Minggu, 18 Juli 2010

KRISTIANITAS DAN ATEISME[1]




Oleh Robert B. Baowollo 


        1.        Obyek, Fokus dan Rumusan Pertanyaan Kita

Teisme dalam Kristianitas dan ateisme adalah dua pokok bahasan yang sangat luas. Kelas ini tidak hendak membahas semua hal tentang Kristianitas dan ateisme secara ontologis, melainkan berusaha membatasi diri pada upaya memahami jalan pikiran (proses bernalar/reasoning) dan argumentasi-argumentasi yang menjadi dasar kritik para ateis terhadap teisme dan agama, khususnya terhadap Kristianitas, di satu sisi, dan bagaimana Kristianitas sebagai sebuah sistem keyakinan menolak gugatan kaum ateis menyangkut klaim eksistensi Tuhan yang menjadi sumber, alasan, dan tujuan hidup manusia.
Agama, suka tidak suka, ikut menjadi sasaran gugatan kaum ateis. Para ateis menggugat persis apa yang menjadi inti keyakinan komunitas agama-agama sebagai realitas sosial, yaitu tentang adanya Tuhan. Bagi agama, Tuhan tidak saja ada tetapi harus tetap ada! Tanpa Tuhan agama kehilangan alasan dan relevansi untuk menjadi ada (raison d’etre). Apakah dengan demikian pembelaan agama terhadap eksistensi Tuhan dapat dikatakan sebagai upaya pembelaan diri agama untuk dirinya sendiri dan bukan pertama-tama dalam rangka membela keberadaan Tuhan? Dirumuskan dengan cara lain: Apakah Tuhan membutuhkan pembela (baca: pengakuan manusia) supaya IA bisa exist? Sedemikian tergantungkah Tuhan pada manusia supaya IA bisa ada dan tetap ada? Apakah agama akan bubar kalau Tuhan ITU ternyata benar-benar tidak ada atau sudah dikalahkan para ateis? Atau jangan-jangan agama akan mencari Tuhan baru supaya ia mempunyai alasan untuk tetap eksis?
Maaf, ini provokasi awal ‘seorang ateis’. Jika anda terprovokasi, itu justru bagus, sebab dengan demikian kita mulai dengan pekerjaan pokok berfilosofi: mulai bertanya dan kembali mempertanyakan pertanyaan kita untuk mendapatkan pertanyaan yang lebih baik. Dan mungkin anda akan mengatakan: “Ah, mereka yang menggugat keberadaan Tuhan itu pasti tidak beriman” (memang benar, mereka tidak beriman pada Tuhan MANAPUN!); atau “Kaum ateis itu pasti sesat dan masuk neraka” (mereka tidak tersesat ke mana-mana karena baik jalan maupun neraka atau Tuhan yang punya sorga dan neraka itu tidak ada dalam kosakata kaum ateis); dan “mereka pasti adalah orang-orang bodoh” (anda salah besar dalam menilai, karena para pemikir ateis justru masuk kelas pemikir besar dunia!).


2.        Tiga Cerita tentang Pencarian Manusia pada Eksistensi Tuhan

Cerita 1: Tuhan Tak Datang Saat Manusia Menderita. Mertua teman saya adalah seorang veteran Perang Dunia II yang berperang di wilayah Sovyet. Ia mengaku dibesarkan dalam lingkungan Katolik yang sangat taat. Namun pengalaman perang (PD II) membuat ia sangat yakin bahwa Tuhan tidak ada: “Saya menyaksikan banyak Kamerrad saya yang dalam situasi kritis karena terluka parah akibat kena peluru atau bayonet musuh berdoa meraung-raung memanggil nama Tuhan sambil tangan mereka memegang Rosario dan mendekap Kitab Suci, tetapi Tuhan tidak datang menolong mereka. Mereka mati, bahkan mati konyol. Aku kasihan kepada mereka, mengapa mereka begitu percaya dan berharap pada sesuatu yang tidak ada yang akan datang menolong mereka? Aku menyaksikan mereka frustrasi karena justru di saat-saat kritis itu Tuhan mereka itu tidak datang menolong mereka. Pengalaman-pengalaman saya sungguh mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Karena itu aku tetap ateis. Percayalah, Tuhan itu tidak ada! Percaya SAYA, Tuhan tidak ada!”

Cerita 2: Ateis Bisa ‘Percaya’ pada Tuhan karena tak Sengaja. Vikaris Keuskupan Agung Hamburg, Uskup Dr. Hans-Jochen Jaschke, menceritakan pengalaman debatnya dengan seorang ateis. Sebagaimana biasa, kalangan ateis menolak menyebut nama Tuhan atau nama apapun yang terkait dengan keberadaan Tuhan dalam setiap pembicaraan mereka. Demikian pula tokoh ateis dalam dialog tersebut. Berulang kali ia, tokoh ateis itu, mengajukan argumentasi bahwa Tuhan tidak ada, tetapi setiap kali itu pula ia juga harus mengatakan “Gott sei Dank, manusia memiliki akal sehat untuk berpikir mandiri tanpa campur tangan Tuhan; Gott sei Dank, saya masih dan tetap segar bugar sampai hari ini tanpa bertuhan!” Si ateis itu merasa bisa membebaskan diri Tuhan tetapi tidak bisa membebaskan diri dari bahasa manusia untuk mengungkapkan rasa syukur, termasuk syukur kepada diri sendiri sekali pun (dan bukan kepada Tuhan). Sebab, kalau ia memakai kalimat “Mir sei Dank” pasti ia dianggap sebagai orang aneh yang tidak bisa berbahasa dengan baik: sebab kaidah tatabahasa mengharuskan penggunaan kata “Dank” atau “Danke” harus disertai dengan menyebut pihak yang menjadi alamat kepada siapa seseorang harus berterimakasih dan harus dalam bentuk Dativ.

Cerita 3: Tukang Kebun yang Tak Kelihatan (oleh Antony Flew)[1]. Ada dua pria yang sedang melakukan sebuah ekspedisi di tengah hutan. Pada suatu ketika mereka menemukan di tengah hutan rimba itu ada sebuah padang terbuka penuh dengan aneka tanaman bunga yang tertata rapi sekali. Mereka terpesona. Pria yang pertama berkata: “Pasti ada seorang tukang kebun yang menjaga dan merawat taman dan bunga-bunga ini.” Pria yang lain berpendapat sebaliknya, bahwa semua yang ada itu alamiah, tidak ada yang menanam dan merawatnya. Karena mereka tidak mencapai kata sepakat maka diputuskan untuk melakukan pengamatan untuk membuktikan pendapat mana yang paling benar. Mereka mendirikan kemah di tengah padang bunga tersebut untuk melakukan pembuktian. Siang dan malam mereka melakukan pengamatan tetapi tidak nampak si tukang kebun itu. Aneh!
Keduanya pun mulai berdebat tentang ada-tidaknya tukang kebun itu. Pria pertama bertahan dengan pendapatnya dan mengatakan bahwa tukang kebun itu pasti ada, cuma ia tidak kelihatan (he is the invisible gardener).  Untuk membuktikan adanya the invisible gardener itu mereka lalu memasang kawat listrik mengelilingi padang tersebut, namun selama berhari-hari tetap saja tidak ada orang yang kesetrum dan berteriak kesakitan. Namun orang itu masih bertahan dengan pendapatnya: “Tukang kebun itu pasti ada, dan pasti ia tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Tetapi percayalah, tukang kebun itu pasti ada. Tidak mungkin ia tidak ada.” Dan temannya yang sudah tidak sabar itu akhirnya kesal juga, katanya:”Kalau begitu, apa bedanya antara tukang kebun yang tidak dapat dilihat, didengar, diraba atau dirasa, dengan tukang kebun yang memang tidak ada?”

Ketiga contoh di atas mewakili tiga persoalan besar dalam perdebatan teisme-ateisme di tengah masyarakat menyangkut pengakuan eksistensi Allah (dan penyangkalannya), konstruksi pengetahui tentang Allah (dan falsifikasinya), dan faktor Allah, wahyu, dan (bahasa) manusia.  Kita akan melihat sekilas masalah teisme dalam Kristianitas sebagai jembatan ke dalam pembahasan tentang ateisme, tanpa masuk ke dalam pembahasan teologis yang mendalam (karena kelas ini bukan kelas teologi, dan saya juga bukan seorang teolog!).

3.        Kristianitas dan Credo Teisme: Jalan kepada Pengetahuan tentang Allah

Mari kita perhatikan bagian awal rumusan syahadat Kristiani berikut ini: “(a) Aku percaya akan satu Allah, (b) Bapa (c) yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang tampak dan tak tampak”, dan seterusnya. Frasa pertama, “[Aku] percaya kepada satu Allah”, merujuk pada pola iman monoteisme Abraham yang memberi penekanan pada masalah adanya satu Allah atau Allah yang satu/esa sebagai hakekat atau esensi dan bukan soal pengakuan tentang eksistensi Allah itu sendiri[2]. Yang pertama berbicara tentang esensi Allah (Gottes Wesen), yang kedua tentang existentia Allah (Gottes Dasein). Inilah  point penting yang menjadi sasaran kritik ateisme. Ateisme menolak klaim tentang eksistensi Allah atau suatu kekuasaan atau kekuatan yang transenden dan yang tidak terjangkau oleh indera manusia dan dengan demikian menganggap Allah tidak ada. Dari perspektif teori kognitif, demikian argumentasi ateisme, tidak mungkin membuktikan esensi dari sesuatu yang eksistensinya tidak ada.
Frasa kedua, “Bapa [yang mahakuasa]”. Personifkasi atau hominisasi Allah sebagai Bapak – dan karena itu menjadi manusia dengan ujud yang bisa ditangkap indera manusia dan juga bisa dipahami dan dihayati manusia – dipakai oleh Yesus tidak saja untuk mendekatkan (konsep) Allah Perjanjian Lama yang amat transenden itu menjadi Allah yang dekat dan immanens dalam Perjanjian Baru, tetapi juga menggantikan karakteristik Allah yang ‘inhuman’ (Allah bertangan besi dengan sikap-sikap yang sangat tegas, keras, kejam, pembela buta terhadap umat Israel yang infantil) dalam Perjanjian Lama menjadi Allah dengan sosok seorang Bapak yang amat manusiawi (humanis) dan immanens dalam Perjanjian Baru. Kata kunci untuk memahami persoalan yang rumit ini adalah sebuah terminologi teologis sulit lainnya, yaitu Der Mensch ist “Gottfähig” = Manusia itu “mampu menjadi Allah” (dengan tanda kutip!). Maksudnya?
Manusia diciptakan menurut gambaran Allah dan dipanggil untuk mengenal dan mencintai Allah. Dalam pencarian akan Allah itu manusia menemukan ‘jalan’ atau ‘cara’ tertentu untuk sampai kepada pengetahuan tentang Allah. ‘Jalan’ menuju Allah itu ada pada ciptaanNya: dunia material dan pribadi manusia[3].  Dunia dan manusia menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memiliki alasan maupun tujuan akhir pada diri mereka sendiri, terkecuali bahwa mereka sungguh telah ikut ambil bahagian dalam ursprungslosen und endlosen Sein (ada tanpa awal dan tanpa akhir). Melalui cara-cara yang beraneka-ragam inilah manusia akhirnya dapat sampai kepada pengetahuan, bahwa ada suatu kenyataan, yang menjadi penyebab awal (Erstursache) dan tujuan akhir (Endziel), dan kenyataan ini ‘terutama disebut Allah”[4]. Dialah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Penggerak yang tidak bergerak (unbewegter Beweger).
Kemampuan-kemampuan manusia memungkinkan ia (manusia) mengenal Dasein (eksistesi) Allah sebagai pribadi (persönliches Gottes) sebagai halnya pribadi manusia lainnya, bukan sebagai makhluk yang tidak terjangkau indera manusia. Namun agar supaya manusia dapat masuk ke dalam suatu hubungan kepercayaan dengan Allah, hendaklah Allah menyatakan diriNya kepada manusia dan memberi manusia rahmatNya, agar pewahyuan diriNya ini dapat diterima dalam iman. Bukti-bukti bagi eksistensi Allah (Gottes Dasein) dapat mendorong (manusia) kepada keyakinan dan membantu membuka matanya untuk melihat, bahwa Iman tidak bertentangan dengan akal budi manusia[5]. Frasa kedua tentang Dasein Allah dan hakekat manusia sebagai gambaran Allah merupakan sebuah titik (ter)penting kritik ateisme terhadap teisme dan terutama terhadap konsep Allah sebagai proyeksi fantasi manusia sendiri sebagaimana diwakilkan oleh pandangan Feuerbach dan Nietzsche.
Frasa ketiga, [Bapa] yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang tampak dan tak tampak”. Frasa ini memiliki kaitan dengan konsep kekuasaan untuk mencipta (dan lain-lain). Konsep Bapa yang memiliki kekuasaan dan kemampuan mencipta menjadi penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan munculnya istilah “Tuhan” (Dominus, Lord, Herr) selain “Allah” (Deus, God, Gott). Allah yang adalah Bapa dan Tuhan muncul amat dominan dalam peran Gereja untuk mengatur dan mengawasi kepecayaan, kebebasan berpikir, dan ortodoksi dalam doktrin moral seperti masalah dosa atau tidak dosa, - sebuah situasi yang oleh Freud dilukiskan sebagai penciptaan superego yang menindas manusia untuk tidak bisa bebas menjadi diri mereka sendiri.  Allah di mata Sartre dianggap menjajah dan merampas kebebasan manusia, oleh karena itu Allah harus dibunuh sebagai syarat kebebasan manusia (Nitzche).
Lagi pula, kalau Allah itu adalah Bapa yang maha murah, pengasih dan penyayang kepada manusia sebagai anak-anakNya, maka dalam pandangan Albert Camus, mengapa ada begitu banyak kekejaman yang amat absurd terhadap manusia dan Allah sebagai Bapak tidak bisa berbuat apa-apa? Bapak macam apa itu, jika ia membiarkan perang dan anak-anaknya saling membantai? Bagi kalangan ateis seperti Camus, memikirkan kehadiran Tuhan di tengah kekejaman dunia adalah sesuatu yang hanya membuat frustrasi. Namun sebuah catatan perlu diberikan di sini, bahwa banyak pemikir ateis justru merupakan mantan pencari Tuhan (teolog atau calon teolog) yang gagal menemukan jawaban yang rasional dan memuaskan. Sebagian besar dari mereka harus menghadapi nasib tragis, seperti dikucilkan dari ruang kebebasan berekspresi atau larangan mengajar, semuanya karena pemikiran dan posisi filosofis mereka.
 Persoalan ateisme sendiri sudah ada jauh sebelum sejarah Kristianitas, tepatnya sejak periode pra-Sokrates dan masa ‘pokrol bambu” (Sophist). Kritias melihat adanya dewa-dewa sebagai penemuan manusia untuk menjaga dan menegakkan tata moral dan kehidupan bernegara. Sementara Prodikos melihat di dalam dewa-dewa itu ada proyeksi keinginan atau fantasi manusia. Pada masa Pencerahan (Aufklärung) muncul “generasi baru” ateisme yang berbasis pada teori kritik agama-agama. Materialisme Prancis (Lamettrie, d’Holbach) menyerang irasionalitas agama dengan mempergunakan epistemologi dan sampai pada kesimpulan bahwa “agama adalah sumber dari berbagai ketidakberesan di dalam masyarakat”. Sementara bagi Feuerbach, istilah Allah tidak lebih dari proyeksi dari semua karakteristik hakekat atau esensi manusia atas sebuah hakekat atau esensi imaginatif lainnya. Feuerbach: “Das Bewusstsein Gottes ist das Selbstbewusstsein des Menschen, die Erkenntnis Gottes die Selbsterkenntnis des Menschen” = Kesadaran (tentang) Allah adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, pengetahuan (tentang Allah) adalah pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri. Marx menganggap perlu melakukan kritik terhadap agama yang di dalamnya terdapat berbagai relasi sosial, untuk mencapai sebuah perubahan atas struktur masyarakat yang sudah mapan dan terlena akibat praksis hidup beragama. Secara lebih radikal, Sartre dengan eksistensialisme ateis-nya menekankan bahwa “ketidak-adaan Allah merupakan syarat bagi manusia untuk menjadi dirinya sendiri”. Nietzche memburu dan membunuh Tuhan, Sartre menyiapkan peti mati dan liang kubur untuk Tuhan. Mereka berharap, dengan matinya TU(H)AN (sebagai Dominus, Lord, Herr = YANG BERKUASA) tidak ada lagi HANTU yang menghantui ketika manusia keluar malam di dalam kegelapan dan kekosongan kosmos untuk mengekspresikan dirinya secara bebas seperti halnya TUHAN ketika mencipta dan mencintai.
Tentu saja para ateis modern harus berterima kasih kepada bapak pencerahan, Immanuel Kant (1724-1804), yang membuka jendela pencerahan untuk boleh berpikir bebas dengan nalar sendiri di luar pagar berpikir seperti antara lain yang dipatok oleh institusi Gereja. Berikut ini intisari pemikiran dari beberapa dedengkot ateis yang ‘memaklumkan perang’ terhadap Gereja melalui pemikiran mereka. Sebuah cubitan kecil dari Johann Baptist Metz yang menyinggung Kristianitas dan ateisme berikut ini mungkin membuat kalangan teis dan ateis perlu menyusun pertanyaan baru:

“Lawan utama bagi kebangkitan harapan kita adalah agama Kristen yang menjadi agama borjuis: masih mampukah kita untuk mempertahankan secuil dari dunia mesianis yang tidak berakar di tengah dunia borjuis itu? Tidakkah kita sedemikian berorientasi kepada harta milik hingga kita tidak merasakan lagi bahwa kita menggadaikan jiwa dan hidup kita? Mengapa orang Kristen lebih takut terhadap sang ateis Marx, dari pada sang ateis Freud? Mungkin karena Marx menyerang harta milik kita, sedangkan Freud hanya meneliti jiwa kita?”[6]

4.        Ludwig Feuerbach (1804-1872).

Posisi ateisme Feuerbach lebih tepat disebut sebagai kritik dan perlawanan terhadap posisi gurunya, G.W.F. Hegel (1770-1831), menyangkut keberadaan Allah atau suatu ‘roh semesta’ yang berada di balik pikiran dan tindakan manusia. Menurut Hegel, Allah mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia. Artinya, bukan manusia yang berpikir dan bertindak secara bebas melainkan ‘roh semesta’ yang berada di belakangnya itulah yang menggerakkan dan mendikte semua pemikiran dan tindakan manusia. Dalam bahasa Magnis-Suseno, yang nyata dan bertindak itu adalah Allah, sementara manusia hanyalah anak wayang yang digerakkan oleh sang dalang. Jadi: Allah dianggap sebagai ‘yang nyata’ dan yang eksis, sementara manusia yang kelihatan justru cuma dianggap “bayangan” (wayang saja!). Antitesis Feurbach terhadap tesis Hegel menyatakan bahwa “Das Bewusstsein Gottes ist das Selbstbewusstsein des Menschen, die Erkenntnis Gottes die Selbsterkenntnis des Menschen” = Kesadaran (tentang) Allah adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, pengetahuan (tentang Allah) adalah pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri.  Jadi, yang nyata itu adalah manusia, bukan Allah! Allah adalah proyeksi manusia sendiri.
Dengan demikian posisi pencipta dan hasil ciptaan perlu dibalik: bukan Allah yang menciptakan manusia, melainkan manusia-lah yang menciptakan Allah di dalam angan-angannya. Maka yang terjadi kemudian ialah bahwa manusia ketika menyembah Allah, manusia sebenarnya sedang menyembah dirinya sendiri. Bagi Feuerbach, kepercayaan kepada Allah hanya menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan manusia. Karena, ketika manusia menghadapi tantangan, ia bukannya berpikir tetapi menyerahkannya semua kepada Allah dengan harapan (baca: ilusi) bahwa biarlah Tuhan yang akan berpikir dan melakukan apa yang terbaik untuk dirinya. Apa bedanya dengan fatalisme?

5.        Karl Marx (1818-1883).

Marx ‘meneruskan’ kritik agama Feuerbach namun dengan locus dan focus yang berbeda. Jika Feuerbach memeriksa pikiran (tepatnya: berpikir), maka Marx melanjutkannya dengan memeriksa struktur yang melahirkan pikiran atau ide. Jika Feuerbach sampai pada kesimpulan bahwa manusia menyerahkan diri kepada Tuhan yang adalah hasil ilusinya sendiri untuk membebaskan dirinya, maka Marx berkesimpulan bahwa agama telah menjadi tempat pelarian manusia ketika ia menghadapi kesulitan – agama adalah candu rakyat’. Marx memindahkan focus sasaran moncong meriam gugatannya tidak lagi kepada Tuhan di dalam pemikiran manusia ke pada struktur kekuasaan yang membentuk struktur sosial di dalam masyarakat di dunia nyata. Adalah struktur kekuasaan dan struktur sosial sebagai realitas itulah yang sesungguhnya menghambat manusia untuk mewujudkan keberadaannya.
Namun untuk lari dari kenyataan yang menindas itu manusia justru ‘menciptakan’ dunia ilusi baru bernama agama. Karena itu, menurut Marx - sebagai kritik agama untuk melepaskan diri dari ilusi (tentang keberadaan manusia) - adalah keharusan untuk melepaskan keadaan yang membutuhkan ilusi. Maksudnya? Tuhan itu ilusi manusia (Feuerbach), demikian pula agama sebagai candu masyarakat adalah juga dunia ilusi (Marx). Keadaan yang membutuhkan ilusi itulah realitas sosial sebagai gesellschaftlich-okonomisch-sozialer Unterbau yang tidak adil yang membentuk atau menghasilkan ideologische Überbau. Unterbau itulah yang harus dibereskan agar tidak menjadi kondisi lahirnya ilusi. Bagi Marx, adalah dunia nyata yang menindas kebebasan manusia, bukan Tuhan dalam pemikiran manusia. Sayangnya, agama, (tepatnya: Gereja), dalam sejarah dan dalam kebanyakan hal, justru merupakan bagian dari kelas dan kekuasaan itu sendiri. Gereja menjadi penghambat dalam perjuangan kelas untuk pembebasan diri mereka yang tertindas oleh struktur. Gereja, dalam bahasa Marx, telah melumpuhkan semangat dan daya kritis manusia untuk melawan penindasan, manusia kemudian memilih lari dari kenyataan untuk berpasrah pada Tuhan.

6.        Friedrich Nietzsche

Jika Hegel menganggap Tuhan sebagai dalang untuk semua tindakan manusia (jadi manusia tidak pernah bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri), dan Feuerbach menolak pandangan Hegel dengan tesis bahwa Tuhan itu adalah proyeksi kesadaran manusia sendiri, sementara Marx mengarahkan kritiknya pada agama yang menghambat kedewasaan manusia untuk berpikir sendiri, maka Nietzsche muncul dengan pandangan yang lebih radikal, bahwa Allah harus dibunuh agar ia tidak lagi ada dan mengatur-atur atau menguasai manusia (juga melalui agama). Tetapi bagaimana caranya membunuh Allah?
Nietzsche kembali kepada konsep Feuerbach, bahwa Allah tak pernah ada, Allah itu hanyalah ciptaan manusia. Dan Allah hasil rekayasa imagiansi manusia itu begitu berkuasa. Ia menguasai semua aspek kehidupan manusia tanpa menyisakan sedikit pun ruang kebebasan bagi manusia. Ia menentukan nilai-nilai moral dan etika, apa yang baik dan benar bagi manusia, dan manusia tidak mempunyai otoritas untuk menjadi dirinya sendiri dan menentukan sendiri apa yang baik menurut manusia. Oleh karena itu, bagi Nietzche, kematian Tuhan adalah syarat bagi kebebasan manusia. Tuhan harus dihapus dari keberadaannya.
Agama bagi Nietzche adalah kecengengan orang-orang yang kalah dalam menghadapi realitas, orang-orang yang takut menghadapi kenyataan dan hanya menghibur diri bahwa mereka akan bahagia di surga. Oleh karena itu semua konstruksi pengetahuan tentang Allah dan tentang realitas struktur sosial (Marx) harus dibongkar hingga hanya menyisakan nihilisme. Kalau Tuhan mati atau dimatikan maka agama dengan sendirinya bubar dan akhirnya manusia terbebas.

7.        Sigmund Freud (1856-1939)

Freud memang seorang ateis, namun perhatian kritiknya tidak pada masalah ada atau tidak ada Tuhan (itu tidak penting), melainkan pada ‘pesona Tuhan’ yang membius begitu banyak orang menjadi tergila-gila untuk percaya kepadaNya hingga akhirnya Tuhan itu menguasai seluruh kesadaran manusia, padahal Tuhan itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Freud berpendapat bahwa agama menurut kodrat psikologisnya adalah sebuah ilusi. Pandangan Freud mengambil sudut pandang psikoanalisa dan menyimpulkan bahwa agama adalah pelarian neurotis dan infantile dari realitas. Maksudnya?
Bagi Freud, perilaku orang bergama tidak jauh berbeda dengan orang yang menderita neurosis: menunjukkan perilaku yang aneh yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tuhan itu tidak ada tetapi mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah Tuhan itu nyata ada? Seseorang hendak mengambil pisang di hutan karena ia lapar, tetapi tiba-tiba ia ingat ada Tuhan, ada pesan agama agar jangan mengambil barang yang bukan milik sendiri, itu dosa, dan sebagainya – mengapa manusia menyerahkan dirinya untuk diatur oleh Tuhan atau peraturan yang ada di luar dirinya?
Kata kunci persoalan neurosis dalam kajian Freud adalah Superego: bahwa di dalam proses mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk menilai sebuah situasi untuk bertindak atau tidak, sebagai boleh atau tidak boleh, manusia tidak memiliki otonomi untuk memutuskan sendiri, melainkan mendengarkan bisikan, perintah, instruksi dari sebuah ego lain di dalam dirinya yang posisinya lebih tinggi dari dirinya sendiri (superego).
Manusia infantile tidak pernah merasa dewasa. Seperti layaknya anak kecil (infant), manusia ketika menghadapi ancaman cenderung berlari mencari perlindungan pada dewa-dewi seperti halnya anak kecil mencari perlindungan pada ayahnya. Tetapi tentu saja perlindungan yang dicari itu hanyalah ilusi manusia sendiri karena dewa-dewi itu, sama juga dengan Allah, dalam pandangan ateis, pada dasarnya tidak lebih dari ciptakaan ilusi manusia sendiri. Sifat infantile mengatakan bahwa harapan perlindungan dari anak kecil itu bukan karena realitas dapat memberikannya, melainkan karena orang menginginkannya. Baru ingin selamat tetapi sudah merasa selamat.
Agama bagi Freud tidak saja sebuah kekeliruan (karena keyakinan berdasarkan ilusi), melainkan juga sebuah persoalan neurosis kolektif: orang beragama secara bersama-sama sudah merasa selamat karena telah percaya atau telah beragama (sesederhanakah itu?); atau, orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan karena keputusan rasional otonom tetapi karena Tuhan melarang, takut dosa, nanti dihukum Tuhan, dan sebagainya. Bagi Freud, semuanya ini aneh karena manusia tidak memakai nalarnya sendiri tetapi menyerahkan keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak atas situasi tertentu kepada sebuah otoritas yang tidak ada.

8.        Jean-Paul Sartre (1905-1980)

Bagi Sartre dalam pandangan eksistensialismenya, Allah ada atau tidak ada itu tidak penting, karena kalau pun Allah ada, hal itu tidak merubah apa-apa. Bagi Sartre, manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Jika Feuerbach menganggap Allah adalah ciptaan manusia melalui ilusinya, maka Sartre menganggap manusia bukan ciptaan siapa-siapa tetapi ciptaan dirinya sendiri. Itulah prinsip eksistensialisme. Manusia juga bertanggungjawab atas semua orang. Jadi kalau orang percaya kepada Allah dan menyerahkan nasib kepada Allah, maka orang itu menyangkal tanggungjawabnya. Namun, agar manusia dapat bertanggungjawab atas dirinya sendiri secara bebas, maka Allah harus disingkirkan. Selama masih ada Allah, manusia tidak pernah bisa bertanggungjawab secara bebas atas dirinya sendiri. Bagaimana memahami posisi filosofis Sartre ini?
Ada dua istilah penting dari Sartre tentang manusia yang menjadi batu loncatan untuk memahami posisi ateisme Sartre, yaitu ‘berada-pada-dirinya-sendiri’ (être en soi) dan ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’ (être pour soi). ‘Berada-pada-dirinya-sendiri’ bermakna adanya kenyataan bahwa manusia itu ada sebagai realitas obyektif-padat; sementara ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’ bermakna kesadaran diri untuk ada hanya kalau ia menolak realitas obyektif. Bagi Sartre, manusia adalah sang ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’, tidak mempunyai hakekat yang pasti, ia ex-ist begitu saja ke dalam ralitas. “Hanya manusialah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya[7].
Dalam ketegangan antara ‘berada-pada-dirinya-sendiri’ dan ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’ itu manusia gamang dan cenderung lari kepada ‘berada-pada-dirinya-sendiri’ (artinya diatur oleh kekuatan lain di luar dirinya) dan melepaskan kekhasannya sebagai ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’. Demikian pula dengan eksistensi Allah. Allah juga, kalau seandainya ada, harus dipikirkan baik sebagai ‘berada-pada-dirinya-sendiri’ dan ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’. Kalau Allah itu ‘berada-pada-dirinya-sendiri’ pasti IA tidak bisa ‘berada-untuk-dirinya-sendiri’, karena kedua hal itu tidak bisa ada secara bersama-sama. Karena itu, bagi Sartre, tidak ada ruang bagi Allah dalam konsepsi tentang manusia.

9.        Albert Camus (1913-1960)

Bagi Camus, kalau benar ada Allah, mengapa dunia ini penuh dengan berbagai absurditas? Di mana-mana ada perang dan pembantaian, kelaparan, wabah penyakit – dan semuanya berujung pada kematian yang tragis. Semuanya ini terlalu tragis: dunia terus berjalan entah sampai kapan dan bersamaan dengan itu terjadi begitu banyak kekejaman yang irasional. Masih adakah celah untuk percaya bahwa Allah ada? Terlalu absurd untuk percaya bahwa Allah itu maha rahim, pengasih dan penyayang, ketika ribuan orang mati sia-sia sambil mulut mereka tak henti-hentinya berteriak: Tuhan tolonglah kami, selamatkanlah kami. Dan Tuhan tidak datang. Mereka mati, mati konyol. Percaya pada eksistensi Allah hanya membuat orang frustrasi.

10.    PENUTUP:  Siapa Yang Harus Membuktikan bahwa Allah Ada atau Tidak Ada?

Magni-Suseno dalam Menalar Tuhan menyebut dua kegagalan kritik ateisme dalam hal pembuktian tentang tidak-adanya-Tuhan dan penjelasan atas dasar kritik ateisme terhadap agama. Di sana ada persoalan metodologis. Tanggungjbawab untuk membuktikan adanya Tuhan harus berada pada pundak agama-agama, dan bukan pada para ateis. Para ateis bertanggungjawab untuk membuktikan bahwa manusia dapat eksis tanpa adanya sebuah kekuatan besar di luar dirinya, entah kekuatan itu bernama Tuhan atau apa pun juga. Karena, bagaimana para ateis bisa membuktikan apa yang bagi mereka sendiri tidak ada?
Kritik: Magins-Suseno dalam dalam buku Menalar Tuhan memperlakukan masalah percaya/tidak percaya Allah dan Percaya KEPADA Allah sebagai dua hal yang sama. Namun Magnis-Suseno sebagai filosof dan teolog memang berkepentingan dan bertanggungjawab untuk membela agama dan membawa orang kepada Tuhan. Itu sudah merupakan tugas seorang Imam. Karena itu, pendapat Magnis-Suseno di sini juga harus dibaca sebagai pembelaan seorang teolog atas Tuhan dan agama dari ‘serangan’ pemikiran ateisme.


DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. 1990. The Sacred Canopy – Elements of a Sociological Theory of Religion.  Anchor Books – A Divison of Random House, Inc. New York.
Eclesia Catholica. 1993. Katechismus der Katholischen Kirche, Oldernbourg Benno Paulusverlag Veritas, München – Libreria Editrice Vaticana.
Kristiyanto, Eddy. 2008. Sakramen Politik – Mempertangungjawabkan Memoria. Penerbit Lamalera, Yogyakarta.
Magnis-Suseno, Franz.  2005. Pijar-Pijar Filsafat – Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
______. 2006. Menalar Tuhan. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Prechtl, Peter & Burkard, Franz-Peter (hrsg.). 1999. Metzler Philosophische Lexikon – Begriffe und Definitionen. 2. erweiterte und aktualisierte Auflage). Verlag J. B. Metzler. Stuttgart – Weimar.
Smith, Linda & William Raeper. 2001. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, edisi 2.
Störig, Hans Joachim. 1993. Kleine Weltgeschichte der Philosophie. 16. Auflage, Verlag W. Kohlhammer, Stuttgart Berlin Köln.
Ulfig, Alexander. 1993. Lexikon der Philosophischen Begriffe. Bechtermünz Verlag GmbH, , Entvile am Rhein.



[1] Lihat Franz-Magnis-Suseno. 2006. Menalar Tuhan, Penerbut Kanisius Yogyakarta, hal. 115-117.
[2] Abraham, baik menurut kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Al-Qur’an berjuang untuk pengakuan Allah YANG SATU, bukan allah atau illah-illah lain. “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:2). Demikian pula Paulus ketika berada di Athena naik ke atas Areopagus dan berkata: “Hai orang-orang Athena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya itulah yang kuberitakan kepadamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi” (Kis. 17:22-24).
[3] Kathechismus der Katholischen Kirche, 31, hal. 48.
[4] Thomas von Aquinas, s.th. 1,2,3, dikutip dalam op.cit. 34, hal. 49.
[5] Kathechismus, 35, hal. 49.
[6] Johann Baptist Met, dikutip dalam Eddy Kristiyanto, OFM. 2008. Sakramen Politik – Mempertangungjawabkan Memoria. Penerbit Lamalera, hal. 85.

[7] Lihat, Magnis-Suseno, op.cit. hal. 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar