Kamis, 15 Juli 2010

MENJEMBATANI PRO DAN KONTRA UU PORNOGRAFI

Oleh Robert B. Baowollo
 
Polemik UU Pornografi baik sebelum maupun setelah disetujui oleh DPR, (masih) terpusat pada: (a) terminologi ‘porno’ dan ‘yang porno’ yang masih multitafsir; (b) kekuatiran akan ancaman potensial bagi disintegrasi bangsa; dan (c) kriminalisasi perempuan dan anak-anak. Sesungguhnya, ketiga fokus polemik itu berangkat dari satu persoalan induk, yaitu persepsi tentang ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain dalam bentuk pemaksaan sebuah sistem nilai dari sebuah kelompok identitas atas semua kelompok identitas yang lain – sebuah kondisi yang mencederai prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat multikultur. Bagi mereka yang setuju dengan UU Pornografi, fenomena maraknya pornografi di Indonesia dipersepsi sebagai bentuk ancaman nyata dan amat serius terhadap sistem nilai yang dianut kelompok mereka. Ancaman itu mengambil bentuk hegemoni kebudayaan sekuler dari Barat yang liberal atas sistem nilai sebuah masyarakat religius dari Timur yang menjaga norma-norma secara ketat.
Mereka yang menolak UU Pornografi membangun persepsi bahwa di sana ada ancaman potensial dalam UU Pornografi mengambil bentuk hegemoni sebuah sistem nilai dari kelompok masyarakat yang pro-UU Pornografi ke dalam ruang publik dan berpotensi menggusur hingga meniadakan sistem nilai yang sudah ada, termasuk nilai-nilai yang sudah diterima sebagai common ground yang menyanggah kebersamaan dalam keberagaman selama ratusan tahun di negeri ini. Di sana ada pesoalan kecemasan atas hegemoni kelompok yang satu atas kelompok yang lain dalam upaya merebut dan menguasai ruang publik. Di sana pula ada resistensi terhadap upaya hegemoni dan penguasaan ruang publik oleh satu kelompok identitas saja.
Pertanyaannya: bagaimana menjembatani kesenjangan persepsi di antara kelompok-kelompok yang berbeda posisi terhadap UU Pornografi itu, agar substasi dan tujuan UU yang hendak dicapai melalui proses lagislasi ini dapat tercapai tanpa mencederai keberagaman dan kebersamaan kita sebagai bangsa?
Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan upaya dekonstruksi makna yang lebih mendasar yang secara epistemologis mempertanyakan proses konstruksi makna (the construction of meaning) pada level persepsi hingga proses konstruksi (menjadi) pengetahuan (the construction knowledge) pada level konsepsi. Jawaban-jawaban itu berada ‘di bawah’ dan ‘melampaui’ (beneath and beyond) apa yang diperdebatkan di permukaan sekarang ini. Fokusnya bukan lagi apa itu porno atau pornografi, melainkan mengapa suatu keadaan atau obyek dianggap porno atau pornografi. Artinya kita harus berbicara mengenai diskursus porno dan pornografi itu sendiri sebagai epistemologi pengetahuan dan tindakan.
Sumbangan dari pendekatan diskursif ini akan membantu para pihak untuk menemukan kesamaan-kesamaan (commonness) yang juga sesungguhnya ada dalam cara pandang pihak-pihak yang bertentangan, sehingga dengan demikian dapat diperoleh sebuah common ground bagi para pihak yang berbeda untuk mencegah apa yang hendak dicegah oleh UU Pornografi dan menyelamatkan apa yang perlu diselamatkan akibat ekses penerapan UU Pornografi.
Di sini diperlukan ruang untuk saling belajar memahami posisi masing-masing, terutama memahami argumentasi para pihak yang tetap bertahan untuk berbeda prinsip. Memahami argumentasi mengapa para pihak berbeda posisi dan prinsip sangat membantu menghindari konflik yang tidak perlu terjadi akibat ketidaktahuan (ignorance), akibat prasangka (prejudice), dan akibat kebencian (enmity/hostile) yang ditimbulkannya. Pengendalian potensi konflik pada level pembentukan conflict attitude sangat membantu mencegah kerusakan yang lebih parah manakala conflict attitude itu sudah bertransformasi menjadi conflict behavior.

1. Konstruksi Pengetahuan tentang ‘Yang Porno’
Pengetahuan kita tentang pengertian ‘yang porno’ tidak terjadi dalam ruang hampa, bukan juga karena proses permenungan. Sekalipun kamus dan lexikon bisa memberi jawaban instant dalam bentuk definisi atau arti kata, namun kamus dan lexicon hanya menjadi referensi, bukan asal mula berkembangnya ide dan pengertian tentang ‘yang porno’ itu sendiri. Ketika saya mengatakan bahwa sebuah keadaan atau obyek adalah porno, pada saat itu saya mengerahkan semua pengetahuan saya untuk mengatakan bahwa hal itu porno berdasarkan: (a) apa kata orang-orang di sekitar saya tentang ‘yang porno’ atau ‘pornografi’ (rujukan nilai-nilai sosial budaya); (b) apa kata agama saya (rujukan teologis/ideologis); (c) apa kata negara (rujukan hukum positif); (d) apa kata masyarakat umum terkait nilai dan norma universal (rujukan moral dan etika); (e) dan apa persepsi pribadi saya, terlepas dari apa kata orang di sekitar saya (pertimbangan subyektif).
Penolakan terhadap UU Pornografi (atau bagian tertentu dari UU itu) lebih disebabkan oleh persepsi, bahkan sikap apriori, yang terbentuk. Persepsi-persepsi yang terbentuk itu mengatakan bahwa isi dan semangat UU Pornografi hanya merujuk pada (a) nilai-nilai sosial budaya kelompok masyarakat tertentu (dan tidak mewakili pandangan semua kelompok budaya dalam realitas kemajemukan dan tidak merupakan hasil konsensus); (b) norma agama dan ideology tertentu (dan tidak melibatkan, bahkan mengabaikan, norma agama dan ideology kelompok-kelompok lain); (c) sumber hukum di luar hukum positip yang berlaku di negara ini (padahal kita sudah punya sejumlah UU, misalnya KUHAP, yang mampu menangani masalah yang hendak diatur oleh UU Pornografi); (d) nilai-nilai moral dan etika dari sudut pandang agama tertentu (padahal kita sudah punya sejumlah konsensus bersama tentang apa yang baik dan buruk yang juga berlaku secara universal dan sejauh ini berfungsi dengan baik dalam sejarah peradaban umat manusia. Mengapa perlu ada aturan baru dengan embel-embel nilai moral dan etika dari sudut pandang tertentu?); (e) persepsi kelompok tertentu berdasarkan pengalaman sosial keagamaan mereka (padahal saya dan kelompok agama saya berhak mempunyai persepsi dan preferensi sendiri tentang apa yang baik dan tidak baik. Saya sebagai perempuan, misalnya, memiliki otonomi atas diri saya, dan saya tidak pernah menyerahkan privacy saya untuk dikontrol oleh orang lain atau lembaga manapun termasuk lembaga negara!).


2. Pembentukan Diskursus ‘Yang Porno’ dan Hegemony of Single Discursive System

Debat tentang konsep dan/atau pengertian ‘yang porno’ dan ‘pornografi’ dalam UU Pornografi menyentuh dua persoalan fundamental, yaitu masalah pembentukan diskursus (the construction of a discourse) tentang ‘yang porno’ dan masalah hegemoni sebuah sistem diskursif tunggal (hegemony of single discursive system). Yang pertama berbicara tentang pembentukan diskursus ‘yang porno’. Ada pernyataan yang memiliki kebenaran (veritas) dan uji kebenaran (verifikasi) atau uji kesalahan (falsikasi) pada realitas obyek. Misalnya, ‘batu itu keras’, ‘langit itu biru’ atau kuda itu jantan’. Hal ini berbeda dengan pernyataan seperti ‘lukisan itu porno’, ‘tarian itu erotis’, ‘tubuh gadis itu sexy’, etc. Kebenaran dan kualitas kebenaran tentang ‘yang porno’, ‘yang erotis’, dan ‘yang sexy’ tidak sepenuhnya diverifikasi dengan menguji obyek. Persoalannya sederhana: apa yang dianggap porno, erotis dan sexy menurut persepsi si A bisa saja menjadi ‘sangat tidak porno’, ‘sangat tidak erotis’ dan ‘sangat tidak sexy’ alias biasa-biasa saja menurut persepsi orang lain. Artinya di sana ada bias subyektivitas dalam memaknai realitas dan kualitas sebuah obyek.
Peran subyektivitas dalam membangun makna atau memaknai sesuatu (the consruction of meaning) dilakukan dengan mengerahkan semua referensi pengetahuan dan pengalaman subyektif yang dimiliki secara a priori. Bahwa sebuah lukisan dianggap porno(grafi), sebuah tarian atau gerakan dianggap erotis(me), dan seorang gadis dianggap mengeksploitasi daya tarik sexual pada dirinya untuk mengoda orang lain – semuanya merupakan proses pembentukan persepsi dengan mempergunakan parameter nilai-nilai yang dianut kelompok identitas tertentu. Artinya, di balik label porno itu terdapat sebuah system nilai dan ideology dari kelompok identitas tertentu yang mendukungnya. Mereka yang berasal dari kelompok identitas lain biasanya tidak mempunyai persoalan atau ganjalan dengan isi paket sistem nilai yang diusung karena pada dasarnya mereka tidak setuju pornografi dan segala sesuatu yang vulgar di depan umum. Yang jadi persoalan atau ganjalan adalah ‘label’ paket.
Label atau merek bukan sekadar penanda yang netral. Penanda menunjukkan identitas (identity). Simbol-simbol agama yang diselundupkan ke dalam definisi dan terminology pasal-pasal dan ayat-ayat UU Pornografi dipersepsi sebagai simbol kehadiran kelompok identitas tertentu yang hendak memberlakukan dirinya untuk semua. Artinya, UU itu sendiri adalah sebuah bentuk hegemoni identitas. Karena itu perlawanan terhadap UU itu juga mengambil bentuk perlawanan kelompok identitas. Kelompok identitas yang satu melihat potensi ancaman tersubordinasi oleh kelompok yang terus merangsek ke dalam ruang publik untuk membangun dominasi mereka atas kelompok identitas lain. Pada saat yang sama, kelompok yang superior atau menganggap diri superior akan terus berupaya menjaga posisi superior mereka dengan berupaya melestarikan sistem sosial yang asimetris di mana hanya ada satu sistem diskursus yang berlaku. Dengan demikian pembentukan wacana UU Antipornografi telah menjadi tindakan sebuah kelompok identitas untuk menggengam kekuasaan (act of appropriation of power).
Di sini berlaku logik dari the construction of a discourse dan the hegemony of single discursive system. Mari kita ciptakan wacana bahwa UU Pornografi itu baik, sesuai dengan nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Nilai dan norma agama dan masyarakat lain incompatible dengan nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Jika anda setuju maka mari terima UU Pornografi itu. Kalau UU Pornografi sudah disetujui berarti UU itu seterusnya mendukung sistem nilai kita. Ergo: UU Pornografi bukan untuk mengatur pornografi melainkan untuk memberlakukan sistem nilai dan norma agama dan masyarakat kita. Prioritas implementasi lalu bergeser: apakah pornografi akan hilang dengan hadirnya UU Pornografi itu? Itu persoalan kedua! Persoalan pertama dan utama adalah bahwa sistem nilai kelompok pengusung gagasan sudah diterima dan diakomodasi dalam hukum positif dan berlaku sebagai sistem diskursus tunggal untuk semua! Hegemoni kekuasaan!


3. Potensi Konflik: hegemoni membangkitkan prejudice, conflict attitude dan conflict behavior

Potensi konflik dalam UU Pornografi, selain ancaman pluralisme seperti yang sering diangkat ke permukaan, terletak pada kesadaran dan persepsi yang terbentuk tentang potensi ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain. Setiap perlawanan dari kelompok yang dirugikan, dari mereka yang tersubordinasi akibat adanya UU ini, akan dipersepsi oleh mereka yang diuntungkan karena setuju dengan adanya UU ini sebagai perlawanan terhadap kelompok identitas mereka. Setiap kali wacana pro-kontra UU Pornografi dibuka, setiap kali itu pula terjadi proses pengerasan prasangka antarkelompok (prejudice) dan penguatan conflict attitude pada pihak-pihak yang berseberangan, karena masing-masing pihak akan bertahan pada posisi masing-masing. Arena, level dan substansi konflik bergeser dari UU, dari masalah pengertian, dan pro-kontra menjadi segregasi kelompok sosial dan polarisasi kawan-lawan (self-others). Mereka yang tidak tahu dan tidak paham substansi UU ini pun bisa menjadi lawan satu terhadap yang lain karena arena konflik telah bertransformasi dari konflik wacana menjadi konflik (antarkelompok) identitas. Aksi membela atau menentang UU Pornografi berubahan menjadi konflik antarkelompok identitas. Buktinya, orang yang belum pernah membaca pasal-pasal dan ayat-ayat UU Pornografi sakali pun berani maju paling depan dengan wajah paling sangar dalam menghadang mereka yang berbeda posisi dengan kelompok mereka. Orang itu jelas tidak sedang membela isi sebuah UU yang ia tidak kenal tetapi sedang membela kelompok identitas di mana ia berafiliasi.

4. Tradisi Civil Society dan Civic Virtue

UU Antipornografi berambisi terlalu luas untuk mengatur semua hal, baik di ranah negara maupun di ranah masyarakat. Sesungguhnya di sana ada perbedaan makna dan fungsi ‘regulasi’ dalam tradisi civil society dan dalam tradisi civic virtue. Dalam civil society masyarakat lebih merupakan kerumunan individu-individu yang saling berebut kepentingan. Di sana tidak ada komunitas (latin: co-munere à communio = menghuni/berdiam besama-sama). Tidak ada bingkai, jalur, alur, kotak, separator, pagar, yang membatasi individu atau kerumunan individu-individu itu dari bahaya saling mengkooptasi dan saling meniadakan. Untuk itu dibutuhkan regulasi. Regulasi diciptakan untuk mengatur perilaku individu atau kerumunan individu-individu itu karena individu-individu itu tidak mampu mengatur diri mereka sendiri! Tanpa regulasi, seperti UU Pornografi, mereka akan saling memangsa.
Tolok ukur suatu tindakan atau keadaan sebagai baik dan benar dalam tradisi civil society bukan lagi mengacu kepada konsensus sosial yang menjadi tradisi civic virtue (seperti hal mengutamakan nilai-nilai kearifan, tenggang rasa, teposeliro dan sebagainya) melainkan pada ketentuan pasal dan ayat undang-undang atau peraturan formal. Sebaliknya, dalam tradisi civic virtue, rujukan penilaian suatu tindakan atau keadaan sebagai baik atau tidak baik, benar atau salah, terletak pada konsensus masyarakat. Civil society menekankan prinsip legalitas, sementara civic virtue menekankan prinsip legitimasi. Sebuah produk UU yang legal secara hukum (karena melalui proses legislasi secara demokratis) belum tentu juga legitim secara moral dan etika sosial karena minus akseptasi dan apresiasi sosial. Padahal, apa yang disebut sebagai civic virtue, belakangan muncul istilah civic religion untuk hal yang sama, merupakan apa yang oleh Robert Putnam disebut sebagai social capital. Porno dan pornografi itu domain primernya berada di ranah sosial, bukan hukum! Hukum berurusan dengan produksi dan distribusi produk pornografi. Hukum mengatur proses-proses yang berada di luar jangkauan kompetensi masyarakat. Apa yang bisa diatur, dan berada dalam lingkup kompetensi masyarakat, hendaknya diserahkan kepada masyarakat.
Dalam konteks dan latarbelakang pengertian seperti ini: (a) sebaiknya Negara melalui UU ini cukup mengatur ranah legalitas suatu tindakan yang terkait hak-hak sipil setiap warga di ruang publik, sementara (b) masalah moralitas masyarakat dan urusan privat masyarakat sebagai baik atau buruk, pantas atau tidak pantasnya suatu tindakan atau keadaan, hendaknya dikembalikan kepada masyarakat dan/atau melalui otoritas lembaga agama, adat dan sebagainya. Di sana setiap parameter baik dan buruk, pantas atau tidak pantas memiliki konteks sosial yang mengakar; (c) para pihak yang berseberangan, dengan fasilitasi oleh pihak pemerintah, mulai duduk bersama membicarakan dan merumuskan apa saja yang menjadi kesamaan (commonness) dari setiap kelompok identitas yang dapat dijadikan common ground dalam mengatur persoalan pornografi di Indonesia. Hal-hal yang berpotensi menimbulkan friksi hendaknya didekati dengan cara yang lebih bijaksana. Upaya meyakinkan setiap kelompok tentang alasan dan argumentasi yang melandasi perbedaan posisi masing-masing akan bermanfaat dalam menghindari upaya-upaya kelompok garis keras dalam memaksakan kehendak mereka. Politik kooptasi dan hegemoni hanya dapat dicairkan melalui teknik-teknik persuasif, bukan konfrontasi.

Yogyakarta, 28 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar