Tampilkan postingan dengan label PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Mei 2011

INTEGRATIONSPOLITIK UND PÄDAGOGIK DER INTEGRATION - POTRET IMIGRAN DI JERMAN DALAM EMPAT FILM

Oleh Robert B. Baowollo

Dalam rangka Hari Eropa tahun 2011 „Goethe Institut ProgramJogjakarta“ menggelar beberapa film pilihan yang mengangkat kehidupan kaum migran di Jerman, antara lain Befreite Zone (Norbert Baumgarten, 93 menit., 2002), Kebab Connection (Anno Saul, 96 menit, 2005), Ghetto kids (Christian Wagner, 88 menit, 2002) dan Was lebst Du? (Bettina Braun, 84 menit, 2004). Keempat film tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, mulai dari aspek sinemografi sampai masalah politik integrasi (di) Jerman.  Apa saja faktor yang menarik dari keempat film tersebut – dalam konteks kehidupan kaum imigran di Jerman – sehingga perlu diangkat kembali di sini?

Jumat, 28 Januari 2011

MENGAPA MEREKA MEMPROVOKASI MASYARAKAT INDONESIA DI JERMAN?

oleh Robert B. Baowollo

Dalam dua hari ini sejumlah warga Indonesia yang bermukim di Jerman tiba-tiba dihebohkan oleh informasi menyesatkan dari tanah air via email, sms, BB-Messages etc. yang meminta agar warga Indonesia di negeri ini  melakukan aksi ikut memilih untuk membela hak-hak warga Muslim di Jerman. Seruan-seruan membela Islam tersebut didasarkan pada berita media massa Jerman, bahwa seolah-olah Islam dan Umat Muslim di Jerman sedang ditindas. Bahkan seruan tersebut, untuk meyakinkan target groupnya, mengutip kalimat dalam sebuah pooling TV di Jerman pada bulan Oktober 2010 (http://www.tagesschau.de/inland/wulffrede112.html) namun dengan terjemahan yang kelewat dungu atau dengan sengaja didungukan.

Sabtu, 01 Januari 2011

MENINGKATNYA INTOLERANSI DAN OPTIMISME SEMU DI INDONESIA: MELACAK AKAR INTELORENASI DAN KELUMPUHAN NEGARA



oleh Robert B. Baowollo

Pengantar

Isi Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama 2010 yang dikeluarkan oleh The Wahid Institut menjelang penutupan tahun 2010 tentang kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat Indonesia sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Kecenderungan yang sama juga dicatat oleh lembaga-lembaga lain seperti, antara lain, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Intoleransi tidak saja merupakan persepsi dan/atau negative attitude yang tidak bersahabat, penuh prejudice flavour, dan memiliki kualitas enmity yang kental terhadap pihak lain (others), tetapi juga termanifestasi dalam berbagai bentuk tindak kekerasan untuk mengenyahkan semua yang berbeda dalam perspektif mereka. Perbedaan menjadi ancaman, bukan kekayaan dalam konfigurasi sebuah masyarakat majemuk.

Jumat, 01 Oktober 2010

INCLUSIVE CITIZENSHIP: MERUMUSKAN PERTANYAAN PENELITIAN BARU UNTUK SEBUAH PERSOALAN LAMA

oleh Robert B. Baowollo

Pengantar
Dengan mempergunakan pengertian klasik dari Aristoteles tentang kesetaraan kedudukan politik setiap warga negara dalam hal hak dan kewajiban (Bürger als Gleicher unter Gleichen) konsep dasar tentang citizenship yang diajukan oleh T.H. Marshall pada tahun 1949 dengan amat mudah digugat. Meski cara menggugat ini kedengaran sangat naïf, dangkal, dan mungkin agak bodoh, namun perkembangan kajian atas masalah citizenship kemudian mampu menerobos keluar dari domain state dan menemukan contexts dan contents yang lebih luas dan kompleks – semuanya menjelaskan satu fakta bahwa masalah citizenship bukan lagi semata-mata masalah hak dan kewajiban warga negara sebagaimana dimaksudkan Marshall tetapi juga mempersoalkan aspek kesetaraan kewargaan sebagai prinsip dasar demokrasi modern dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Selasa, 20 Juli 2010

MEMBANGUN HABITUS BARU UNTUK KEADABAN PUBLIK

MERUMUSKAN PERTANYAAN BARU UNTUK PERSOALAN LAMA TENTANG CHARACTER AND NATION BUILDING[1]
oleh Robert B. Baowollo[2]


Pendahuluan
Pertanyaan awal: bagaimana mengelola kemajemukan dalam sebuah komunitas multikultural sehingga kemajemukan itu tidak menjadi alasan hegemoni satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tetapi sebaliknya, menjadi inspirasi membangun keadaban publik di atas pengakuan kesetaraan martabat dan peran semua pihak? Dalam rumusan yang lebih sederhana: “bagaimana menciptakan kondisi kehidupan bersama di kota ini, sehingga setiap orang yang menjadi warga kota ini merasa memiliki kota ini. dan oleh karena itu terpanggil untuk melakukan yang terbaik untuk kotanya?

Kamis, 15 Juli 2010

MULTIKULTURALISME DAN POLITIK IDENTITAS PASCA-REFORMASI[1]

Robert B. Baowollo[2]
Pengantar: ’Proyek Indonesia” dan Urgensi Membicarakan Multikulturalisme dan Politik Identitas

Ada tiga alasan utama mengapa kita perlu membicarakan kembali konsep kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia. Pertama, semangat dan komitmen bersama untuk ”menjadi Indonesia” (Anderson, 2002) melalui sebuah proyek nation building – ’Proyek Indonesia’ – untuk membangun dan memperkuat daya dukung serta daya rekat rasa kebangsaan mulai mengendor. Semangat kebangsaan kita sedang mengalami decaying process - yaitu proses pembusukan dan pengeroposan dari dalam melalui tindakan menjarah dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

MENJEMBATANI PRO DAN KONTRA UU PORNOGRAFI

Oleh Robert B. Baowollo
 
Polemik UU Pornografi baik sebelum maupun setelah disetujui oleh DPR, (masih) terpusat pada: (a) terminologi ‘porno’ dan ‘yang porno’ yang masih multitafsir; (b) kekuatiran akan ancaman potensial bagi disintegrasi bangsa; dan (c) kriminalisasi perempuan dan anak-anak. Sesungguhnya, ketiga fokus polemik itu berangkat dari satu persoalan induk, yaitu persepsi tentang ancaman hegemoni kelompok identitas yang satu atas kelompok identitas yang lain dalam bentuk pemaksaan sebuah sistem nilai dari sebuah kelompok identitas atas semua kelompok identitas yang lain – sebuah kondisi yang mencederai prinsip-prinsip pluralisme dalam masyarakat multikultur. Bagi mereka yang setuju dengan UU Pornografi, fenomena maraknya pornografi di Indonesia dipersepsi sebagai bentuk ancaman nyata dan amat serius terhadap sistem nilai yang dianut kelompok mereka. Ancaman itu mengambil bentuk hegemoni kebudayaan sekuler dari Barat yang liberal atas sistem nilai sebuah masyarakat religius dari Timur yang menjaga norma-norma secara ketat.