Jumat, 16 Juli 2010

Peran Pemimpin Agama Dalam Praksis Resolusi Konflik - Civic Education for Religious Leaders (CEFREL)[1]

Peran Pemimpin Agama Dalam Praksis Resolusi Konflik - Civic Education for Religious Leaders (CEFREL)[1]
Oleh Robert B. Baowollo
Pengantar
Materi pelatihan ini merupakan pengembangan (pengayaan) dari materi yang sama, yang diberikan kepada peserta pelatihan CEFRL angkatan sebelumnya (3-8 September 2007). Pengembangan materi mencakup struktur dan isi materi pembelajaran. Dari segi struktur materi terjadi proses restrukturisasi pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang diselaraskan dengan struktur dan alur materi teoretis yang dibawakan oleh Bapak Purwaharsanto dan alur proses belajar yang terjadi di kelas. Dari sisi isi materi pembelajaran terjadi proses pengayaan dan pendalaman atas setiap komponen materi pembelajaran (sub-sub pokok bahasan) dengan lebih banyak belajar dari kasus di lapangan (case studies). Dengan upaya pengembangan tersebut diharapkan materi ini dapat memberi kontribusi yang optimal bagi peningkatan dan pemantapan pengetahuan dan/atau ketrampilan para tokoh agama dalam bidang resolusi konflik.
Mengingat luas dan kompleksnya hakekat serta dimensi konflik yang terjadi di tanah air, juga banyaknya aktor dan faktor yang terlibat dalam (resolusi) konflik, maka saya berusaha membatasi diri pada telaah posisi dan peran tokoh agama dalam konflik, terutama konflik etnis dan agama: sebelum, selama dan sesudah eskalasi konflik. Hal-hal lain yang tidak/belum terjawab dalam paper ini tetap terbuka untuk diangkat dan dibahas sesuai progres proses belajar dalam pelatihan ini. Apapun definisi konflik, konflik etnis dan agama sangat menimbulkan masalah karena kekerasan yang terjadi seringkali justru didukung oleh sebuah perselingkuhan kepentingan antara pemimpin agama dan para politisi. Agama dapat dipakai dengan amat baik untuk meningkatkan kebencian dan mendukung (dengan demikian ikut membenarkan) kekerasan terhadap kelompok lain.
Mengutip Rapoport (1993) “When a religious justification is offered for a cause, which might otherwise be justified in political or economic terms, the struggle is intensified and complicated enormously. There are many reasons why this happens, perhaps the most important being that religious conflict involves fundamental values and self-determination; and struggles involving questions of identity, notoriously, are the most difficult to compromise because they release our greatest passions” [2]
Constructive Peace.
Situasi damai (peace) sering dimaknai sebagai situasi tanpa kekerasan (the absence of violence) dan karena itu secara ‘latah’ dimaknai lebih lanjut sebagai situasi tanpa perang, tanpa konflik, dan karena itu, tanpa korban jiwa (cedera, depresi, gila, dan mati), dan tanpa kerugian materi (kerusakan dan/atau kehilangan harta benda) dalam skala besar. Kriteria semacam itu tentu naïf, karena di Papua selalu terjadi perang antar suku yang berlangsung secara berulang-ulang tetapi korban jiwa ‘hanya’ tiga atau empat orang. Jika jumlah korban yang jatuh pada kedua pihak sudah seimbang, maka, sesuai etika perang suku di sana, perang harus dinyatakan selesai. Upacara perdamaian berupa ‘pesta bakar batu’ harus diadakan, dengan atau tanpa perantara pihak ketiga. Tayangan televisi tentang perang suku tersebut secara sistematis membentuk persepsi kita tentang peace dan conflict dalam (collective) memory dan terus menguat menjadi konsepsi final bahwa peace = the absence of violence. Lalu diam-diam kita berkata di dalam hati: “syukur, di sini tidak ada konflik.”
Benarkan di sini, di tempat kita, tidak ada konflik? Apakah situasi tanpa konflik (peace = the absense of violence) bermakna damai yang sejati (genuine peace)? Tunggu dulu! Simak siaran televisi lainnya tentang arus mudik dan arus balik Lebaran. Dalam ‚ziarah’ damai di bulan Ramadhan nan suci penuh rahmat menuju hari kemenangan itu korban jiwa justru mencapai ratusan, sebuah angka yang melampaui angka-angka yang pernah dicatat oleh kasus-kasus konflik dengan kekerasan (violent conflicts). Kalau mau diperluas, maka kita menemukan di bagian negeri ini yang ‚bebas konflik’ ada jutaan orang setiap hari mengalami kekerasan sosial: terkena diskriminasi sosial; kekerasan ekonomi: dana publik dikorupsi oleh elite politik yang menimbulkan kemiskinan, (neo)liberalisme yang mencekik pelaku ekonomi kecil, masalah kemiskinan struktural yang membuat rakyat kecil tidakmampu membayar uang sekolah atau menebus resep obat di apotek, busung lapar, pengangguran, kriminalitas, pelacuran, etc.; kekerasan budaya: bias gender, arogansi patriarki dan subordinasi perempuan, kebodohan dan ketertinggalan, dianggap orang udik; kekerasan psikis dan fisik (penghinaan, pelecehan dan pemerkosaan, pemukulan dan pengusiran/penggusuran), kekerasan politik (stigma politik sebagai ex-PKI/ex-Tapol), dan sebagainya, dan seterusnya. Bentuk-bentuk kekerasan inilah yang menjadi konflik laten yang bisa berakumulasi menjadi konflik terbuka jika ada pemacu/accelerator yang cukup kuat dan pemicu/trigger yang responsif dan tepat waktu.
Sejatinya, situasi tanpa konflik adalah sebuah situasi passive peace. Tugas pokok tokoh agama adalah, dalam perspektif teologis masing-masing, mendorong situasi passive peace menjadi active peace, di mana para tokoh agama sesuai dengan fungsi dan kedudukan mereka, dan dalam terang iman dan perintah agama masing-masing, mendorong ummat untuk bertumbuh secara sehat, turut serta secara aktif dalam proyek pembangunan (baca: pembebasan) ummat manusia dari berbagai bentuk ketertindasan yang termanifestasi dalam berbagai bentuk kekerasan seperti disebutkan di atas. Dalam bahasa resolusi konflik, tugas para tokoh agama adalah melakukan transformasi konflik sedemikian rupa sehingga potensi-potensi konflik itu tidak berakumulasi menjadi konflik terbuka dengan kekerasan dan tidak terkendali.
Menghadapi ancaman fisik dari kekuatan asing adalah tugas tentara; menertibkan perjudian, pelacuran, premanisme, kriminalitas, korupsi, penggelapan dan penyelundupan, adalah tugas aparat kepolisian dan kejaksaan; menengahi perselisihan sepak bola adalah tugas wasit sepak bola, dan sebagainya, dan seterusnya. Para tokoh agama harus dapat merumuskan peran spesifik mereka dalam resolusi konflik (sehingga kehadiran mereka menjadi bermakna dan berdaya guna) ketimbang ikut mengatur semua hal di luar bidang mereka (dengan akibat kehadiran mereka malah mengacaukan situasi). Kita tidak bisa membayangkan, misalnya, dalam sengketa selisih nilai antara dua petinju di atas ring, seorang ulama tidak mampu mengendalikan emosinya dan naik ring menggugat keputusan wasit dengan membawa-bawa ayat-ayat Kitab Suci.
Passive peace sebagai the absense of violence adalah sebuah realitas status quo,situasi damai semu karena ia menyimpan potensi konflik laten atau covert conflict. Orang mungkin merasa sudah dan sedang berada dalam situasi damai karena tidak ada konflik (the absense of violence) dan merasa aman karena ada negara yang kuat (terkadang kejam dan otoritarian) hadir menjaga rust en orde. Tetapi keduanya - situasi aman dan damai - tidak selalu bermakna sejahtera. Kanon peace promiting development mengatakan bahwa pemenuhan basic human needs merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya sebuah sustainable and genuine peace. sebuah
Constructive peace adalah situasi damai yang dinamis sebagai gambaran sekaligus cita-cita perjuangan civil society untuk menciptakan masyarakat pluralistik/multikultural di mana semua pihak bersedia untuk saling mengakui dan menghargai perbedaan di antara mereka, saling belajar untuk saling melengkapi dan memperkuat rekatan/ikatan sebuah peaceful co-existense – sedemikian rupa sehingga tertutup ruang dan peluang bagi konflik. Di sinilah habitat para tokoh agama dengan fungsi mereka yang amat spesifik yang sesuai dengan tugas dan panggilan mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan dan dihormati ummat mereka, orang-orang yang diberkati, matang, arif dan bijaksana sebagai pembawa damai di tengah konflik, yang berbeda dari habitat dan tugas polisi dan tentara, tugas para politisi serta saudagar, apalagi para ‘makelar ayat-ayat suci’ dalam menangani konflik di tengah masyarakat. Kalau ada pedagang yang bangkrut lalu banting setir jadi pendeta mondar-mandir ‘nenteng’ Al-Kitab, anggaplah ia sedang ‘terjerumus ke jalan yang benar’. Kalau ada mahasiswa elektro yang gagal jadi insinyur tetapi sukses jadi da’i kondang lantaran lebih rajin membuka buku agama ketimbang buku fisika selama masa kuliah, anggaplah itu juga sebagai sebuah ‘kecelakaan saleh’. Tetapi satu hal yang jelas: ‘teolog’ produk kursus kilat tiga bulan atau otodidak biasanya merasa diri lebih pintar dari para guru besar teology atau para mufti besar. Mereka biasanya, dengan sedikit sekali pengecualian (!), adalah kontributor konflik, bukan pembawa solusi.
Mengenal Struktur (ethno-religious) conflict.- Studi Kasus Konflik Maluku
‘Pada hari Selasa tanggal 11 September 1999, hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1419 H, di kawasan Batumerah, kota Ambon, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seorang pemuda Muslim dari etnis Buton (Sulawesi Tenggara) bernama Nursalim berusaha memeras Yopi, seorang pengemudi anguktan kota. Konflik dua orang ini kemudian melibatkan massa pemuda pendukung masing-masing sebagai fenomena persaingan ‘antar-gang’ biasa yang dikenal di mana-mana. Kemudian, pada hari yang sama, tersebar rumor bahwa Gereja Silo (gedung gereja milik Gereja Protestan Maluku yang terletak di pusat kota, tepat pada pertemuan pemukiman komunitas Muslim dan Kristen) diserang oleh massa Muslim. Rumor tersebut memicu ketegangan di antara kedua komunitas (Muslim dan Kristen) dan masing-masing pihak mulai melakukan konsolidasi massa untuk saling menyerang dalam skala yang lebih besar. Pihak Muslim menandai diri mereka dengan ikat kepala ‘putih’, pihak Kristen dengan ikat kepala ‘merah’. Maka sejak itu dikenal adanya ‘kelompok putih’ dan ‘kelompok merah’[3].
Pada hari berikutnya tersebar rumor bahwa Mesjid Raya Al-Fatah dibakar oleh kelompok Kristen dan sejumlah orang Muslim dibantai. Maka massa Muslim dari kampung-kampung Muslim di jazirah Leihitu (Pantai Utara pulau Ambon) bergerak menuju kota Ambon dan menghancurkan apa saja yang terkait dengan kelompok Kristen (rumah penduduk, gedung gereja, sekolah, etc) dan membunuh warga Kristen yang dijumpai sepanjang jalan menuju kota Ambon. Setelah terjadi jedah sebentar, rumor dan konflik terbuka dengan kekerasan yang memakan ribuan korban pun pecah antara komunitas Muslim dan Kristen dan menjalar bagai api memakan padang ilalang di seluruh kawasan Maluku dan Maluku Utara. Di sejumlah pulau di kawasan itu konflik berhasil diredam dalam waktu singkat berkat otoritas para raja dan tokoh adat serta upaya serius pemerintah dan aparat keamanan dalam mengendalikan situasi. Di bagian lain kawasan itu, setelah terjadi jedah sebentar, konflik justru kembali meningkat dengan kualitas kekerasan yang lebih massiv dan lebih brutal, terutama karena masuknya pihak luar yang ikut memperburuk suasana.
Banyak pihak menilai konflik itu disebabkan oleh (a) kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial antara pendatang dan penduduk asli; (b) hegemoni, atau tepatnya persaingan, antara kelompok Muslim dan Kristen untuk memperebutkan peran sosial politik, dan terutama positional goods (seperti jatah PNS); (c) ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah; (d) bangkitnya gerakan separatis RMS, dan seterusnya. Konflik yang terbuka memang dalam pengertian tertentu berhasil diatasi. Situasi damai, ‚rust en orde’, berhasil dipulihkan. Tetapi apakah para pihak yang bertikai itu juga sudah sepakat tentang apa akar konflik di antara mereka? Kalau akar konflik itu belum ‚dicabut’ tuntas, maka ia masih merupakan konflik laten, yang setiap saat bisa pecah kembali kalau ada pemicu yang cukup dan timing yang tepat. Kasus tarian cakalele di hadapan presiden SBY pada peringatan Hari Keluarga Nasional yang lalu membuktikan bahwa ‚sekam itu masih membara’.
Akar konflik, accelerator dan trigger
Perkelahian antara dua pemuda pada tanggal 11 Januari 1999 adalah faktor pemicu/trigger. Salah satu akar konflik adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial antara penduduk asli dan pendatang (terutama etnis Buton, Bugis dan Makassar = BBM). Jika digali lebih dalam lagi maka grievance tentang kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan itu bersumber pada penguasaan modalitas pasar seperti kios dan ruko oleh etnis pendatang (BBM) (selain oleh etnis Cina dan Arab). Tetapi kenapa harus pecah pada bukan Januari 1999 dan bukan pada bulan April tahun 1999 atau November 1998? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan meneliti kembali (baca: re-search) faktor-faktor pemacu/accelerators, yaitu peristiwa-peristiwa, indikator sosial dan ekonomi, peningkatan atau penurunan suhu politik, tingkat prasangka dan emosi antar kelompok, etc. yang terjadi menjelang pecahnya konflik (precipitant) 11 Januari 1999.
Faktor pemicu/trigger maupun pemacu/accelerator bisa memiliki kaitan langsung atau tidak langsung atau bahkan tidak ada hubungans ama sekali dengan akar konflik. Namun faktor pemacu/accelerator mempunyai kontribusi terbesar dalam mempercepat atau memperlambat event pecahnya konflik (precipitant) dan eskalasi lebih lanjut. Pernyataan tentang akar konflik maupun accelerator dalam konflik Maluku di atas masih bersifat hipotetis. Pihak-pihak yang bertikai di Maluku pun belum sepakat tentang apa sebenarnya sumber utama konflik di antara mereka. Para peneliti memilih jalan akademis memeriksa: (a) akar dan substansi konflik yang menempatkan kedua pihak yang bertikai itu dalam sebuah conflict situation; (b) bagaimana situasi konflik itu mempengaruhi mental disposition para pihak yang bertikai sebagai conflict attitude; untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan (c) bagaimana mungkin hanya dengan sebuah peristiwa sepeleh sebagai trigger, maka conflict situastion dan conflict attitude, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama, mampu memicu conflict behavior yang amat garang di mana kedua komunitas terlibat dalam konflik dengan kekerasan yang amat brutal dan masif.
ABC-Conflict : Conflict Attitude, Conflict Behaviour, dan Contradiction (Conflict Situation)
Pengertian dasar konflik adalah sebuah situasi di mana dua orang atau lebih menginginkan sebuah sasaran/obyek/kepentingan (goal), dan bahwa sasaran itu hanya bisa didapatkan oleh salah satu dari mereka, dan tidak oleh keduanya sekaligus. Jadi di sana setidaknya (a) ada dua pihak yang bersaing; (b) masing-masing pihak memobilisasi energi untuk mendapatkan sasaran (goal) tersebut; dan bahwa (c) masing-masing pihak menganggap pihak yang lain merupakan hambatan permanen (barrier) atau ancaman serius untuk mencapai sasaran yang hendak diperoleh sehingga perlu disingkirkan (Ross Stagner, 1967). Situasi konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih berpendapat bahwa masing-masing memiliki kepentingan yang saling bertentangan (incompatible goals) (Mitchel (1981:17).
Dari contoh kasus konflik Maluku di atas kita dapat mengangkat isu kompetisi untuk memperebutkan scarcity yang berujud positional good (semisal jabatan publik atau kesempatan menjadi PNS). Komunitas Muslim Ambon berpendapat bahwa jabatan publik dan kesempatan menjadi PNS didomiansi/dikuasai komunitas Kristen. Komunitas Muslim merasa berhak atas jabatan-jabatan publik dan kesempatan menjadi PNS. Namun komunitas Muslim berpendapat bahwa akses ke dalam jabatan publik dan peluang PNS tersebut secara permanen diblokir oleh komunitas Kristen dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkannya. Pada saat yang sama komunitas Kristen yang ‘menguasai’ jabatan-jabatan publik dan selalu ‘merasa lebih berhak atas lowongan PNS, mempersepsikan niat dan hegemoni komunitas Muslim sebagai ancaman atas privilege mereka. Apalagi di tingkat nasional sedang terjadi proyek ‘ijo royo-royo’ yang dianggap akan menggusur peran komunitas Kristen dari panggung sosial-politik lokal dan nasional.
Conflict attitude dan polarisasi.
Kasus Maluku di atas adalah contoh sebuah conflict situation yang memicu polarisasi antara pihak-pihak yang saling berkonflik, bertumbuhnya segregasi self/others, dan berkembang-biaknya iklim prasangka dan permusuhan serta pembentukan persepsi negatip tentang pihak lain sebagai bentuk-bentuk conflict attitude. Attitudes didefinisikan sebagai mental predisposition untuk bertindak yang dinyatakan dengan mengevaluasi sesuatu (seperti: orang Kristen kafir, orang Islam jahat, etc.) dengan perbedaan-perbedaan tingkat rasa suka atau tidak suka (favor or disfavor)[4]. Dalam studi konflik secara umum conflict attitude diartikan sebagai kondisi psikologis (mencakup attitude pada umumnya, emosi dan evaluasi, pola-pola persepsi dan mispersepsi) yang menyertai atau timbul karena seseorang atau sekelompok orang berada dalam situasi konflik. Persepsi tentang lawan (sebagai jahat, serakah, kafir, dan sebagainya) dianggap sebagai faktor yang ditimbulkan oleh tekanan karena orang berada dalam situasi yang konfliktual, dan bukan sebaliknya (Mitchell, 1981: 27). Karena itu conflict attitude didefinisikan sebagai ‘common patterns of expectation, emotional orientation, and perception which accompany involvement in a conflict situation’ (Mitchell, 1981: 28).
Konflik covert yang kemudian pecah menjadi konflik yang overt tidak terjadi secara serta-merta. Sebelum terjadi eskalasi konflik antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku dan Poso, antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan, antara etnis pribumi dan etnis Tionghoa di Solo dan Jakarta, dan sebagainya, dan seterusnya – sesungguhnya situasi konfliktual di antara pihak-pihak yang bertikai sudah berkembang-biak lama dengan embrio konflik bernama prasangka[5]. Prasangka sebagai titik awal dinamika konflik etnis dan agama selalu berangkat dari fase (1) antilocution: membicarakan prasangka mereka (tentang pihak lain) hanya diantara anggota komunitas sendiri; (2) Avoidance: menghindari anggota kelompok lain yang tidak disukai; (3) discrimination: mengecualikan anggota kelompok tertentu dari sejumlah hal, seperti pekerjaan, pemukiman, pendidikan, gereja/mesjid, rumahsakit etc; (4) physical attack: dalam kondisi emosi yang meningkat prasangka bisa mengarah kepada tindakan kekerasan atau semi kekerasan yang memaksa seseorang atau sekelompok orang keluar dari ketetanggaan karena takut; (5) extermination: lynchings, pogroms, massacres, and genocide merupakan puncak-puncak ekspresi kekerasan berbasis prasangka.[6]
Pertanyaan yang sangat mengganggu, terutama bagi kalangan awam, adalah: bagaimana mungkin perkelahian antara seorang pengemudi angkutan kota dengan seorang pemuda pengangguran untuk memperebutkan beberapa keping uang recehan bisa berkembang menjadi sebuah polarisasi massa yang terdiri dari massa Muslim vis-à-vis massa Kristen yang siap saling membantai? Mari kita pinjam dan telaah pertanyaan yang amat sederhana dan agak dungu ini: apakah uang recehan yang diperebutkan itu adalah ‘uang Muslim’ atau ‘uang Kristen”? Sejak kapan uang punyai agama sehingga kedua komunitas orang-orang ber-Tuhan di sana mau turun gunung untuk memperebutkannya dengan cara-cara kekerasan? Atau apakah Nursalim dan Yopi itu masing-masing adalah tokoh agama yang amat penting sehingga seluruh anggota komunitas mereka di sana, bahkan dari seluruh Indonesia, mau berpihak dan membantu mereka?
Untuk menjawab pertanyaan sesungguhnya yang melampaui pertanyaan sederhana dan dungu itu, ada baiknya kita memeriksa gejala kebangkitan nasionalisme berbasis agama dan etnik. Religious nationalism dan ethno-nationalisme adalah dua makhluk lama dalam sejarah peradaban dan konflik identitas bangsa-bangsa di muka bumi. Keduanya ‘memperkaya’ kosa kata kita tentang bentuk-bentuk nasionalisme selain National-Sozialismus (Nazi). Religious nationalism – sebuah istilah yang diperkenalkan Mark Juergensmeyer (1993) – sebagai reaksi terhadap kecenderungan ‘baru’, yang diidentifikasi sebagai secular nationalism[7], Diskursus religious and secular nationalism ini, secara historis, lahir dari perlawanan Protestantisme yang memiliki denominasi plural atas dominasi Gereja Roma Katolik sejak abad pertengahan, bahkan hingga saat ini! Yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa wacana religius-sekular sebagai bentuk nasionalisme di Eropa sudah berada di posisi matahari terbenam dan nyaris jadi fosil itu kini menemukan revivalismenya sebagai sebuah fenomena universal dasyat di luar Eropa dan Amerika Utara: Di Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara fenomena ini justru baru merekah, sedang hangat-hangatnya, mengalami penguatan, bahkan menemukan kualitas baru yang amat mengkuatirkan[8]. Religious nationalism menguat menjadi sebuah ideologi – bahkan ideologi global semisal gerakan Pan-Islamisme yang digerakkan tokoh reformis-revivalis Islam, Jamaluddin al-Afghani di Mesir[9] kemudian membangkitkan (baca: memprovokasi lahirnya kembali) nasionalisme religius Kristen, terutama di Amerika Utara yang banyak mempengaruhi politik luar negeri Amerika Serikat saat ini. Jadi, dari asalnya, bentuk nasionalisme ini sudah mengusung grievances yang amat kompleks yang berpusat pada persoalan politik identitas. Latar belakang inilah yang kiranya dapat menjelaskan model polarisasi Islam-Kristen yang terbentuk dalam konflik ethno-religius di Maluku. Orang-orang Muslim Ambon lebih mampu menerima dan bersatu dengan sesama Muslim dari luar Maluku (demikian pula sebaliknya).
Ethno-nationalism[10] mirip tribalism adalah kecenderungan polarisasi identitas lainnya yang melatarbelakangi runtuhnya kesatuan nation-state negara-negara di Eropa Timur, seperti bekas Yugoslawia dan negara-negara bagian Unisovjet. Berhimpitnya identitas agama dan identitas etnik mengakibatkan terjadinya pengerasan polarisasi identitas yang semakin mencemaskan[11]. Perhimpitan identitas dalam konflik di Asia Selatan lebih dianggap sebagai communal conflict (Engineer, 1985). Etnis Bosnia identik dengan Islam, Irlandia dengan Katolik, Inggeris dengan Anglikan, dan sebagainya. Di Indonesia gejala ke arah sana semakin kuat: Etnis Ambon dan Menado identik dengan Kristen, Aceh dan Sumatera Barat dengan Islam, dan sebagainya. Sialnya (!) ekspansi etnis BBM tidak saja dipersepsikan sebagai ancaman terhadap komunitas Kristen (karena alasan perbedaan agama) tetapi juga ancaman terhadap proporsi mayoritas umat Muslim asli Maluku (karena terlalu cepat berkembang biak dan menguasai tanah-tanah adat yang sebelumnya enggan disentuh penduduk asli, dan’atau karena tingkat kesejahteraan mereka sudah melampaui rata-rata warga Muslim setempat).
Dinamika konflik, posisi dan peran tokoh agama
Dengan sedikit sekali pengecualian, hampir semua konflik etnis dan agama memiliki akar sejarah yang panjang. Dalam sejarah yang sama para pemimpin agama juga hidup dan ikut menjadi bagian dari proses dialektis hubungan masalah sosial dengan agama, ikut menyaksikan proses negosiasi makna identitas kelompoknya dengan kelompok lain. Karena itu, para pemimpin agama adalah orang-orang yang hadir secara sadar dalam masyarakat menyaksikan dan ikut menjadi bagian dari proses pembentukan makna identitas dan nilai-nilai kelompok. Dalam perspektif ini, konflik antar kelompok etnis dan agama selalu terkait dengan persepsi tentang group identity and group worth dan konsensus kelompok tentang nilai, harkat dan martabat kelompok. Penelitian atas konflik antar kelompok identitas belakangan lebih memusatkan diri pada interpretasi manusia dalam memelihara kelompok konflik. Kata kunci untuk menjelaskan kompleksitas ini adalah insult (penghinaan)sebuah terminologi yang berasal dari Aristoteles – dengan makna dan kualitas yang ditentukan oleh budaya dan hubungan antar pihak yang menghina dan terhina. Kemarahan karena terhina atau terinjak-injaknya identitas kelompok sangat tergantung pada apa yang dinamakan cognitive appraisal of events yang menjadi kunci ke dalam penjelasan experience dan emotion.
Hal memilih ikut dalam permainan atau melawan arus sangat tergantung pada keyakinan atas value bahkan cash value yang ditawarkan pilihan tersebut. Kesulitan utama bukan saja terletak pada taksir nilai yang bakal diperoleh, juga bukan pada nilai semisal positional goods yang melekat pada status dan citra tokoh, melainkan pada proses menilai (valuing process) itu sendiri. Seorang tokoh membutuhkan kriteria untuk menentukan preferensi yang tidak saja dianggap baik, bermanfaat dan bermartabat bagi dirinya tetapi juga untuk kelompok identitas yang diwakilinya. Seringkali preferensi baik dan bermanfaat itu menjadi goyah ketika diperhadapkan pada kriteria bermartabat – terutama karena tokoh harus bermartabat ke dalam kelompoknya (prinsip dasar konstituensi), dan representasi kelompok identitasnya keluar. Dengan demikian, tokoh agama sudah terlibat dalam konflik jauh sebelum sebuah konflik bereskalasi.
Peran Tokoh Agama Sebelum Fase Eskalasi Konflik dengan Kekerasan
Bahasa populer yang dipakai untuk mencegah konflik dengan kekerasan adalah menjaga harmoni, hubungan baik, toleransi, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut berasal dari dunia sosiologi dan menjelaskan obyek sosiologi dan makna-makna seputar relasi antar kelompok masyarakat: harmoni dan toleransi; harmoni dengan siapa dan untuk nilai-nilai mana saja; kapan toleransi diberikan dan kapan harus bersikap tegas dan tidak memberi toleransi agar identitas dan sikap dasar kelompok tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai yang tidak diyakini kelompok sendiri. Psikologi berkepentingan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya persepsi atas obyek-obyek sosiologis tersebut di dalam pikiran orang, baik sebagai persepsi individu maupun persepsi kolektif. Salah satu pintu masuk untuk menjelaskan situasi itu adalah dinamika prasangka.
Prasangka (prejudice) dalam terminology psikologi sosial mencakup persoalan-persoalan diskriminasi, etnosentirme, ingroup favouritism, ingroup bias, outgroup derogation, social antagonism, stereotyping, dan social distance. Salah satu ciri pokoknya adalah mengidentifikasi sesuatu sebagai buruk dan unjustified. Prasangka didefinisikan sebagai ‘thinking ill of others without sufficient warrant’ (Allport 1992); ‘a failure of rationality’ (Harding et at. 1969) dan ‘irrational, unjust, or intolerant’ (Milner, 1975). Orang yang berprasangka menolak koreksi atas kekuranglengkapan pengetahuannya tentang sesuatu, dan karena itu bersifat irreversible; tidak memiliki pengetahuan obyektif dan autentik tentang obyek prasangkanya, serta menggeneralisasikan segala sesuatu (“Amrozi jahat, ya, semua orang Islam jahat.” Amerika jahat, ia menyerang umat Muslim. Amerika itu negeri Kristen. Semua orang Kristen jahat dan halal untuk dibunuh!” dan sebagainya). Tugas tokoh agama adalah memfasilitasi, baik secara langsung maupun dengan perantaraan pihak lain, dan/atau melengkapi pengetahuan pengikutnya yang tidak lengkap tentang the others dan meluruskan persepsi yang keliru – sedemikian rupa sehingga pengetahuan dan persepsi tentang the others terjamin secara mamadai dan proporsional. Mengapa tugas tokoh agama pada stadium ini penting? Karena terorisme dan sejenisnya, pertama-tama, tidak bertumbuh dan berkembang di Timur Tengah atau Amerika, tetapi di kepala setiap orang![12] Kapital yang dimiliki para tokoh agama dalam meredam dan mengikis prasangka adalah kharisma, konstituensi, dan kemampuan dialog. Pengetahuan (knowledge)embedded pada ketiga kapital tersebut. adalah bagian yang bersifat
Bila Konflik Pecah – Peran Tokoh Agama pada Fase-fase Kritis
Konflik dengan kekerasan biasanya bersifat multi facet (memiliki banyak dimensi dan agenda), multi factors (mungkin hanya satu faktor pemicu/trigger, tetapi banyak faktor pemacu/akselerator yang bersumber dari satu atau beberapa akar masalah – bisanya merupakan masalah yang kompleks), multi actors (banyak pihak berkepentingan dan menjadi pelaku secara langsung dan tidak langsung), dan multi targets (sasarannya bisa apa saja: manusia, harta benda, maupun obyek yang menjadi simbol identitas kelompok lawan), dan multi phases (banyak eposode konflik/kerusuhan). Bagaimana tokoh agama menempatkan diri dalam keruwetan ‘struktur’ konflik semacam ini? Ia harus paham peta konflik agar tidak menempatkan diri pada tempat dan waktu yang salah, setidaknya agar tidak dibajak untuk menjalankan agenda kelompok tertentu yang berdampak pada komunitas yang dipimpinnya, baik dampak langsung maupun (terutama!) dampak jangka panjang.
Fase kritis dalam setiap konflik dengan kekerasan adalah waktu antara precipitant dengan eskalasi. Biasanya antara peristiwa pemicu (precipitant) (seperti dua preman berkelahi) dan eskalasi besar-besaran (menjadi konflik antara komunitas Muslim dan Kristen) selalu terdapat jedah waktu yang oleh Donald L. Horowitz disebut lull[13]. Pada fase lull ini para pihak mengevaluasi situasi, mengukur kekuatan, menghimpun dan mengorganisasi diri, mencari informasi tentang lawan – sebelum melancarkan aksi berikutnya secara lebih besar dan brutal untuk membungkam lawan. Pemuka agama memiliki peluang yang sempit ini untuk menghentikan proses eskalasi, meredam esmosi kelompok dan memberi pencerahan. Peluang kecil ini teramat berharga, yang kalau disia-siakan akan menimbulkan dampak kerusakan yang luar biasa. Keadaan menjadi lain jika tokoh agama justru memanfaatkan massa kritis ini untuk mengagitasi, mengkonsolidasi kelompok sendiri untuk menyerang kelompok yang lain. Tokoh semacam ini harus didiskualifikasi dari kategori tokoh agama. Ia adalah provokator par excelence.
Konflik yang terjadi pasca-lull sebagian bersifat irrasional dan tunduk pada psikologi perilaku massa (collective behavior).[14]. Namun kalangan psikolog, khususnya yang mencurigai adanya unsur niat dan rasionalitas dari setiap tindakan konflik[15] menemukan fakta bahwa tidak ada tindak kekerasan massa yang sepenuhnya irrasional sebagaimana diklaim Canetti (1983)[16] dan LeBon cs. Faktor niat, sebagai intentional behavior, memainkan peran penting dalam mengendalikan collective action. Dengan demikian tokoh agama, terutama yang memiliki kharisma kuat, memiliki peluang untuk meredam massa dan menghentikan konflik. Dalam kasus kerusuhan Maluku, misalnya, raja Kei Besar, Rahail, mampu mempergunakan otoritas adatnya untuk memerintahkan penghentian konflik di wilayah ‘kekuasaannya’ karena tidak ada satu pun syarat perang yang terpenuhi dalam konflik tersebut. Sebaliknya, sebagian pejabat pemerintah dan bahkan sebagian tokoh agama ‘lari terbirit-birit’ atau bahkan ikut memprovokasi konflik.
Dialog dan Keteladanan Elite
Dalam episode konflik selanjutnya, peta konflik sudah semakin jelas: para pihak sudah teridentifikasi, obyek sengketa sudah jelas, para provokator sudah teridentifikasi - sebagian malah adalah tokoh agama – kita bisa melihat siapa saja pada kedua pihak, terutama tokoh agama yang berkharisma, memiliki pengaruh dan wibawa atas kelompoknya yang jelas, yang dapat diajak dialog atau melakukan negosiasi dan mediasi, baik secara terbuka maupun tertutup. Faktor kultur dan etika sosial memegang peranan yang amat penting. Seringkali para tokoh agama mengabaikan faktor kultural ini sehingga gagal menciptakan kedamaian. Arogansi dan sikap menang sendiri tidak menolong apa-apa dan siapa pun juga.
Dalam sebuah forum sidang Sinode Keuskupan Amboina (12-25 Oktober 2004) Haji Abdullah Soulissa, pimpinan Yayasan Mesjid Al-Fatah Ambon, dalam ceramahnya secara terbuka menunjuk kesalahan komunikasi budaya yang dilakukan uskup Amboina, Mgr. P.C. Mandagi, MSC ketika para penumpang kapal Dorolonda dari Kupang (NTT) yang turun di pelabuhan Yos Sudarso Ambon dibantai oleh sekelompok orang Muslim yang menguasai pelabuhan. Soulisa menyesalkan langkah yang diambil uskup Amboina yang memilih pergi ke mikrofon radio dan kamera televisi untuk meminta bantuan dunia internasional ketimbang kepada sesama orang Maluku. Menurut Soulisa, uskup seharusnya datang kepada tokoh Muslim, dan biarlah tokoh-tokoh Muslim menyelesaikannya secara ke dalam. Hal yang sama juga dilakukan oleh Romo Benny Sutrisno, pastor katolik Situbondo, Jawa Timur. Ketika gereja-gereka Kristen dan Katolik dibakar kelompok-kelompok Muslim radikal, ia lebih memilih cara yang arif, mendekati para kiyai setempat untuk bersama-sama meredam konflik ketimbang panik dan berteriak ke dunia internasional.
Jalan Menuju Rekonsiliasi
Konflik itu ibarat proses pelepasan energi. Sama seperti gunung api, para pihak dalam situasi konflik setelah melepaskan semua energi untuk saling menghabiskan, mereka akan kehabisan energi, pasukan, amunisi dan logistik perang. Bahkan kadang disertai rasa frustrasi yang mendalam karena perang tidak menghasilkan apa-apa selain kerusakan dan kerugian pada semua pihak. Pada masa sebelum sebuah konflik laten pecah menjadi konflik terbuka selalu ada upaya peace making baik berupa conflict transformation maupun peace-building sebagai upaya maksimal manajemen konflik untuk men-depolarisasi komunitas yang sudah terlanjur pecah menjadi kawan/lawan (self/others). Pada fase ini peran tokoh agama sangat vital dalam mengelola konflik.
Pada fase lanjutan di mana konflik akhirnya pecah dan bereskalasi dengan kekerasan yang tidak terkendali, upaya yang dilakukan adalah membentuk peacekeeping dan menetapkan peace zones. Pada fase ini peran tokoh agama terdesak oleh peran tentara dan polisi. Peran tokoh agama menjadi amat penting dan menentukan adalah pada fase sesudah konflik: upaya mendamaikan para pihak yang bertikai (reconsiliation with reconstruction). Sebuah upaya rekonsiliasi tidak terjadi serta-merta begitu konflik meredah. Harus ada upaya-upaya kedua belah pihak dan/atau dengan perantaraan pihak ketiga melalui jalan berliku negosiasi dan mediasi agar para pihak mau duduk bersama membicarakan masalah mereka dan akhirnya mau berdamai. Seperti pada Perjanjian Malino II (untuk kasus Maluku) atau COHA dan Kesepakatan Helsinki (untuk kasus Aceh), para pihak datang ke meja perundingan dengan daftar panjang tuntutan yang harus dipenuhi pihak lawan kalau mau berdamai serta ancaman yang datang dari belakang.
Negosiasi: moral consensus and moral appraisal
Proses negosiasi tidak hanya terkait dengan pilihan model pertarungan ‘zero-sum-games’ dimana partai saya harus menang mutlak dan lawan harus kalah, tidak boleh dapat apa-apa atau diberi konsesi apa pun; atau ‘non-zero-sum-games’ (mixed motives games) dimana kepentingan para pihak saling bertentangan (incompatibility of goals) tetapi hasil akhir bisa juga bersifat congruent, di mana terbuka kemungkinan (a) hanya satu pihak yang keluar sebagai menang, (b) kedua-duanya menang, atau (c) tidak ada pihak yang menang. Permainan prisoners dilemma bisa menjelaskan konflik preferensi moral dalam proses negosiasi terkait pilihan-pilihan hasil akhir negosiasi yang dikehendaki masing-masing pihak, dan faktor trust yang dipersyaratkan jika para pihak sepakat keluar sebagai pemenang atau sama-sama mengalah.
Rentang keinginan dan ambisi antara pilihan untuk menang sendiri dan yang lain tidak dapat apa-apa (zero-sum-game) hingga kesediaan untuk sama-sama menang atau sama-sama tidak perlu menang alias mengalah – merupakan pergumulan mendasar para pihak yang berunding, termasuk tokoh agama yang selalu dilibatkan dalam setiap proses negosiasi. Ada tuntutan dari pihak Muslim agar para pelaku kerusuhan di pihak Kristen diadili dan dihukum seberat-beratnya. Pihak Muslim juga tidak bersedia memenuhi tuntutan pihak Kristen agar para perusuh Muslim ditangkap, diadili dan dihukum seberat-beratnya. Demikian pula sebaliknya. Masalahnya terletak pada persoalan moral consensus dan moral appraisal. Orang atau orang-orang yang oleh pihak lain disebut sebagai penjahat itu, ternyata oleh kelompoknya sendiri dianggap sebagai pahlawan, dan tindakan membunuh lawan itu dalam konsensus moral mereka dibenarkan (terlepas dari pertanyaan bagaimana dan dalam situasi seperti apa pihak lawan dibunuh).
Mediasi: pilihan conflict avoidance atau win-lose outcome.
Pada umumnya masalah dan ketidaksepakatan dalam masyarakat diselesaikan secara informal. Mula-mula orang berusaha mengindari konflik (conflict aviodance). Alasannya juga macam-macam: orang tidak mau ribut-ribut, substansi konflik tidak penting, buang-buang tenaga, tidak cukup kekuatan untuk memaksakan perubahan, orang tidak yakin bahwa dengan konflik akan datang perubahan, atau orang tidak/belum siap untuk bernegosiasi. Jika ternyata taktik menghindari konflik ini tidak mempan, maka orang akan mencoba membahas masalah mereka secara informal. Jika upaya-upaya informal juga tidak mempan, maka orang akan mencoba alternatif negosiasi.
Negosiasi adalah proses tawar-menawar, di mana para pihak yang berbeda kepentingan untuk sementara secara sukarela mau duduk bersama, saling belajar mengetahui kebutuhan dan tuntutan masing-masing pihak dan apa yang bisa ‘dikorbankan’ demi untuk ‘mendapatkan’ imbalan atau konsesi dari pihak lain. Jika upaya negosiasi sulit di jalankan atau sudah berjalan tetapi sampai pada jalan buntu, maka ditempuh alternatif mediasi yang melibatkan pihak ketiga yang tidak memiliki sama sekali atau hanya sedikit kewenangan untuk mengambil keputusan. Mediasi adalah sebuah proses sukarela dengan keputusan tetap berada di tangan para pihak yang bersengketa. Pada rentang inilah terdapat peluang intervensi peran tokoh agama secara optimal mendorong proses mediasi ke arah conflict avoidance. Pada fase administrative decision dan Arbitration tokoh agama tidak bisa masuk secara lugas, terkecuali ia dilibatkan dalam kedua model penyelesaian konflik tersebut. Fase selanjutnya sudah memasuki ‘track’ menuju penyelesaian yang semakin formal dan mulai menggunakan cara-cara kekerasan.
Adminsitrative or executive dispute resolution approach biasanya terjadi dalam lingkup organisasi (misalnya para pengurus gereja/mesjid berselisih soal hak pakai gedung) dengan hasil akhir yang memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan/tuntutan privat dan kepentingan publik. Dalam arbitrase para pihak gagal menemukan kata sepakat dan memutuskan meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial untuk memutuskan kasus mereka. Judicial approach menandai perpindahan status konflik sebagai masalah privat menjadi masalah publik. Legislative approach adalah sarana publik lainnya untuk resolusi konflik dengan merujuk pada ketentuan hukum. Keputusan akhir biasanya merupakan proses win-lose process yang bernama voting.
Ada dua tipe extralegal approach: nonviolent action dan violence or physical coersion. Nonviolent action bisa berupa pilihan seseorang atau sebuah kelompok untuk bertindak atau tidak bertindak sebagai cara untuk menekan lawan agar memenuhi keinginan mereka. Pembangkangan sipil dan aksi mogok adalah bentuk-bentuk nonviolent action. Violent or physical coersion adalah cara terakhir untuk memaksa lawan untuk memberi konsesi. Intimidasi dengan cara-cara preman adalah contoh yang paling jamak dalam masyarakat kita tentang cara-cara extrem mediasi konflik.
Penyelesaian konflik, terutama konflik menyangkut kehidupan beragama seperti kasus (a) Sengketa Gereja HKBP Bandung atas penggunaan gedung gereja untuk ibadah; atau (b) Sengketa NU dan Muhammadiyah soal penggunaan Mushala untuk shalat Jum’at di Banyuwangi; atau (c) Keberatan Warga (Muslim dan non-Muslim) terhadap volume Pengeras Suara dari Mesjid di Yogyakarta; atau (d) Penolakan pembangunan gedung gereja di Bekasi; atau (e) MUI/Islam mainstream dan ‘Ajaran/Aliran Sesat’ – semuanya berada pada rentang pilihan mediasi ini. Pilihan metoda mana yang (sebaiknya) diambil untuk masing-masing kasus tersebut?
Code of Conduct bagi Tokoh Agama dalam Resolusi Konflik
Agar supaya kehadiran tokoh agama dalam situasi konflik dapat menjadi pembawa solusi, maka dibutuhkan sejumlah kaidah atau pegangan, agar hasil intervensi tokoh agama itu tidak kontraproduktif. Berikut beberapa point code of conduct[17] dalam proses transformasi konflik. Anda diharapkan dapat melengkapinya dengan nilai-nilai setempat.
A. Mission statement: peace by peaceful means
(1). Tranformasi konflik harus secara konstuktif dan dengan metoda nir-kekerasan.
(2). ................................................................................................................................
(3). ................................................................................................................................
B. The relation between the conflict worker and him/herself
(1). Motivasimu hendaknya membantu para pihak untuk mentransformasi konflik, bukan untuk mempromosikan diri sendiri (!), baik dengan material maupun non-material.
(2). ................................................................................................................................
(3). ................................................................................................................................
C. The relation between the conflict worker and the parties
(1) Jangan masuk ke dalam konflik jika kamu sendiri masih punya konflik yang belum terselesaikan dengan salah satu pihak yang bertikai.
(2). ................................................................................................................................
(3). ................................................................................................................................
D. The relation between the conflict worker and society
(1) Mundurlah dari konflik jika kau tidak lagi diperlukan
(2). ................................................................................................................................
(3). ................................................................................................................................
***



[1] Disampaikan pada pelatihan Civic Education for Religious Leaders (CEFRL) SATUNAMA, Yogyakarta, 1 November 2007. Tidak untuk dipublikasikan ©
[2] David C. Rapoport (1993) “Comparing Militant Fundamentalist Movement and Groups.” In Fundamentalisms and the State: Remaking Politics, Economics, and Militance. Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds. Chicago: University of Chicago Press. 1993:.429-461.
[3] Symbol identifikasi kelompok lainnya adalah ‘Acang’ dan ‘Obet’: Acang (dari nama ‘Hasan’) untuk menyebut seseorang dari komunitas Muslim, dan ‘Obet’ (dari nama ‘Robert’) untuk seseorang dari komunitas Kristen. Nama ‘Acang’ dan ‘Obet’ diambil dari nama dua pelaku utama film pendek yang ditayangkan televisi lokal untuk melukiskan persahabatan dua anak Muslim dan Kristen yang sesunggungnya ‘orang basudara’.
[4] Lihat Meinefeld (1999). ‘Einstellung’ dalam Ansanger & Wenninger Handwörterbuch Psychologie. Beltz - Psychologie Verlags Union, Weinheim. 120-126
[5] Literatur klasik tentang prejudice yang masih tetap aktual hingga saat ini adalah Gordon W. Allport, The Nature of Prejudice unabridged, 25th Anniversary Edition. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. 1992 [1979].
[6] Allport, op.cit. p.14-15.
[7] Mark Juergensmeyer, The New Cold War?: Religious Nationalism Confronts the Secular State (Berkeley: University of California Press, 1993).
[8] Hegemoni politik identitas agama (baca:‘gereja-gereja’) abad pertengahan itu kini menemukan titik balik dengan muncul gerakan oikumene – walau ada pertentangan keras dari sejumlah gereja dan/atau sekte fundamentalis yang mengharamkan oikemene sebagai sesat. Bahkan kardinal Joseph Ratzinger (kini Paus Benediktus XVI) ketika masih menjabat ‘komandan’ Departemen Propaganda Vide di Vatican pernah mengeluarkan dokumen Dominus Iesu yang mendiskualifikasi gereja-gereja di luar Vatican sebagai ‘bukan gereja’ (hanya gereja Katolik yang diakui sebagai gereja yang unam, sanctam dan catholicam) – yang membuat kening para teolog Katolik dan Lutheran penandatangan Deklarasi Augsburg (1984) berkerut.
[9] Dalam sebuah pidatonya di Alexandria, Al-Afghani dengan lantang berseru: “O, para petani yang miskin. Kalian belah perut bumi untuk memperoleh rizki guna menghidupi keluarga kalian. Mengapa tidak kalian belah jantung para penindas kalian? Mengapa tidak kalian belah jantung hati orang-orang yang makan hasil kerja kalian? (Sylvia G. Haim (ed). Arab nationalism: An Anthology, Los Angeles: University of California, 1976: 8).
[10] Untuk tema ethno-nationalisme, lihat, misalnya, Edward Shils, “Nation, Nationality, Nationalism and Civil Society” Nations and Nationalism I, no. I. 1995: 93-118; Clifford Geertz, “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States,” dalam Clifford Geerts, (ed.) Old Societies and New States, New York: Free Press, 1963; Walker Connor, Ethno-nationalism: The Quest of Understanding (Princeton: Princeton University Press, 1994).
[11] Lihat R. Schott Appleby Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation. Lanham, MA: Rowman & Littlefield Publishers, 2000: 62.
[12] Posisi resmi UNESCO dalam kampanye melawan terorisme melalui dunia pendidikan.
[13] Donald L. Horowitz The Deadly Ethnic Riot. Berkeley: University of California Press, Berkeley. Los Angeles. London. 2001: 89ff.
[14] Untuk tema konflik sebagai irrational collective behavior, lihat misalnya Gustave LeBon, 1841-1931. Gustave LeBon, the Man and His Work edited and translated by Wiedener, Alice, Liberty Press, 1979; Robert Park and Ernest W. Burgess. Introduction to the Science of Sociology, 3d ed., rev. and introd. Morris Janovitz. Chicago: University of Chicage Press, 1969 (1921), dikutip dalam James B. Rule Theories of Civil Violence. University of California Press. Berkeley . Los Angeles . London, 1988: 98).
[15] Ajzen, I. ‘Attitude, Traits, and Actions: Dispositional Prediction of behavior in Personality and Social Psychology’ in L. Berkowitz (ed.) Advances in Experimental Social Psychology, (Vol. 20, 1-63). San Diego, CA: Academic Press, 1987; Ajzen, I. ‘The Theory of Planned Behavior’. Organizational Behavior and Human Decision Processes, vol. 50, 1991: 179-221; Ajzen, I. Nature and operation of attitudes. Annual Review of Psychology, vol. 52, 2001: 27-58.
[16] Elias Canetti, Masse und Macht, Ex Libris, Zurich, 1983.
[17] Johan Galtung., Carl G. Jacobsen & Kai Frithjof Brand-Jacobsen, Searching for Peace – The Road to TRANSCEND. New Edition, Pluto Press, London, Sterling, Virginia in association with TRANSCEND: 2002:xxii-xxiii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar