Selasa, 20 Juli 2010

MEMBANGUN HABITUS BARU UNTUK KEADABAN PUBLIK

MERUMUSKAN PERTANYAAN BARU UNTUK PERSOALAN LAMA TENTANG CHARACTER AND NATION BUILDING[1]
oleh Robert B. Baowollo[2]


Pendahuluan
Pertanyaan awal: bagaimana mengelola kemajemukan dalam sebuah komunitas multikultural sehingga kemajemukan itu tidak menjadi alasan hegemoni satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tetapi sebaliknya, menjadi inspirasi membangun keadaban publik di atas pengakuan kesetaraan martabat dan peran semua pihak? Dalam rumusan yang lebih sederhana: “bagaimana menciptakan kondisi kehidupan bersama di kota ini, sehingga setiap orang yang menjadi warga kota ini merasa memiliki kota ini. dan oleh karena itu terpanggil untuk melakukan yang terbaik untuk kotanya?
Pertanyaan di atas pertama-tama menggugat makna multikulturalisme. Multikulturalisme pada tempat pertama bukanlah angka-angka statistik tentang komposisi kependudukan menurut etnis, budaya dan agama. Multikulturalisme juga bukan sekedar pengakuan dan penyediaan ruang bagi setiap kelompok etnis, budaya dan agama untuk mengembangkan diri tanpa bersentuhan dengan anggota masyarakat dari kelompok etnis, budaya dan agama yang lain. Multikulturalisme sejati, dan ini sangat penting dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat ke depan, adalah kesediaan setiap kelompok identitas untuk berinteraksi dengan kelompok identitas yang lain, hingga terjadi proses akulturasi. Paham ini mengandaikan bahwa konsep multikulturalisme sebagai praksis hidup berdampingan (nebeneinander leben) saja tidak cukup. Orang harus maju ke tahap yang lebih kompleks, walau lebih rawan (karena banyak ujian) tetapi lebih menjanjikan bagi jaminan suatu sustainable peaceful co-exsistence, yaitu praksis hidup bersama (miteinander leben).
Persoalan lain adalah masalah konsep komunitas. Komunitas mengandaikan adanya kedekatan, keintiman dan (lebih banyak) kesamaan (agama, suku, hobby, dan sebagainya). Karena itu agak aneh kalau ada masyarakat mengetahui siapa presiden mereka, tetapi tidak mengenal siapa walikota mereka. Demikian pula, agak lucu kalau ibu-ibu hafal wajah-wajah dan nama para pemain telenovena dari Amerika Latin, tetapi mereka tidak kenal siapa saja wakil mereka di DPR. Lebih celaka lagi kalau masyarakat lebih hafal wajah dan nama polisi yang suka tilang dan pasang wajah angker dengan kumis tebal diplintir untuk menakuti-nakuti pengemudi yang tidak punya SIM, ketimbang mengenali wajah Kapolsek atau Dansatlantas yang gagah perkasa, santun, ramah dan berwibawa. Jangan-jangan kita semua adalah orang-orang asing yang cuma kebetulan terdampar di satu kota, sekedar menjalankan tugas dinas dan kewajiban masing-masing, dan karena itu apakah kota Blitar mau jadi surga atau neraka, cukup ditanggapi dengan enteng: “emang gue pikirin?”.
Untuk menjelajahi persoalan-persoalan di atas, makalah ini saya awali dengan upaya mencoba merumuskan pertanyaan yang lebih tepat dan ketat sebagai upaya mengasah pisau analisis untuk membedah persoalan keadaban dan kebangsaan kita, dalam rangka mencari argumentasi-argumentasi yang lebih kuat untuk menunjukkan bahwa obsesi besar Bung Karno tentang character and nation bulding masih relevan dengan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Untuk itu dibutuhkan keberanian melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi atas konsep dan praksis keadaban publik dengan memakai konsep habitus sebagai curriculum sekaligus parameter keadaban.
1. Apakah kita masih satu bangsa?
Saya dengan sadar memilih dan mempergunakan rumusan pertanyaan ‘apakah kita masih satu bangsa’ dan bukan, misalnya, ‘apa artinya menjadi satu bangsa?’ Pilihan stilistik untuk rumusan pertanyaan di atas hendak memberi penekanan pada unsur ‘mempertanyakan’ sebagai proses nalar (reasoning process), bahwa di sana ada persoalan serius menyangkut wawasan kebangsaan, baik sebagai konsep maupun praksis. Rumusan ini pertama-tama dengan sadar dipilih untuk menghindari konstruk ‘pertanyaan’ normatif yang jawabannya sudah ada dalam buku teks atau arsip pidato yang disusun entah oleh siapa, dan karena itu baik pertanyaan maupun jawaban tidak menuntut tanggung jawab baik dari orang yang bertanya maupun yang menjawab (bdk. Habermas, 1988. Moralbewusstsein und kommunikatives Handeln).
Ketika orang mulai mempertanyakan, apakah benar kita ini masih satu bangsa, sesungguhnya di sana ada kegamangan dan kegalauan penanya, ada ungkapan rasa tidak percaya, kekecewaan, dan mungkin rasa frustrasi. Orang mulai meragukan konsep dan (terutama!) praksis penghayatan paham kebangsaan kita. Perkembangan dari hari ke hari menunjukkan bahwa kebersamaan kita sebagai satu bangsa mengalami erosi, kehilangan makna dan semangat dasar, miskin ketulusan, kearifan, dan juga kesakralannya.
Konflik etnis dan agama yang muncul di berbagai kawasan Indonesia dengan skala kerusakan dan korban yang massif tidak bisa dan tidak cukup sekedar dicatat sebagai data sejarah, atau dilukiskan sekedar sebagai aib dan kecelakaan sejarah peradaban. Ada analisis yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada konflik antar agama. Yang ada adalah agama yang diperalat atau dijadikan tunggangan untuk mencapai tujuan politik. Analisis seperti itu tentu saja memiliki sejumlah kebenaran, tetapi belum merupakan seluruh kebenaran.
Rentannya masyarakat terhadap provokasi pihak ketiga, mudahnya orang main hakim sendiri dan menerapkan hukum jalanan pada kasus pencuri ayam atau maling jemuran, aksi-aksi massa yang mengatasnamakan agama dan Tuhan tetapi sarat dengan muatan nafsu amarah dan kebencian manusiawi yang justru tidak diajarkan agama – semuanya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat kita telah berkembang suatu tingkat prasangka etnis, agama dan antargolongan yang amat rawan, yang mengancam semangat dasar komitmen kebangsaan kita. Jika kita tidak segera menyadari kecenderungan kekerasan ini, maka cepat atau lamban seluruh kehidupan bermasyarakat kita terkontaminasi oleh prasangka. Orang-orang waras, arif dan moderat akan tergiring untuk bergabung dengan kelompok-kelompok irrasional. Anak-anak kita akan bertumbuh dalam iklim antagonis: kawan versus lawan, orang kita versus bukan orang kita, orang seiman versus orang kafir, dan sebagainya, dan seterusnya.
Salah satu buah simalakama peradaban itu bernama media massa. Media massa itu ibarat pisau, bisa untuk memotong sayur, tetapi juga bisa untuk melenyapkan nyawa. Berkat media massa yang memotong hambatan ruang dan waktu, ia mampu secara virtual menyajikan potret keganasan bencana tsunami dan penderitaan manusia di Aceh dan Nias. Dan dalam waktu singkat simpati seluruh dunia mengalir ke Aceh dan Nias. Dengan mekanisme dan tempo yang sama pula sebuah ketololan dan arogansi dengan dalih kebebasan pers di sebuah media di Denmark nun jauh di sana mampu merambah bagai bola api liar membakar kemarahan ummat Muslim di seluruh dunia. Media adalah sarana peradaban sekaligus media penularan virus konflik yang paling efektif.
Setiap hari, suka atau tidak suka, media massa terus menghujani kita dengan wacana kekerasan dalam pengertian seluas-luasnya. Warta berita tanpa berita perang, demonstrasi dan perusakan aksi massa bukanlah berita. Kita mengalami gejala anomali psikis: terbiasa dan gemar dengan kekerasan. Masyarakat pemirsa atau pembaca, ibarat seorang petinju yang tersudut di atas ring, hanya bisa menunggu pukulan demi pukulan yang terus menghujam ke dalam nalarnya. Matanya tidak jernih melihat dan membedakan mana lawan, mana wasit, dan mana batas ring tinju.
Pilihan-pilihan bertindak pada orang-orang yang kalut dan terpojok semakin sempit. Akal sehat semakin redup hingga mati total dan tidak berfungsi. Di dalam kekerasan massa berlaku hukum collective behavior: Orang kehilangan jati diri sebagai individu rasional dan menjadi bagian dari massa irrasional yang mengalir bagai banjir bandang menghancurkan dan menghanyutkan apa saja yang dilaluinya. Tindakan setiap individu sepenuhnya didikte oleh psikologi massa.
Maka yang tersisa dari seluruh cerita di atas adalah dua realitas antagonis: pameran keberingasan yang dipersepsikan sebagai manifestasi keperkasaan dan kepahlawanan di satu sisi, dan pameran ketidak berdayaan yang bermakna kematian di sisi lain. Seluruh wacana peradaban direduksi menjadi wacana orang menang dan orang kalah. Dan Anda mempunyai kebebasan penuh untuk menilai dan menentukan, di mana posisi bangsa kita saat ini. Ketika kita membiarkan semua itu dan menganggaopnya wajar, maka kita sebenarnya telah mengaklami kelumpuhan daya kritis.
Rasa kebangsaan kita begitu terusik ketika para TKI kita diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi oleh majikan mereka di luar negeri. Tetapi semua malapetaka itu justru dimulai dari sini dan oleh anak-anak bangsa ini sendiri yang memperlakukan para TKI sekedar sebagai komoditi untuk dijual, bukan sebagai manusia yang berjuang untuk meningkatkan harkat hidupnya. Menjadi orang kecil, sederhana dan miskin di negeri ini dianggap sebagai suatu kesialan atau diterima sebagai takdir. Padahal mereka menjadi miskin tidak sepenuhnya karena kesialan, kesalahan atau kelemahan mereka sendiri, tetapi juga (terutama!) karena mereka berada dalam struktur sosial ekonomi yang represif, tidak adil dan tidak memihak kepada mereka.
Pelanggaran HAM di negeri ini masih dibayang-bayangi impunitas segelintir orang. Ketika terjadi kasus Tanjung Priok pada tahun 1985, dunia mengecam Indonesia karena melanggar hak azasi manusia (HAM). Maka seorang penggede bangsa tampil di depan media massa membela diri: “Tidak mungkin kita melanggar HAM, karena sebelum PBB meratifikasi konvensi tentang Hak Azasi Manusia, bangsa Indonesia sudah memiliki Pancasila sebagai landasan HAM.” Tentu anda tahu, hal memiliki dan menghormati HAM adalah dua hal yang berbeda.
Persoalan keadaban kita sedikit banyak terkait dengan kekacauan nalar dan sesat pikir. Kita memuja-muja guru sebagai pahlawan yang membawa pencerahan bagi peradaban kita ke depan, tetapi pada saat yang sama kita juga memperlakukan guru dan profesi guru tidak lebih jernih dan lebih baik dari perlakuan kita terhadap buruh. Dengan dalih keterbatasan kemampuan negara untuk menyediakan dana pendidikan sesuai amanat UUD (minimal 20 persen dari APBN) maka nasib guru bantu juga tidak lebih baik dari nasib para pembantu (rumah tangga). Imbalan kerja yang kita sebut honorarium – sebuah kata yang berkonotasi amat mulia dan bermakna kehormatan – ternyata jauh dari niat baik untuk menghormati dan menghargai.
Untuk menjaga kehormatan itu, mereka, para guru bantu, terpaksa nombok dari honor yang tidak seberapa itu untuk membeli sabun mencuci pakaian seragam dinas, agar bisa selalu tampil rapi dan berwibawa sesuai dengan standar citra guru. Bukankah dengan semakin memuja-muji guru dengan mematok standar citra dan kehormatan (honor) semu, kita sedang membangun tiang gantungan bagi para guru? Lebih celaka lagi, para pengambil keputusan publik membenarkan diri dan kebijakan mereka dengan apologi yang absurd:Kan guru-guru bantu itu mengabdi sambil menunggu pengangkatan menjadi PNS?” Benarkah demikian?
Dalam contoh terakhir, sesat pikir pertama-tama tidak terletak pada cara pandang dan perlakuan terhadap profesi guru an sich (!) tetapi terutama sikap main-main, asal jadi, dan tindakan gambling dengan peradaban kita ke depan. Orang mengira bahwa upaya membangun keadaban publik sebagai landasan dan jiwa kesatuan kebangsaan kita ke depan cukup dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat ad hoc, improvisasi, coba-coba, dan sebagainya.
Walau pun demikian, terlepas dari beberapa illustrasi pesimis di atas, kita juga harus jujur dan berani mengakui bahwa tidak semua Roh Kebaikan, Roh Kearifan telah terbang pergi meninggalkan negeri ini. Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, banjir bandang di Jember dan Banjarnegara, atau gempa bumi di Nabire dan Alor, kelaparan di Lembata atau Yahukimo, dan masih banyak lagi, kita menyaksikan demonstrasi solidaritas umatmanusia dan anak-anak bangsa ini secara luar biasa. Kemanusiaan kita ternyata mampu menembus sekat-sekat suku, agama, ras dan golongan, bahkan kebangsaan.
Semua itu adalah modal sosial dan modal peradaban kita yang tidak ternilai untuk membangun jati diri bangsa ke depan (walau ada pihak-pihak tertentu yang tega memanfaatkan momentum penderitaan itu untuk iklan politik menangguk simpati!). Sikap belarasa (compassion) adalah ujud paling hakiki dari keadaban manusia individu yang harus terus ditumbuh-kembangkan, diperbanyak, disebarluaskan sebagai modal bersama untuk menjadi keadaban publik dalam hidup berbangsa.
  1. Relevansi ajaran character and nation bulding
Upaya mempertanyakan kembali paham kebangsaan di atas terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, konsep kebangsaan Indonesia, sebagaimana banyak bangsa bekas jajahan, adalah sesuatu yang masih dan terus menjadi. Karena itu identitas kebangsaan kita juga belum final (Benedict Anderson, 2002: Imagined Community). Konstruksi konsep kebangsaan kita saat ini lebih merupakan produk rekayasa para pemimpin primordialis, konstruktifis, dan instrumentalis agar kita menjadi satu bangsa (bdk. Hazleton, 1998).
Kedua, keraguan apakah kita masih satu bangsa lebih didasarkan pada pesimisme warga yang menyaksikan atau bahkan mengalami sendiri bagaimana ketulusan hidup sebagai satu bangsa itu dicederai oleh pamer kekuasaan dan kesewenang-wenangan yang terus mereproduksi ketidakadilan dan kekerasan baru terhadap rakyat. Rakyat, pada batas-batas kesabarannya, bangkit menggugat legitimasi kekuasaan para penguasa. Inilah yang disebut paradoks pencerahan: para pemimpin berjuang untuk membebaskan rakyat dari kebodohan. Tetapi ketika rakyat menjadi pintar dan tercerahkan, para pemimpin justru menjadi ketakutan. Di dalam alam yang serba terbuka, mata hati yang tercerahkan adalah momok bagi setiap penguasa manipulatif.
Dewasan ini wacana kebangsaan kita cenderung direduksi menjadi masalah keutuhan teritorial fisik bangsa bernama NKRI. Paradigma seperti itu mengandaikan bekerjanya pola kepemimpinan otoritarian dalam paham hobbesian yang menganggap setiap suara yang berbeda adalah ancaman atas wibawa negara, dan karena itu perlu dihadapi dengan cara-cara represif untuk menegakkan keteraturan. Suara-suara yang menuntut keadilan perlakuan dan penghargaan dianggap sebagai pembangkangan. Dalam negara yang tertib dan berwibawa tidak boleh ada pembangkang.
Dalam berbagai kasus pemberontakan di selutruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, rejim yang berkuasa selalu mengklaim tindakan represif mereka sebagai upaya membela dan menegakkan keutuhan bangsa dannegara, tetapi sesungguhnya mereka sedang berupaya menyelamatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kepentingan segelintir elite yang berkuasa dan kroni-kroni mereka, walau kekuasaan itu secara de facto telah mencapai fase pembusukan alamiah karena gagalnya sirkulasi elite (decaying proccess) (bdk. Paretto, 1935. The Mind and Society).
Di negeri kita orang lupa bahwa ancaman terbesar dan bersifat laten justru berupa proses pengeroposan dan pembusukan dari dalam melalui tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme pada semua level yang memandang negara sebagai sapi perah. Korupsi itu ibarat rayap. Di luar ia tidak nampak berwajah garang, subversif, separatis, apalagi gila. Para koruptor adalah orang-orang yang teramat waras secara psikis tetapi tidak sehat secara rohani. Dewasa ini kita sulit membedakan mana koruptor mana dermawan. Tetapi karena sifatnya yang amorphous itulah maka korupsi jauh lebih berbahaya ketimbang separatisme.
Jika ancaman disintegrasi bangsa bermuara pada perpecahan wilayah teritorial negara dan beriplikasi pemisahan diri, maka ancaman korupsi ibarat kanker, yang menggerogoti tubuh dari dalam tetapi tidak nampak di luar, proses pengeroposan dan pembusukan yang akan bermuara pada keruntuhan seluruh sistem bangunan negara-bangsa kita. Ancaman semacam ini tidak dapat dan tidak cukup dilawan dengan senjata atau hukum yang mandul.
Meminjam kata-kata mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafi’i Maarif, bangsa ini membutuhkan suatu pertobatan nasional. Pertobatan nasional dalam bahasa Maarif, adalah ungkapan lain dari reformasi yang artinya islah. Reformasi kita kehilangan arah, bahkan tersesat entah dimana, justru karena prasyarat reformasi atau islah, yaitu pertobatan tidak terpenuhi. Orang berteriak reformasi, padahal yang mereka lakukan hanyalah sebatas renovasi atau tajdid: tutup lobang sana, cat dinding sini, dan seterusnya. Fondasi dan kerangka bangunan yang rapuh tidak tersentuh. Kalau dipaksa malah selutuh bangunan akan rubuh. Maka muncullah istilah reformasi setengah hati. Jika orang melakukan reformasi secara penuh dan utuh maka hal itu sama dengan menggergaji dahan tempat mereka duduk, atau meruntuhkan rumah tempat mereka bersembunyi. Sayang, pelopor gerakan reformasi beberapa tahun yang lalu bukan Syafi’i Maarif.
Kegagalan reformasi (islah) maupun renovasi (tajdid) mendorong orang untuk mencari solusi permasalahan melalui restorasi: pemulihan kembali nilai-nilai dasar, fundamen, akar (Latin: radix) keyakinan yang paling hakiki untuk menjadi obat pamungkas menjawab kegagalan peradaban. Maka orang mendambakan kembali siatuasi Orde baru. Muncullah fundamentalisme dan radikalisme – dua istilah yang sebenarnya netral, tetapi telah mendapat muatan ideologis dan emotional flavour yang amat negatip dan menakutkan. Seluruh realitas direduksi menjadi hanya dua: ikut kami atau menjadi lawan kami.
Studi saya tentang kekerasan etnis dan agama di Indonesia menunjukkan bekerjanya sistem-sistem keyakinan yang tertutup, dogmatis, ideologis dan teokratis pada hampir semua agama. Sistem-sistem keyakinan yang tertutup di bawah para pemimpin yang dogmatis telah menimbulkan persoalan peradaban yang tidak jauh berbeda dengan sistem nasionalis absurd di bawah para pemimpin fasis. Mereka hanya berbeda dalam cara menghadapi lawan: menutup diri (sambil mempersetankan mereka yang tidak sealiran dengan mereka) atau mengkooptasi dan bila perlu melenyapkan mereka yang berbeda paham dan membahayakan komunitas.
Persoalan yang paling aktual saat ini adalah masalah persatuan dalam paham kebangsaan. Masih satu bangsa kah kita? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sederhana dan tidak tunggal. Mohammad Hatta jauh-jauh hari mengingatkan agar jangan sampai semangat memperjuangkan persatuan nasional itu hanya menghasilkan ‘persatean’ nasional: artinya, setelah berhasil merdeka dari penjajah kita malah berlomba memperjuangkan kepentingan masing-masing dengan saling sikut-menyikut, menekan hingga menguasai pihak lain. Dalam siatuasi dimana potensi persatean itu sedemikian riil, negara terpaksa mempegunakan ‘tusuk sate” bernama ‘kekuasaan’ sebagai alat pemersatu.
Konflik rasial dan etnis bercampur agama merebak di berbagai wilayah Indonesia dengan daya rusak yang sangat massif, aksi penggarongan kekayaan negara dalam bentuk korupsi, baik secara perorangan maupun secara ‘berjamaah’ dengan nilai yang sulit dibayangkan oleh orang kecil, diskriminasi dalam perlakuan hukum – semuanya hanyalah sebagian dari contoh bentuk-bentuk ‘persatean nasional’ yang menunjukkan bahwa pemikiran Bung Karno, putra kota Blitar, tentang character and nation building memiliki tingkat relevansi yang amat tinggi dengan persoalan bangsa saat ini. Pertanyaannya: mampukah Blitar menyalakan sebuah lilin kecil dalam kegelapan yang pekat di republik ini, agar bangsa ini mampu melihat pintu keluar dari perangkap keterpurukannya?
3. Peradaban dan habitus baru
Persoalan karakter pertama-tama menyangkut kualitas diri individu-individu yang menjadi compositum sebuah entitas bernama bangsa (nation). Karakter sebuah komunitas dibentuk oleh interaksi timbal balik, proses saling belajar antar individu. Karakter nation atau bangsa yang hendak dibangun tidak hanya mensyaratkan pembenahan karakter pada level individu tetapi, terutama, menuntut pengakuan dan penghormatan martabat manusia yang menjadi compositum dari nation itu sendiri. Dengan demikian dibuatlah pemilahan atas konsep state dan nation. Contoh: Amerika Serikat sebagai sebuah entitas politik bernama negara (United State of America) mengeluarkan sebuah keputusan politik untuk menginvasi Irak. Tetapi tidak semua orang Amerika sebagai sebuah bangsa (nation) setuju dengan keputusan politik blunder tersebut.
Konsep habitus (Pierre Bourdieu, 1980, 1994) meninggalkan tradisi sosiologi yang memandang manusia sebagai produk dari lingkungannya, atau adanya keterpisahan antara manusia dengan struktur sosial. Manusia juga tidak berada dalam perangkap determinasi, dan karena itu ia tidak berada pada posisi menjadi korban pasif dari situasi publik yang polutif. Pada diri manusia, terutama kemampuan kognitifnya, terdapat potensi untuk mempertanyakan, menggugat, dan membelot dari konsep-konsep yang dikonstruksikan oleh kekuasaan di luar dirinya. Habitus baru menolak determinisme, sikap nrimo, apatis, tidak usah repot-repot’ dan pasrah.
Habitus baru mengandaikan adanya ketercerahan. Dalam ketercerahan itu orang mampu bersifat kritis, mampu membedakan yang baik dari yang tidak baik, halal dan tidak halal, korupsi dan tidak korupsi, jujur dan tidak jujur. Kesadaran untuk membedakan mana yang baik dan tidak baik selalu dan terus menerus mengalami proses internalisasi (baca: dibatinkan) sehingga mengeras, menggores menjadi skemata kebiasaan (habit) yang bekerja secara otomatis dalam berpikir dan bertindak.
Habitus baru juga adalah persoalan paradigma dan pilihan bebas. Kita ambil sebuah contoh. Anda mempunyai seorang anak kecil yang sangat disayangi. Oleh dokter ia divonis menderita sakit lever akut dan harus menjalani cuci darah setiap minggu. Umurnya tidak bakal panjang. Jika anda adalah orang tua anak itu dan memakai cara berpikir optimisme, maka setiap pagi anda akan memulai hari anda dengan memandang wajah anak itu, melantunkan doa pujian dan syukur, bahwa Tuhan masih memberi kesempatan hidup bagi anak Anda satu hari lagi, dan bahwa anda juga masih diberi kesempatan menyayangi anak anda. Setiap matahari terbenam anda menghantar tidur sang anak dengan doa dan harapan, semoga besok pagi senyumnya kembali bersama dengan munculnya matahari pagi.
Sebaliknya, jika anda mempergunakan cara berpikir negatip dan pesimistis, maka hari-hari Anda dipenuhi pertanyaan permusuhan dan umpatan, keputusasaan dan kebencian: siapa yang menyantet anak saya? Tuhan sungguh tidak adil. Tuhan kejam, dan sebagainya. Orang-orang di sekitar anda, bahkan Tuhan, anda satukan sebagai musuh anda atau tidak berpihak pada anda. Hari-hari anda adalah hari-hari olah rasa permusuhan, dengki dan dendam. Orang yang dengan sadar terus-menerus menggeluti pemikiran permusuhan, dendam dan dengki, tentu berpotensi terkontaminasi virus permusuhan, dendam dan kebencian, dan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya.
Habitus adalah nilai-nilai terbatinkan yang menjadi gugus instink yang melekat dengan totalitas subyek. Ia membentuk cara menerima dan merasakan suatu permasalahan, cara mencerna dan menanggapi – semuanya didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai kebajikan yang terbatinkan, yang menyatu dengan cara berpikir dan bertindak kita. Di sana ada konsistensi kesatuan logis antara pikiran, kata dan tindakan.
Di dalam konsep habitus yang menjadi rujukan pertimbangan tindakan kita adalah orang lain. Sikap belarasa atau compassion adalah persoalan mengambil posisi dan menjadi bagian dari orang lain. Kemiskinan tidak cukup dilihat dari balik pagar tembol teori ekonomi. Ketika ada komunitas agama atau etnis tertentu diserang, maka nurani kita akan segera mengatakan: lakukan sesuatu untuk menghentikan kekerasan itu. Konsep habitus mengatakan, dalam situasi seperti itu, siapapun dia, apa pun agama dan sukunya, orang harus berani mengambil posisi menjadi bagian dari mereka yang tertekan. Dalam ‚logik’ seperti itu, benarlah apa kata para kiyai, pendeta, imam dan pastor, „setiap kekerasan yang kita tujukan kepada orang lain pada dasarnya adalah kekerasan kepada diri kita sendiri’. Itulah konsekuensi logis dari compassion.
4. Komunitas dan prototype habitus baru
Struktur masyarakat kita menawarkan anonimitas yang sangat tinggi. Berbagai kerusuhan di tanah air menunjukkan bahwa para pelaku kerusuhan di perkotaan adalah tipe local issolate: mereka yang tidak memiliki kohesi dengan komunitas setempat. Di sini, kita juga mempunyai walikota dan para wakil rakyat di DPR. Tetapi apakah antara warga kota dengan walikotanya, antara rakyat dengan para wakilnya, terdapat juga hubungan emosional yang menentukan legitimasi konstituensi kepemimpinan mereka?
Mungkin kita butuh proyek-proyek kecil, sebut saja proyek keadaban untuk menjadikan warga kota Blitar sebagai contoh character and nation building. Kita perlu perpendek jarak psikologis antara warga dan para pemimpin mereka. Hanya dengan demikian prinsip konstituensi mereka semakin teruji. Pemimpin atau wakil rakyat yang baik akan teruji dari hasil interaksi intensif dengan para konstituennya. Ukuran kepemimpinannya adalah keteladanannya, dan karena keteladanannya yang terlihat dan dirasakan itulah ia pantas dipilih kembali (bukan karena duitnya).
Ketika budaya politik dan birokrasi kita terjebak dalam semangat elitisme dan feodal, rakyat kehilangan jembatan menemui para pemimpin mereka. Demokrasi kita hanya sampai pada ruang segi empat bernama bilik suara. Setelah pilihan dijatuhkan, tak ada lagi komunikasi antara yang dipilih dan yang memilih. Para pemilih baru akan melihat wajah-wajah itu kembali dalam kertas suara lima tahun kemudian. Potret ini jauh dari kondiasi ideal sebuah komunitas demokratis yang mensyaratkan intimitas dan kebersamaan.
Dalam studi perencanaan pendidikan, misalnya, saya menemukan ungkapan semangat dasar kehidupan komunitas itu dalam ungkapan walikota Colorado tentang sekolah di wilayahnya sebagai berikut: „saya harap, jika semua warga kota ini, ketika berdiri di sini dan memandang gedung sekolah di ujung jalan sana, mereka semua akan mengatakan: itu sekolah kami.“ Saya tidak tahu, apakah Bapak Walikota Blitar pernah punya pengalaman yang sama, misalnya, ketika melihat ada sampah yang menumpuk di tengah jalan akibat saluran air yang tersumbat saat banjir, lalu ada warga yang dengan senang hati menyingkirkan sampah-sampah itu karena tak sudi melihat kota kesayangannya dibiarkan kotor tidak terurus?
Membangun habitus baru tidak harus dengan proyek dan slogan besar. Sasaran yang hendak dicapai pada stadium awal mungkin baru sebatas pengenalan dan internalisasi nilai-nilai keadaban menjadi habit setiap warga kota untuk hal-hal yang sederhana. Kita bisa mulai dari apa yang paling mungkin dilakukan oleh setiap orang, ada perangkat pendukung, tidak membutuhkan biaya besar, bahkan mungkin nihil, tetapi mampu menghasilkan efek pembelajaran yang paling luas. Seperti apa misalnya?
Saya membayangkan, pada suatu saat kelak, para wisatawan yang berkunjung ke Blitar, selain membawa pulang foto, cendera mata dan cerita tentang Makam Proklamator, juga membawa pulang kesan berikut: „di Blitar kita tidak boleh main-main dengan tertib lalu lintas. Polisinya tegas. Tidak ada yang nyelonong lampu merah. Ada atau tidak ada polisi di lampu merah, orang tertib berada di belakang garis pembatas.“ Disiplin yang besar dimulai dari disiplin yang kecil. Disiplin dari dalam diri sendiri membuat disiplin di luar diri kita menjadi tidak terlalu diperlukan. Kalau kita mampu menahan diri untuk tidak menyerobot lampu merah, kepekaan dan insting yang sama akan bekerja sebagai rambu-rambu untuk tidak menyerobot barang yang bukan hak kita.
Penutup
Ketika kota Roma runtuh, penduduk kota Roma mengatakan bahwa sebenarnya kota Roma sudah lama runtuh, hancur lebur berantakan kalau tidak diselamatkan para dewa. Tetapi St. Agustinus dalam Civita Dei mengatakan hal yang sebaliknya: terlalu sinting untuk mempercayakan nasib kita Roma kepada para dewa, karena sesungguhnya yang terjadi adalah para dewa itu seharusnya sudah lama musnah kalau mereka tidak diselamatkan oleh penduduk kota Roma. Pesan moral cerita ini: para penguasa selalu menganggap diri mereka sebagai titisan para dewa, dan karena itu kepemimpinan mereka dianggap sakral dan tak boleh digugat. Mereka beranganggapan bahwa tanpa mereka negara-bangsa ini sudah lama binasa. Tetapi fakta yang sesungguhnya adalah yang sebaliknya: kalau anda tidak lagi percaya kepada para pemimpin itu maka anda cukup melenyapkan mereka dari panggung kekuasaan dengan tidak memilih mereka lagi dalam pemilihan umum mendatang.

[1] Disampaikan pada seminar peringatan Seratus Tahun Kota Blitar, 15 Februari 2006.
[2] Pemerhati masalah-masalah pendidikan, sosial dan politik, saat ini sedang melakukan riset tentang konflik etnis dan fundamentalisme agama di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar