yang anti democrat dan diakhir hayatnya dipuja-puji oleh rejim fasis Italia. Pengalaman dari berbagai kekacauan di Italia dan Perancis pada tahun 1890-an menyadarkan Pareto bahwa semua yang terjadi bukannya usaha membangun demokrasi sejati, berdasarkan meritocracy dan untuk kesejahteraan sosial, melainkan gerakan-gerakan radikal untuk menggantikan élite yang satu dengan élite yang lain. Sementara privileges dan struktur kekuasaan tetap tidak berobah. Perjuangan bukan untuk kebaikan masyarakat, tetapi terutama merupakan perkelahian di antara élite mengenai siapa yang seharusnya memerintah. Kita juga ingat bagaimana perlawanan terhadap rejim otoritarian Orde Baru dan bangkitnya militantisme mahasiswa kiri yang harus dibaca sebagai produk alamiah setiap rejim otoritarian dan opresif.

Pareto termasuk orang yang tidak percaya pada klaim-klaim para pejuang revolusioner bahwa mereka sedang memihak rakyat. Dalam Rivista (1900) pareto menulis: „semua itu omong kosong, cuma propaganda! Semuanya itu tidak lebih dari cara akal-akalan untuk menggiring massa yang tak berdaya dan yang tidak ada harapan untuk turun ke jalan atas nama kemanusiaan, liberalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan apa lagi namanya, semuanya mempunya tujuan yang sama. Semua ideologi hanyalah tabir asap yang dilepaskan oleh para pemimpin yang sebenarnya hanya mau menikmati privilege dan kekuasaan dari élite yang memerintah (Rivista, 1900).

Kampanye anti politisi busuk dan anti Orde Baru semuanya berangkat dari kekecewaan publik terhadap rejim yang berkuasa sebelumnya dan rejim yang ada, karena mereka semua menjanjikan perubahan tetapi ketika berkuasa mereka justru mematikan proses perubahan itu. Alasannya sederhana: perubahan akan menggusur mereka dari kekuasaan yang empuk. Orde Baru naik dengan klaim hendak mengembalikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun pada kenyataannya dengan dalih mengamankan (baca: mengsakralkan) Pancasila sebagai ideologi negara maka ribuan orang harus diamankan (baca: kehilangan kebebasan, rasa aman dan kesakralan manusia yang dijamin Pancasila). Tokoh-tokoh muda yang menyebut diri pembaharu di awal rejim (Orde Baru maupun Orde Reformasi) pada akhirnya memperlihatkan wajah yang sebenarnya: orang-orang yang haus kuasa dan tak rela kekuasaan itu lepas dari tangan mereka. Orang busuk masuk dalam rejim yang membusuk!
Pareto membuka kedok politisi busuk dan perilaku élite yang mempercepat proses pembusukan rejim dengan teori sirkulasi élite yang, walau di sini dengan cara yang amat sederhana dan terbatas, dapat dijelaskan dalam dua kata kunci: residues dan derivations. Residues adalah pola-pola perilaku sosial yang irrasional, tidak masuk akal tetapi dijalankan seolah-olah rasional. Derivations adalah upaya-upaya manipulatif yang ditempuh untuk membuat tindakan-tindakan yang irrasional tampak rasional. Dalam antropologi budaya Indonesia, ibu-ibu yang hamil perlu minum kelapa muda yang kulitnya berwarna kuning supaya anaknya nanti berkulit kuning langsat dan halus. Dalam politik ada orang yang membubuhkan tandatangan darah untuk tokoh dan partai tertentu. Dan para élite tampil ibarat mesias dengan berbagai janji pembebasan – dan celakanya massa di bawahnya percaya saja dan mau memberikan hidup untuk pengumbar janji! Dan itu terjadi dari masa ke masa, dari pemilu yang satu ke pemilu yang lain, dari rejim otoritarian-fasis bahkan barbar hingga rejim yang demokratis dan humanis.


Diantara enam tipe residues sebagai tipe karakter para élite politik, ‘instinct for combination’ (class I residues) merupakan karakter elit seperti foxes (serigala) yang lihai dalam melakukan ‘deals’ politik, sementara ‘persistence of agreggates’ atau ‘group persistence’ (class II resideues) merupakan karakter élite jenis lion (singa) yang cenderung mempergunakan kekuasaan dan kekerasan untuk mengamankan ‘jarahan’ kekuasaan, kedudukan dan privelege rejim. Sirkuliasi elit di tangan jenis residue ini hampir tidak mungkin terjadi dan mereka akan mempergunakan kekuasaan untuk mempertahankan eksistensi mereka. Sama seperti Max Weber, Pareto juga berpendapat bahwa ‘penggunaan kekuasaan (baca: kekerasan) adalah dasar dari semua organisasi sosial’ (Pareto Manual of Politics, 1971:94).


Regim yang karena pelapukan atau kehabisan kader tetapi tidak membaharui dirinya, misalnya dengan bersedia menerima elit segar dari kelas residu lainnya, akan mengalami proses pembusukan (decaying proccess). Dan apapun yang tersimpan bersama-sama dengan barang busuk dalam satu kaleng akan ikut menjadi busuk. Trash dalam computer pun harus dikosongkan, sampah dalam rumah pun harus dikeluarkan. Sampah dalam pikiran manusia pun akan distorsif kalau terus dipelihara. Sayang, dalam praksis tidak ada kelompok elit yang mau dengan sukarela membersihkan sampahnya dan membagi kekuasaan, sekalipun itu untuk memperpanjang usia rejimnya sendiri. Karena itu cukup dimengerti kalau propaganda rejim yang belum berkuasa yang meneriakan keadilan, penolakan KKN dan sebagainya, tidak lebih dari pemujaan grivances dalam kemasan politik rasional untuk merasionalkan tujuan yang sebenarnya: gantian dong, kami juga ingin berkuasa! Dan kalau mereka berhasil menjadi penguasa, walaupun tanpa prestasi, mereka akan berupaya dengan seribu satu cara untuk mempertahankan kekuasaan itu. Dan orang mengatakan: itulah politik! – suatu pemahaman yang amat simpel, miskin, kerdil dan patut dikasihani.

Apa makna uraian di atas? Pertama, gerakan menolak politisi busuk baru merupakan langkah awal menuju proses berdemokrasi secara rasional tetapi irrasionalitas politik adalah factum sepanjang sejarah yang tidak dijamin hilang dengan adanya politisi harum dan bersih di kadang kekuasaan. Walaupun élite atau partai tertentu diberi label busuk bahkan amat busuk sekalipun, masih ada saja orang yang memilih partai dan politisi tersebut. Sebaliknya partai politik dan para élite terus-menerus memompakan wacana sebagai partai dan orang suci. Celakanya, masih saja orang dalam jumlah yang sangat signifikan mau percaya dan memilih mereka; kedua, sebagai implikasi dari irasionalitas tersebut perlu dilakukan pendidikan bagi pemilih untuk memilih secara benar dan tertanggungjawab: memilih orang yang paling kurang jeleknya dari persediaan politisi jelek yang tersedia dan mendukung politisi dan calon politisi yang santun, bermoral dan paham untuk siapa ia duduk di lapis élite; ketiga, dengan segala hormat, klep tangki yang menampung politisi busuk perlu dibuka agar masyarakat tidak sakit perut kembung hidup dalam rejim yang membusuk. Bukan saja politisi busuk yang perlu ditolak, tetapi rejim yang membiarkan dirinya membusuk tidak pantas dipelihara. Ia akan menggerogoti organ lain yang masih sehat. Hidung kita mungkin bisa mampet karena itu tidak bisa mencium bau busuk, tetapi kemampuan barang busuk merusak barang baik tidak membutuhkan kerja indera penciuman untuk mendeteksinya. Meminjam ungkapan filsuf Inggeris, John S. Mill (1806-1873), politisi busuk sama seperti rejim yang membusuk, tadinya bisa saja merupakan politisi dan rejim yang sangat humanis dan harum dan solid, ‘tetapi dengan sadar sedang membiarkan dirinya mengalami proses pembusukan dan pengeroposan tanpa upaya dari dirinya sendiri untuk menghentikan proses pembusukan tersebut.’ Demikian pula politisi harum dan rejim yang humanis mungkin tadinya sangat jahat dan busuk tetapi dengan sadar dan konsisten sedang berusaha merayap naik untuk menjadi lebih baik.

* Catatan: penulis adalah alumnus universitas Hamburg, field co-ordinator CEIA (anggota Consortium for VICI) Jakarta untuk pendidikan pemilih regio Maluku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar