Jumat, 16 Juli 2010

MANAJEMEN KONFLIK BERBASIS WARGA

Robert B. Baowollo

Pe
ngantar

Saya dengan sengaja memilih judul makalah berbeda dengan tema yang diberikan panitia (’Model-Model Resolusi Konflik Berbasis Karakter Lokalitas’) karena dua alasan: pertama, pembahasan dan diskusi tidak perlu terjebak pada pekerjaan melakukan kompilasi atas model-model resolusi konflik – suatu pekerjaan yang jelas tidak mungkin selesai dalam satu sesi diskusi; kedua, saya menghindari penggunaan frasa ’lokalitas’ atau ’karakter lokalitas’ karena ingin memberi tempat pada aktor lokal ketimbang karakteristik lokal dan deskripsi atau spesifikasi kondisi locus konflik. Saya memilih memakai frasa ’berbasis warga’ (community based) mengandaikan bahwa adalah komunitas yang terlibat dalam konflik itulah yang harus diberdayakan untuk menjadi aktor pertama dan utama dalam mengelola konflik, baik itu konflik intrakelompok maupun konflik antarkelompok.



Warga yang dimaksud di sini adalah komunitas yang memiliki sebuah jaring kebersamaan (social network) dan ikatan emosional yang didasarkan pada praksis kebersamaan yang diatur oleh sejumlah nilai dan norma yang diterima dan dijalankan bersama dengan senang hati. Di dalam sejarah kerbersamaan itu mereka juga membentuk dan/atau memproduksi sejumlah kearifan – sering disebut sebagai kearifan lokal – dalam bidang resolusi konflik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan-kearifan resolusi konflik pada masyarakat itu merupakan social capital yang menopang kebersamaan di antara para warga maupun mencegah dan/atau mengatasi konflik yang terjadi di atara mereka atau dengan komunitas lain. Dalam pengertian seperti itu konsep community based dalam resolusi konflik mengandaikan praksis resolusi konflik yang bertumpu pada upaya aktivasi semua social capital yang dimiliki masyarakat, juga sebagai strategi membangun ketahanan warga (capacity building) agar mereka dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka sendiri. Rumusan tepat untuk bahasa lain dari social capital adalah: “if you don’t go to somebody’s funeral, they won’t come to yours’ .

Pihak-pihak luar dalam resolusi konflik hanya berfungsi sebagai fasilitator, juru damai, juru runding, atau apa pun namanya. Mereka tetap merupakan pihak luar yang hanya bertugas memfasilitasi para pihak yang bertikai untuk masuk ke dalam proses-proses resolusi konflik menuju rekonsiliasi. Keberlangsungan hasil pekerjaan fasilitator sebagai pihak luar dalam proses resolusi konflik sangat tergantung pada (a) kemampuan mereka dalam melakukan pemetaan terhadap situasi konflik yang ada; (b) kemampuan mereka dalam melibatkan masyarakat setempat dalam proses resolusi konflik sebagai bagian dari proses pembelajaran dan proses transfer pengetahuan dan ketrampilan dalam manajemen konflik; (c) kebesaran hati pihak luar untuk mundur dari proses resolusi konflik jika (1) pekerjaannya memang sudah selesai dan mereka sudah tidak diperlukan lagi; atau (2) mereka telah menjadi sumber persoalan baru bagi para pihak yang bertikai .

Persoalan lain yang membutuhkan klarifikasi adalah ’model-model resolusi konfik’. Di seluruh dunia terdapat ribuan konflik. Jika dikompilasi dan dibuat typology konflik untuk sekedar memudahkan analisis kita, mungkin kita dapat menemukan beberapa kelompok atau kategori konflik yang lebih mudah disentuh, seperti konflik Industri, konfik agraria, konflik etnis, konflik politik, konflik agama, konflik ideology, KDRT, dan sebagainya. Namun semuanya memiliki satu kesamaan konflik, yaitu adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan tujuan (incompatibility of goals) pada para pihak yang terlibat dalam konflik, dan masing-masing pihak berusaha untuk mencapai tujuan dimaksud, namun kadang disertai dengan upaya pihak yang satu untuk menyingkirkan pihak yang lain yang dianggap menjadi penghambat baginya dalam mencapai tujuan.Oleh karena itu makalah ini membatasi diri pada pertanyaan: ’bagaimana mengelola konflik berbasis masyarakat sendiri? Pertanyaan derivatif dari pertanyaan induk di atas adalah: ’bagaimana membangun kapasitas warga dalam resolusi konflik?’ Hal-hal lain yang tidak tercakup dalam makalah ini namun oleh peserta dianggap perlu dan penting, akan kita bahas bersama dalam forum diskusi.


1. Konflik dan Perdamaian dalam Tiga Anekdot

Anekdot 1: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Seorang pria Mesir sedang marah-marah kepada tetangganya orang Palestina: “kenapa kalian sudah dibombardir Israel seperti itu masih belum juga mau melakukan gencatan senjata?” Kata orang Palestina: “Ah, kan orang Yahudi sendiri yang bilang: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Itu ada di dalam Kitab Taurat mereka. Sejak kemarin saya terus sibuk dengan calculator ini, menghitung berapa gigi orang Palestina yang sudah rontok dan berapa gigi orang Israel yang harus rontok untuk menebus gigi orang Palestina yang sudah rontok”. Kata orang Mesir itu lagi: “Untuk hal itu cukup kau jadi dokter gigi dan bekerja di Israel selama duapuluh tahun. Trus kenapa dengan mata kirimu? Kena tonjok orang Israel juga?”. Pria Palestina: “Ah, bukan. Ini urusan dengan istriku, masalah privat, tak sopan kalo dibuka di muka umum.” Pria Mesir: “Oh, gitu. Saya kira karena kau terprovokasi berita televisi yang terus membandingkan jumlah korban di pihak Palestina dan di pihak Israel yang tidak berimbang.” Pria Palestina: ”Ya, ya, kalau dengan mata sebelah saya kira saya masih bisa melihat tombol-tombol kalkulator dan angka-angka yang ditampilkan di layar televisi negara anda, juga mata istriku”. Anda tahu kelanjutannya: kalau kedua mata manusia sudah buta maka seluruh dunia jadi gelap!
Paradigma konflik dan resolusi konflik yang tertua dalam peradaban manusia adalah paradigma instinktif. Semua yang berbeda dengan saya, apalagi yang mengancam eksistensi saya, adalah musuh yang harus saya enyahkan. Jika semua musuh sudah jauh maka saya bisa hidup tenang tanpa diganggu. Manusia memiliki instinkt seperti itu, animal instinct, untuk memangsa yang lain dan atau mencegah yang lain memasuki kawasan kekuasaannya . Homo homini lupus est. Celakanya, fenomena instinktif seperti itu dalam telaah psikologi muncul dengan amat dominan pada salah satu spesies makhluk hidup bernama manusia, khususnya pada para pemimpin masyarakat dengan tipe kepemimpinan dogmatis dan fasis . Banyak konflik pada tingkat akar rumput yang bernuansa konflik agama atau etnis justru bereskalasi menjadi konflik terbuka dan berdarah-darah ketika dalil-dalil agama, teks-teks suci yang lepas dari konteks dijadikan argumentasi just war yang menjustifikasi tindak kekerasan atas lawan dan para pemimpin agama tampil sebagai legitimator konflik. Dalam ungkapan yang lebih sarkastis: jika teks telah menutupi kedua matamu, maka yang masih tersisa untuk dilihat adalah teks itu sendiri. Seeing is believing berobah menjadi believing is seeing.

Anekdot 2: korban harus berimbang. Sejumlah suku di Papua ‘katanya’ memiliki tradisi perang tanding antarsuku. Perang hanya berlaku dari jam tertentu sampai jam tertentu. Di luar jam perang mereka boleh duduk bersama, mengisap rokok bersama, berbagi cerita dan anekdot seolah tidak ada perang. Aturan perang pun jelas: kalau sudah jatuh korban di salah satu pihak maka perang baru akan berakhir jika sudah ada korban di pihak lawan dalam jumlah yang sama. Itulah ‘aturan-aturan’ resolusi konflik. Dalam suatu peristiwa perang antarsuku muncul persoalan baru: siapa yang bisa menjadi wasit yang netral dan bisa dipercaya untuk menghitung jumlah korban pada kedua kelompok suku yang bertikai dan mengumumkan kepada para pihak yang bertikai bahwa jumlah korban pada kedua belah pihak sudah seimbang sehingga perang bisa dinyatakan selesai?
Maka muncul sebuah usul cerdas: “Bagaimana kalau kita mendatangkan orang Eskimo dari kutub Utara untuk menjadi wasit? Orang Eskimo pasti jujur, adil, dan tidak memihak karena ia belum pernah mengenal satu pun orang Papua sebelumnya. Usul diterima, dan wasit dari Kutub Utara pun didatangkan. Namun ketika perang berlangsung, sudah banyak korban yang jatuh pada kedua belah pihak, wasit dari Eskimo masih terus bengong. Ketika para pimpinan kedua kelompok yang berperang itu datang dan mengajukan protes, wasit orang Eskimo itu dengan enteng menjawab: “Ya, maaf tuan-tuan, saya tidak bisa membedakan mana orang dari suku A dan mana orang dari suku B. Semuanya tidak pakai celana, cuma pakai selongsong labu alias koteka untuk menutup ‘burung’ mereka, dan kadang ada yang bawa tas noken. Rambut sama keriting, otot sama kekar, teriakan kalian juga sama keras, tapi saya tidak mengerti apa yang kalian teriakkan.”

Konflik di tingkat akar rumput berjalan dengan logikanya sendiri. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang datang dari luar sebagai fasilitator dalam resolusi konflik juga berjalan dengan logika mereka sendiri – kebanyakan menurut textbooks atau manual resolusi konflik yang dibuat oleh para ahli atau diadopsi dari model yang dibuat menurut pengalaman di belahan bumi lain. Menjadi fasilitator resolusi konflik dalam peran seperti wasit orang Eskimo dalam contoh di atas tentu merupakan sebuah kekonyolan yang tidak perlu terjadi. Namun pesan dari anekdot tersebut adalah bahwa para fasilitator perlu mengetahui banyak hal tentang masyarakat yang sedang terlibat dalam konflik. Untuk itu dibutuhkan kegiatan assessment sebagai bagian dari kegiatan conflict mapping untuk mengetahui situasi yang sebenarnya. Tanpa peta konflik seorang fasilitator akan tersesat sendiri dan bakal menjadi sasaran empuk para pihak yang berkonflik.

Anekdot 3: Acara Foto Bareng Babinsa. Ini cerita di Era Om Suharto. Ada dua desa bentrok karena masalah batas tanah. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menghentikan pertikaian. Para pihak yang bertikai mula-mula dikumpul, dimarahi, dikuliahi, dan ada yang dihukum. Setelah itu para pihak yang bertikai dipaksa membuat pernyataan untuk tidak akan berkelahi lagi. Lalu ada upacara adat, ada acara jabat-tangan perdamaian disaksikan unsur Muspida/Muspika, dan acara makan-makan. Tentu saja semua acara ‘perdamaian’ itu dilengkapi dengan acara foto bersama para pihak yang bertikai dan semua unsur Muspida/Muspika dengan Babinsa sebagai juru damai di tengah. Semua pejabat yang ikut dalam upacara perdamaian itu kemudian berlomba mengirim laporan ke atasan mereka masing-masing dengan isi dan gaya bahasa standar dan seragam: semuanya sudah aman dan terkendali. Tentu saja foto bersama itu ikut dikirim dan besoknya nongol di koran sebagai headlines news yang menampilkan foto bareng Babinsa. Pesan berita di koran pun sama: semuanya sudah aman dan terkendali.
Anekdote ketiga ini merupakan contoh ketidakpercayaan publik, atau setidaknya para pekerja perdamaian, terhadap dua generasi pendekatan konservatif yang menggadaikan urusan perdamaian hanya kepada para jenderal perang (generasi pertama) dan kepada negara (generasi kedua). Frasa ‘aman dan terkendali’ mengandung makna bahwa situasi aman itu hanya ada selama potensi konflik masih terkendali. Siapa yang mengendalikan atau memegang kendali situasi? Kenapa situasi damai yang dicapai itu tidak mampu menyanggah dirinya sendiri? Benarkan kedamaian itu hanya mungkin ada kalau ada kehadiran negara melalui aparat keamanannya? Atau, jangan-jangan justru negara-lah yang menciptakan ketergantungan warga kepadanya dalam hal keamanan dan perdamaian? Jadi ada semacam proyek keamanan dan perdamaian yang harus tetap ada dengan negara sebagai kontraktor tunggal.

Generasi ketiga pendekatan studi perdamaian dan resolusi konflik muncul sebagai koreksi terhadap pendekatan perdamaian generasi pertama dan kedua pertama-tama menuntut adanya konsep yang lebih mendalam dan bertanggungjawab untuk memahami hakekat konflik sebagai persoalan yang menyangkut semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Memahami manusia tidak lagi terbatas pada mengenal kultur dan struktur sosialnya serta hubungan dengan alam lingkungannya, tetapi juga masuk ke dalam dimensi deep culture and deep structure masyarakat. Generasi ketiga pendekatan perdamaian mengakhiri tradisi cara pandang konservative terhadap konflik dan perdamaian sebagai persoalan state security dan memulai tradisi baru yang memberi perhatian pada masalah human security.


2. Kompleksitas Konflik

Sedikitnya terdapat empat teori tentang sumber konflik: (a) akar dari semua konflik adalah kesenjangan akses individu dan kelompok masyarakat dalam mendapatkan sarana pemenuhan kebutuhan dasar hidup mereka (teori kebutuhan dasar manusia); (b) konflik merupakan akibat dari interaksi antarindividu atau antarkelompok yang masing-masing memiliki orientasi, nilai dan kepentingan yang berbeda. Konflik sudah merupakan sesuatu yang melekat (bersifat inherent maupun continget) pada setiap hubungan antarmanusia (teori relasional); (c) konflik bersumber dari naluri untuk memperoleh kekuasaan, dan untuk memperoleh kekuasaan itu mereka yang dipersepsi sebagai pesaing atau penghambat menuju kekuasaan perlu disingkirkan (teori politik); dan (d) konflik disebabkan oleh ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang bersifat struktural dan sistemik. Di sana ada tuntutan untuk membongkar struktur yang tidak adil dan sistem sosial yang melanggengkan ketidaksetaraan (teori transformatif). Keempat tipe konflik itu bisa muncul sebagai konflik terbuka (overt/manifested conflicts) atau sebagai konflik terpendam (covert/latent conflicts).
Jika pengertian-pengertian konflik di atas dipadatkan maka dapat diperoleh sebuah pengertian dasar konflik sebagai sebuah situasi di mana dua orang atau lebih menginginkan sebuah atau sejumlah sasaran/obyek/kepentingan (goals), dan bahwa sasaran itu hanya bisa didapatkan oleh salah satu dari mereka, dan tidak oleh keduanya sekaligus. Jadi di sana setidaknya (a) ada dua pihak yang bersaing; (b) masing-masing pihak memobilisasi energi untuk mendapatkan sasaran (goals) tersebut; dan bahwa (c) masing-masing pihak menganggap pihak yang lain merupakan hambatan permanen (barrier) atau ancaman serius untuk mencapai sasaran yang hendak diperoleh sehingga perlu disingkirkan (Ross Stagner, 1967). Situasi konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih berpendapat bahwa masing-masing memiliki kepentingan yang saling bertentangan (incompatible goals) (Mitchel (1981:17).

Dengan demikian, ketika dua anak kecil berkelahi merebut layang-layang yang putus, misalnya, hakekat konflik tidak terbatas pada masalah layang-layang itu (obyek konflik) saja, tetapi juga menyangkut memburuknya kualitas pertemanan yang meningkat menjadi polarisasi antarkelompok anak, segregasi sosial dalam bentuk klaim wilayah ‘kekuasaan masing-masing’ disertai pembentukan sikap tidak senang atau antipati terhadap mereka yang dianggap ‘bukan teman’ (conflict attitude). Sikap tidak senang terhadap yang lain itu jika terus dibiarkan, atau terus diprovokasi, bisa menimbulkan kebencian dan diungkapkan dalam berbagai kekerasan verbal maupun fisik (conflict behaviors).

Dengan demikian apa yang sudah dilakukan oleh Babinsa dalam mendamaikan dua komunitas yang betikai dalam anekdot di atas masih sangat jauh dari memadai. Ia mungkin berhasil memaksa para pihak untuk duduk satu meja dan saling berjabat-tangan, tetapi ia sama sekali tidak menyentuh persoalan aspek-aspek menyangkut sikap dan perilaku konflik. Ia hanya meninggalkan tungku yang tidak lagi berasap tetapi api di dalam sekam masih terus membara. Tugas resolusi konflik harus masuk ke dalam tumpukan sekam dan menyiram bara yang tertutup sekam. Berbagai tindakan resolusi konflik di tanah air, terutama untuk kasus-kasus Aceh, Papua, Maluku, Poso, dalam perspektif tertentu dapat disebut sebagai penyelesaian-penyelesaian konflik yang bersifat parsial, ad hoc, dan rentan untuk pecah lagi jika ada faktor pemacu (akselerator) yang kuat dan pemicu (trigger) yang efektif dan tepat waktu. Namun demikian, percaya atau tidak percaya, tidak ada konflik di dunia ini yang benar-benar diselesaikan sampai tuntas. Selalu saja ada residu konflik yang bisa muncul dalam bentuk lain, karena alasan lain, pada waktu dan tempat yang lain pula, bahkan dengan aktor yang lain sama sekali (mungkin anak cucu kita).


3. Siklus Konflik dan Tindakan Resolusi Konflik

Konflik tidak terjadi dan berakhir secara tiba-tiba. Setiap konflik memiliki siklus hidup. Pengetahuan kita tentang bentuk atau model-model resolusi konflik berkaitan langsung dengan persoalan siklus konflik. Konflik juga bisa mengambil bentuk konflik dengan kekerasan (violent conflicts). Fokus kita adalah konflik dengan kekerasan: violence. Setiap konflik dengan kekerasan memiliki setidaknya tiga fase utama: fase pra-konflik, fase konflik, dan fase pascakonflik. Pertanyaan yang diajukan adalah: tindakan resolusi konflik apa yang tepat untuk fase konflik yang mana?

3.1. Sebelum Terjadinya Kekerasan.

Situasi menjelang pecahnya sebuah konflik menjadi konflik dengan kekerasan ditandai oleh (a) polarisasi: masyarakat terbelah menjadi dua pihak atau lebih yang saling bermusuhan (self-others-polarization); dan (b) meningkatnya iklim prasangka serta permusuhan di antara para pihak yang bertikai. Tindakan resolusi konflik pada fase ini adalah mengupayakan perdamaian (peacemaking) melalui conflict transformation dan peacebuilding. Tujuan pokoknya adalah mencegah konflik yang bersifat laten dan tertutup itu pecah dan bereskalasi menjadi konflik terbuka (overt conflict) disertai kekerasan, dan agar masyarakat yang sudah terpolarisasi menjadi kawan-lawan itu kembali bersatu (depolarization).

Melalui conflict transformation energi yang sedianya bisa dipakai untuk saling menghancurkan itu ’dimodifikasi’ menjadi energi untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Ilustrasi: pemuda dari dua kampung yang suka berkelahi mula-mula diadu dalam sebuah pertandingan sepakbola antarkampung di tingkat kecamatan, lalu pemain-pemain terbaik dari kedua kampung itu digabung menjadi satu tim untuk melawan tim dari kecamaan lain. Taktik ini tidak hanya mengalihkan energi destruktif dalam diri para pemuda itu untuk hal-hal positip tetapi juga amat efektif sebagai metoda depolarisasi.
Peace-building pertama-tama dan terutama bermakna proses merobah kondisi pasive peace menjadi active peace. Konsep ini sesungguhnya berasal dari pendekatan terhadap needs and culture (Freud/Jung) dan needs and structure (Marx). Dalam pasive peace hanya terdapat pseudo peace karena walau keamanan manusia terjamin dan tidak ada konflik, namun sesungguhnya banyak potensi konflik yang sedang berkembang biak dalam nama-nama seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, diskriminasi, dan sebagainya. Oleh karena itu rasa aman saja tidak cukup. Situasi damai tidak cukup dimaknai sebagai keadaan tanpa konflik (the absense of conflict/violence). Orang butuh suatu situasi peace yang lebih dinamis: orang harus punya pekerjaan, ekonomi harus berjalan, pemerintahan berfungsi dan akuntabel, petani tidak gagal panen, nelayan sukses melaut, harga produk pertanian, perkebunan dan perikanan pantas, inflasi rendah, daya beli masyarakat tinggi, ada sarana publik yang memadai (rumah sakit, sekolah, transportasi, etc). Singkatnya: dibutuhkan sebuah situasi kehiduan sosial yang dinamis dan sehat, di mana seluruh social networks berfungsi dengan baik dan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar manusia (basic human needs) yang mencakup: hak untuk hidup (subsistence), perlindungan (protection), mendapat perhatian dan kasih sayang (affection), (saling)pengertian (understanding), partisipasi (participation), ruang pribadi (privacy), identitas (idenbtity), dan kebebesan/kemerdekaan (freedom). Jika kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi orang akan berpikir seribu kali untuk ikut aksi demonstrasi anarkis di jalan atau mendaftar menjadi mujahid untuk jihad di Palestina, Afganistan, Ambon atau Poso.

3.2. Selama Masa Konflik

Pekerjaan utama resolusi konflik ketika suatu konflik telah pecah dan bereskalasi adalah peacekeeping, membentuk dan menjaga peace zones. Kedengarannya sangat militeristik. Seolah-olah pada fase itu hanya aparat keamanan yang memiliki peluang untuk berperan dalam menyelesaikan konflik. Di dalam kenyataan tidak selalu demikian. Bahkan dalam sejumlah kasus, justru aparat keamanan yang menjadi faktor yang memperparah konflik.

Laporan dari berbagai medan konflik di seluruh dunia justru menyebutkan masyarakat setempat – pimpinan adat, tokoh agama, perempuan, LSM, etc. – memiliki peran yang sangat menentukan. Tentu tidak dengan menjadi pagar hidup pasang dada ketika para pihak yang bertikai saling berhadapan dengan senjata terhunus. Tidak juga dengan khotbah atau pidato berapi-api menyerukan gencatan senjata (walau ada juga yang berhasil).
Masuknya unsur non-combatant dalam konflik bersenjata tentu sangat riskan. Namun hal itu tidak berarti bahwa para pemimpin tradisional atau tokoh agama tidak memiliki peluang menghentikan pertikaian. Dalam kasus konflik Maluku, misalnya, raja Kei Besar, Bapak Rahail, yang masih memiliki otoritas dan kharisma adat mampu menghentikan perang antara sesama warga Kei yang Muslim dan Kristen dengan menegaskan kode etik perang pada masyarakat Kei: Orang Kei hanya boleh angkat senjata untuk berperang karena dua alasan perang: pertama, kalau tanah kita di duduki orang; kedua, kalau perempuan kita diganggu atau diambil orang. Kedua alasan perang itu tidak ada dalam konflik di Maluku. Oleh karena itu tidak ada alasan orang Kei berperang satu terhadap yang lain.”

Fase kritis dalam setiap konflik dengan kekerasan adalah waktu antara precipitant dengan eskalasi. Biasanya antara peristiwa pemicu (precipitant) dan eskalasi konflik secara besar-besaran selalu terdapat jedah waktu yang oleh Donald L. Horowitz disebut lull . Pada fase lull ini para pihak yang bertikai mengevaluasi situasi, mengukur kekuatan, menghimpun dan mengorganisasi diri, mencari informasi tentang lawan, dst. – sebelum melancarkan aksi berikutnya secara lebih besar dan lebih brutal untuk membungkam lawan. Pemuka agama atau tokoh adat memiliki peluang yang sempit ini untuk menghentikan proses eskalasi, meredam esmosi kelompok dan memberi pencerahan. Peluang kecil ini teramat berharga, yang kalau disia-siakan akan menimbulkan dampak kerusakan yang luar biasa. Keadaan menjadi lain jika tokoh agama atau pemuka masyarakat justru memanfaatkan massa kritis ini untuk mengagitasi, mengkonsolidasi kelompok sendiri untuk menyerang kelompok yang lain. Tokoh semacam ini harus didiskualifikasi dari kategori tokoh masyarakat atau tokoh agama. Orang itu adalah provokator par excelence.

Konflik yang terjadi pasca-lull sebagian bersifat irrasional dan tunduk pada psikologi perilaku massa (collective behavior). Namun kalangan psikolog, khususnya yang mencurigai adanya unsur niat dan rasionalitas dari setiap tindakan konflik menemukan fakta bahwa tidak ada tindak kekerasan massa yang sepenuhnya irrasional sebagaimana diklaim Canetti (1983) dan LeBon cs. Faktor niat, sebagai intentional behavior, memainkan peran penting dalam mengendalikan collective action. Dengan demikian tokoh agama dan tokoh masyarakat, terutama yang memiliki kharisma kuat, juga memiliki peluang untuk meredam massa dan menghentikan konflik.

3.3. Setelah Konflik dengan Kekerasan

Pekerjaan resolusi konflik pada fase pasca konflik adalah rekonsiliasi (dan rekonstruksi). Di sana ada proses mediasi dan negosiasi yang biasanya difasilisitasi oleh pihak ketiga. Namun keberhasilan proses mediasi dan negosiasi sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan para pihak yang bertikai untuk mau datang ke meja perundingan. Pengalaman dalam proses mediasi konflik di Maluku, misalnya, menunjukkan bahwa di antara para pihak yang bertikai itu ada saja kelompok garis keras yang menolak setiap inisiatip perdamaian. Mereka yang menolak upaya rekonsiliasi biasanya merupakan (a) kelompok kecil namun sangat vocal sehingga suara mereka lebih didengar di public ketimbang mereka yang moderat dan ingin damai; (b) mereka yang dikategorikan sebagai local isolate, yaitu pihak-pihak yang mengaku mewakili kelompok, namun sesungguhnya mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan kelompok, dan dalam banyak kasus justru tidak tahu apa-apa tentang karakter kelompok yang diwakilinya; (c) para pemimpin yang egois yang menganggap otoritas mereka lebih penting dari pada perdamaian antarwarga.


4. Aktor dan Peran – Beberapa Contoh dari Lapangan

Selain contoh raja Kei Besar dalam kasus konflik komunal di Maluku di atas, Kasus Situbondo dan sebuah kasus lain dari Ambon dapat dijadikan bahan pembelajaran dalam resolusi konflik berbasis warga. Dalam kasus Situbondi dimana sejumlah gereja (Katolik dan Protestan) dibakar massa tertentu dari komunitas Muslim, Romo Benny Susetyo memilih jalan resolusi konflik yang menurut anggapan umum justru tidak lazim dan tidak popular. Ketimbang berteriak-teriak kepada atasannya (pimpinan Gereja di Indonesia) atau kepada pemerintah untuk segera berbuat sesuatu, Romo Benny justru memilih mendekati para kiyai, membangun dialog dan bersama para kiyai mencarikan jalan keluar. Tugas meredam amarah kelompok Muslim kemudian dilakukan oleh tokoh-tokoh Muslim sendiri dengan bahasa kiyai kepada umatnya.

Contoh ini persis berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Uskup Amboina dalam kasus pembantaian penumpang kapal Doloronda dari Kupang (NTT) yang turun di Ambon ketika daerah itu masih dilanda konflik. Dalam sebuah forum sidang Sinode Keuskupan Amboina (12-25 Oktober 2004) Haji Abdullah Soulissa, pimpinan Yayasan Mesjid Al-Fatah Ambon, dalam ceramahnya secara terbuka menunjuk kesalahan komunikasi budaya yang dilakukan uskup Amboina, Mgr. P.C. Mandagi, MSC. Soulisa menyesalkan langkah yang diambil uskup Amboina yang lebih memilih pergi ke mikrofon radio dan kamera televisi untuk meminta bantuan dunia internasional ketimbang datang ke sasama orang basudara. Menurut Soulisa, uskup seharusnya datang kepada tokoh Muslim, dan biarlah tokoh-tokoh Muslim menyelesaikannya secara ke dalam.

Di Blitar, pendeta sebuah gereja datang dan meminta pendapat saya tentang langkah hukum apa yang perlu dilakukan oleh mereka sebagai warganegara agar hak beribadah mereka dijamin. Mereka mengaku diintimidasi oleh pejabat pemerintah setempat, mulai dari ketua RT, RW hingga pejabat di tingkat kabupaten/kota. Dari kantor Departemen Agama setempat sudah ada surat larangan melakukan kegiatan keagamaan di lingkungan itu. Tetapi ketika semua perangkat desa pada hirarki terbawah ditanya mengapa muncul surat semacam itu maka semua pihak hanya bisa menunjuk ke atas. Saya yakinkan pedeta itu bahwa (a) kalau ada pihak yang tidak setuju dengan kehadiran gereja dan kegiatan gereja di lingkungan, itu bukan hal baru; (b) tidak semua warga keberatan dengan kegiatan gereja; (c) yang perlu dilakukan adalah sowan kepada para tetangga dan tokoh setempat, minta pendapat mereka dan tempatkan diri kalian sebagai warga yang datang kepada pimpinan untuk meminta perlindungan; (d) belum pernah ada cerita sukses aksi gugat-mengugat untuk kasus pendirian rumah ibadah melalui forum pengadilan. Jadi energi yang ada sebaiknya dipakai untuk mempererat tali silaturahmi dengan sesama warga. Bahasa kerennya: perkuat social capital kalian untuk memperkuat tradisi civic virtue setelah tradisi civic society dibajak oleh dalil demokrasi untuk kemenangan mutlak majority.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar