Jumat, 01 Oktober 2010

INCLUSIVE CITIZENSHIP: MERUMUSKAN PERTANYAAN PENELITIAN BARU UNTUK SEBUAH PERSOALAN LAMA

oleh Robert B. Baowollo

Pengantar
Dengan mempergunakan pengertian klasik dari Aristoteles tentang kesetaraan kedudukan politik setiap warga negara dalam hal hak dan kewajiban (Bürger als Gleicher unter Gleichen) konsep dasar tentang citizenship yang diajukan oleh T.H. Marshall pada tahun 1949 dengan amat mudah digugat. Meski cara menggugat ini kedengaran sangat naïf, dangkal, dan mungkin agak bodoh, namun perkembangan kajian atas masalah citizenship kemudian mampu menerobos keluar dari domain state dan menemukan contexts dan contents yang lebih luas dan kompleks – semuanya menjelaskan satu fakta bahwa masalah citizenship bukan lagi semata-mata masalah hak dan kewajiban warga negara sebagaimana dimaksudkan Marshall tetapi juga mempersoalkan aspek kesetaraan kewargaan sebagai prinsip dasar demokrasi modern dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

          Demikian pula riset atas masalah citizenship, baik itu exlusive citizenship atau inclusive citizenship, tidak dapat lepas dari paradigma citizenship yang dikembangkan oleh para ahli lain di luar ilmu sosiologi dan ketatanegaraan. Di sana tidak saja dipersoalkan political rights (Marshall) tetapi juga social right (Giddens) yang secara ideologis bersebarangan dengan konsep civil citizenship. Dalam ruang publik dimana citizenship tunduk pada aturan civil society yang mengenal adanya sanksi negara, ternyata masih ada civic virtue yang menekankan volunteerism yang tidak terikat dan/atau tunduk pada sanksi negara (Durkheim dan de Tocqueville). Di luar tradisi Marshall dan Durkheimian ini masih ada kelompok Marxis yang mencoba mendamaikan konsep civil society dengan world system theory (Hegel, Marx dan Gramsci). Perbedaan tradisi keilmuan atau mashab citizenship yang satu dari yang lain bersifat paradigmatik. Oleh karena itu penelitian tentang citizenship harus pula memperhatikan kaidah paradigma: orang harus bisa menentukan secara pasti apa subyek matter yang hendak diteliti dan apa research question yang hendak dibangun[1]. Pemahaman atas pergeseran paradigma harus menjadi pemahaman tentang argumentasi perubahan yang dimulai dari rumusan baru tentang apa subject matter dan research question yang baru. Demikian, sebuah penelitian tentang citizenship di Indonesia di masa menjelang dan sesudah kemerdekaan memiliki subject matter dan research question yang berbeda dengan penelitian untuk tema yang sama di awal abad 21, atau dengan penelitian citizenship di daerah perkotaan, di pedesaan, pada masyarakat Bekasi/Jawa Barat atau pada masyarakat Bali, pada masyarakat Kali Code Yogyakarta, atau pada masyarakat penghuni komplek perumahan Kepala Gading Jakarta Utara.


Urgensi studi kasus inclusive citizenship di Indonesia

Dalam sebuah negara multikultur, seperti halnya Indonesia, kajian tentang inclusive citizenship tidak saja relevan, penting dan mendesak, tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan. Sebuah masyarakat multi-etnis dan multi-agama – dua kategori identitas yang paling rawan konflik – merupakan medan pertarungan bebas dan terbuka bagi politik hegemoni, dominasi dan subordinasi hingga penyangkalan dan penghapusan eksistensi kelompok-kelompok identitas yang lebih lemah. Pengakuan kesetaraan kedudukan setiap warga negara sesuai konstitusi ternyata menyimpan berbagai potensi penyimpangan pada wilayah non-state dan lapis-lapis sosial di bawahnya. Suatu klaim kewargaan inklusif dengan merujukan pada negara (state) saja tidak serta merta mengatasi persoalan ekslusifisme kewargaan di tingkat sosial (social citizenship) seperti masalah kewargaan berdasarkan identitas etnis dan agama atau gender, pendatang atau penduduk asli, dan sebagainya; juga tidak serta-merta akur dan inklusif dengan klaim identitas global ketika kita berbicara mengenai masalah ekologi dan human rights sebagai bagian dari hak dan tanggungjawab umat manusia.

         Di satu sisi negara berkepentingan untuk memajukan identitas kewargaan yang bersifat inklusif, namun di sisi lain negara masih terus membiarkan proses penguatan identitas ekslusif dengan memberi toleransi dan/atau pembiaran terhadap aksi kelompok-kelompok yang anti-pularisme, atau terhadap produk-produk peraturan dan undang-undang yang diskriminatif[2]. Selain pemerintah, masyarakat juga memelihara dan mengembangkan perlakuan diskriminatif (baca: membenarkan ekslusifisme) dengan menolak kehadiran kelompok agama dan/atau suku/etnis lain di wilayah pemukiman mereka. Perlakuan diskriminatif lainnya terhadap warga juga didasarkan pada cara pandang moral yang sempit dan sepihak seperti: pencantuman status anak haram dalam akta kelahiran bagi anak yang lahir di luar nikah[3] atau keinginan pejabat daerah untuk mencantumkan status anak haram dalam buku laporan hasil pendidikan di sekolah[4].

         Beberapa kelompok masyarakat yang memiliki kepercayaan/keyakinan yang berbeda dengan agama-agama mayoritas ‘yang diakui’ mengalami kesulitan administrasi dalam memperoleh hak-hak sipil mereka, dan dalam kasus tertentu mereka dipaksa untuk menulis salah satu agama formal yang ada pada kolom agama di atas KTP mereka. Contoh cara pandang dan praksis kewargaan ekslusif yang korosif ini bisa diperluas hingga ke masalah penolakan kelompok-kelompok masyarakat dengan orientasi seksualitas yang menyimpang (gay, lesbian, dan sebagainya), juga kelompok aliran agama yang dianggap sesat, serta mereka yang berideologi lain di luar ideologi negara atau bahkan terhadap orang yang tidak menganut ideologi apa pun.

          Sejak T.H. Marshall pada tahun 1949 mengajukan konsepnya tentang citizenship – sebuah konsep yang kemudian dianggap sebagai teori sosiologi pertama tentang citizenship dengan fokus utama pada masalah hak (rights) dan kewajiban (obligations) –, konsep itu tidak saja terus mendapat tanggapan, dukungan dan kritik, tetapi juga merambah keluar menjadi kajian disiplin ilmu-ilmu lain di luar sosiologi. Negara, warga negara, serta hak dan kewajiban warga negara – semuanya bukan lagi sebuah rangkaian konsep tunggal yang baku dan universal. Di sana ada persoalan lain menyangkut konteks (context) dan muatan (content) dari konsep citizenship.

          Demikian pula halnya dengan kajian inclusive citizenship: tipologi yang dibangun untuk mengklasifikasi negara mana saja di dunia ini yang dapat dikategorikan sebagai negara yang menganut exclusive citizenship atau inclusive citizenship terus mendapat perhatian, terutama pada level mikro. Pada negara-negara yang secara makro diasumsikan sebagai negara dengan pola inclusive citizenship ternyata pada level mikro terdapat ekslusifisme kewargaan dengan varian-varian yang mengejutkan, terutama terkait politik identitas dan pertanyaan dasar “ke mana klaim citizenship itu berjangkar”.

         Pertanyaan kritis seperti ini menjadi penting dalam penelitian inclusive citizenship mengingat struktur dan lapisan sebuah masyarakat tidak saja multi level – yang kadang tersegregasi secara tegas dan rigid dan dapat diamati secara transparan – tetapi juga memiliki kemampuan kultural yang laten untuk menyembunyikan sekat-sekat ekslusivitas itu. Berbagai konflik horizontal di negeri ini, baik itu konflik agama atau etnis (dua jenis identitas yang paling rawan konflik), maupun konflik antar komunitas kategorial (baik dalam pengertian yang sebenarnya maupun sebagai quasi konflik kelas) atau konflik antar komunitas teritorial (antar-kampung, antar-pulau dan sebagainya), semuanya menunjukkan fenomena yang sama, yaitu bahwa klaim inclusive citizenship yang mengambil jangkar negara kesatuan sebagai referensi kewargaan, misalnya, tidak sepenuhnya benar, rapuh dan amat ambigu. Oleh karena itu pertanyaan penelitian (research questions) dalam studi inclusive citizenship harus mampu membebaskan diri dari doktrin klasik citizenship – yang semata-mata mengangkat persoalan hubungan negara dan warga negara dalam terma rights dan obligations warga negara – untuk mengeksplorasi berbagai aspek kewargaan yang ditawarkan oleh disiplin ilmu lain.

         Merumuskan pertanyaan penelitian baru untuk inclusive citizenship mengandaikan adanya perubahan paradigma pada konsep citizenship itu sendiri. Banyak kebijakan publik yang diklaim berbasis warga (community based) justru tidak memiliki kohesi sosial dengan basis kemasyarakatan – semata-mata karena konsep-konsep dengan label community based itu merupakan konsep-konsep impor yang diadopsi tanpa proses adaptasi[5].

Hidden Scripts: Ketidaksetaraan yang Dipelihara

Inclusive citizenship mengandaikan adanya pengakuan kesetaraan. Begitu ada klaim privilege kelompok tertentu maka gugurlah kriteria kewargaan inklusif itu. Realitas sosial dan konteks kultural sering hanya menampilkan inklusifitas dan persepsi kesetaraan semu. James C. Scott (1990) menemukan dalam kultur masyarakat Melayu apa yang ia sebut sebagai hidden scripts[6], yaitu bahwa masyarakat Melayu cenderung memelihara ketidaksetaraan sosial sebagai bagian dari nilai-nilai kultural mereka[7]. “[...] it seemed that the poor sang one tune when they were in the presence of the rich and another tune when they were among the poor. The rich too spoke one way to the poor and another among themselves” (Scott, 1990: ix).

          Pengamatan Scott ini terkait dengan studi tentang segregasi sosio-kultural dan dominasi satu kelompok sosial atas kelompok sosial yang lain, yang bermakna adanya pengakuan ekslusivisme dalam penghayatan kewargaan di satu sisi, dan keinginan untuk tampil sebagai masyarakat inklusif, egalitarian dan demokratis di sisi lain. Semiotika kiranya merupakan alat yang pas untuk menggali makna the hidden scripts di balik apa yang terucap dan dilakoni[8]. Di satu sisi ada keinginan atau kehendak pada kedua belah pihak (kelompok superior dan subordinan) – setidaknya seperti yang terucap di ruang publik – untuk berubah menjadi inklusif, dan bahwa mereka setara, tidak berbeda, dan benar-benar manunggal, sementara di sisi lain ada mekanisme untuk mempertahankan status quo alias masing-masing pihak tetap berjarak dan eklsusif, sehingga orang dapat mengambil kesimpulan bahwa exclusive citizenship pada masyarakat Jawa, misalnya, merupakan model relasi sosial yang tidak setara – suatu realitas ketidaksetaraan yang bersifat given dan dikehendaki (intended inequality). “[…].structurally forms of domination will bear a family resemblance to one another (Scott, 1990: x.) “[…] slaves and serfs ordinarily dare not contest the term of their subordination openly. Behind the scenes, though, they are likely to create and defend a social space in which offstage dissent to the official transcript of power relation maybe voiced” (Scott, 1990: xi)[9].

          Tentu saja dalam konteks ini Scott adalah seorang outsider yang terheran-heran mengamati apa yang disebutnya sebagai hidden scripts di atas pentas kekuasaan Melayu. Kultur masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, yang amat menjaga jarak kekuasaan dan toleransi terhadap ketidakpastian - atau meminjam istilah Geert Hofstede (1982, 1991): power distance dan uncertainty avoidance[10] – menyimpan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang amat mendasar dan menantang untuk mengetahui alasan dan konteks “fugitive political conduct of subordinate groups[11] yang sesungguhnya. Dengan demikian orang tidak terjebak mencari jawaban gampang atas masalah ketidaksetaraan dengan menuding kolonialisme (baca: menunjuk batang hidung para Meneer kolonial dan/atau para penguasa pribumi feodal di masa lampau) atau karakter kekuasaan otoritarian Orde Baru sebagai scape goat.

         Dalam konteks penelitian inclusive citizenship menyangkut pola relasi warga negara dengan penguasa, pernyataan Scott berikut ini menjadi penting untuk mengungkap the hidden transcripts yang ‘memelihara’ ketidak-setaraan dan bentuk-bentuk exclusive citizenship: “[…] every subordinate group creates, out of its ordeal, a hidden transcript that represent a critique of power behind the back of the dominant. The powerful, for their part, also develop a hidden transcript representing the practices and claims of their rule that cannot be openly avowed.” (Scott, 1990: xii).

         Pintu yang dibuka oleh Scott dapat dipakai untuk memasuki ruang penelitian masalah citizenship dengan merumuskan obyek dan pertanyaan penelitian yang lebih kontekstual, baik pada level mikro maupun (terutama!) pada level makro, seperti, misalnya, masalah inkompatibilitas pola komunikasi politik sebagai persoalan berbedaan kultur komunikasi[12]. Pertanyaan penelitian yang menarik bukan lagi menyangkut deskripsi perbedaan karakteristik dan pola kultur komunikasi pada kelompok-kelompok etnis yang bebeda itu, melainkan pada hidden scripts di mana orang ‘menyembunyikan’ gaya komunikasi politik mereka yang sebenarnya dan bermain dengan bahasa politik dari kultur dominan, seolah-olah di sana tidak ada persoalan inkompatibilitas budaya komunikasi di antara mereka. Demikian pula muncul generasi baru cendekiawan dan politisi dari lingkar budaya Jawa, misalnya, yang sangat cerdas, kritis dan telah mengalami pencerahan, yang berani melanggar (baca: mendobrak) pakem tatakrama komunikasi sosial dan politik (juga ilmiah) di ruang publik yang cenderung feodal dan tidak produktif hingga membuat para pemangku-budaya menjadi tercengang-cengang merasa tertampar lalu diam. Tetapi anak-anak muda yang sama akan kembali memeluk pakem komunikasi kultural mereka manakala mereka sudah berada di ruang privat dari mana mereka berasal.

Konsep Citizenship: Konsensus dan Dissensus

 Seperti telah disebutkan sebelumnya, studi tentang citizenship telah melewati berbagai ruang, waktu dan tradisi keilmuan. Namun demikian, belum ada kesepakaan tentang definisi citizenship. Sebuah tinjauan yang sangat padat dan komprehensif, misalnya, dilakukan oleh Thomas Janoski (1998) membahas masalah citizenship sebagai satu paket dengan tema besar lainnya, yaitu civil society[13] - namun Janoski sangat menekankan pembahasannya pada masalah rights dan obligations secara sangat teoretis sehingga terasa sangat (mem)berat(kan) bagi pembaca, khususnya pembaca yang tidak memiliki kepentingan keilmuan untuk mendalami kompleksitas hubungan hak dan kewajiban sebagai sebuah persoalan expertise spesifik. Sebaliknya, karya Oommen (1997)[14] dan Tilly (1996)[15] kiranya memadai untuk tahap awal dalam studi tentang inclusive citizenship.

          Tilly mencoba melakukan sistematisasi konsep citizenship sebagai bagian dari persoalan (baca: politik) identitas dengan rujukan pada faktor-faktor berikut yang saling berinteraksi: actor, category, transaction, tie, role, network, group, organization, dan identity. Tilly lalu menyimpulkan bawa citizenship dapat merujuk pada sebuah kategori (category), pada sebuah ikatan (tie), pada sebuah peran (role), atau pada sebuah identitas (identity) yang dibangun di atas salah satu dari faktor-faktor tersebut. Sebagai sebuah category, citizenship merujuk pada sekelompok actors – yaitu warga atau citizens sebagai sebuah kelompok kolektif – yang ditandai oleh adanya shared privileged position yang membedakan mereka dari ikatan (ties) kolektif lainnya. Sebagai sebuah ikatan (paguyuban, kelompok), citizenship menandai adanya sebuah enforceable mutual relation antara sesama aktor (sebagai anggota) dan hubungan mereka dengan sebuah negara partikular. Sebagai identity, citizenship dapat merujuk pada pengalaman dan representasi publik dari sebuah kategori, ikatan atau peran[16].


          Memang Marshall (1950) sejak awal membangun postulat tentang adanya sebuah perkembangan dalam konsep citizenship, mulai dari civic citizenship kemudian menjadi political citizenship dan akhirnya menjadi social citizenship[17]. Cara pandang klasik dari Marshall ini memperlakukan citizenship sebagai a set of rights – yaitu a special tie with enforcement built in – yang menghubungkan negara dengan semua warga lainnya. Lipset (1960) menggugat konsep ini dan mengajukan sebuah definisi citizenship yang bersifat kategorial sebagai “those people who are included in a given state’s circle of a full political participation[18].

         Walaupun tidak ada konsensus tentang sebuah definisi standar mengenai apa itu citizenship, namun setidaknya di antara para ilmuwan terdapat konsensus bahwa definisi citizenship merujuk pada sejumlah bentuk ikatan (ties), yaitu sebagai “a continuing series of transactions between persons and agents of a given state in which each has enforceable rights and obligations uniquely by virtue of (1) the person’s membership in an exclusive category, the native born plus the naturalized and (2) the agent’s relation to the state rather than any other authority the agent may enjoy “(Tilly (1996: 8). Jadi di sana ada semacam kontrak khusus.

Exclusive and Inclusive Citizenship

Pertanyaan tentang apakah sebuah negara menganut exclusive citizenship atau inclusive citizenship tergantung pada apa rujukan basis ikatan yang dipakai dalam mendefimnisikan citizenship. Oleh karena ikatan-ikatan kebangsaan (nation dan nationhood) yang membentuk kebangsaan (nationalitiy) ada mendahului terbentuknya negara (state) maka negara yang terbentuk kemudian itu cenderung memilih untuk memasukkan atau tidak memasukkan seseorang atau sekelompok orang sebagai warga negara (citizens) atau bukan warga negara (non-citizens) dengan merujuk pada basis-basis kewargaan yang sudah ada: entah itu ikatan etnis, agama, teritorial-geografis, atau kombinasi dari bentuk-bentuk ikatan itu. Dengan demikian pola kewargaan yang diberlakukan sebuah negara pun cenderung mengadopsi bentuk-bentuk ikatan kewargaan yang sudah ada.

          Mengingat cara-cara yang dipakai dalam mengklasifikasi seseorang atau sekelompok orang sebagai warga negara atau bukan warga negara berdasarkan basis etnisitas (dan afiliasi agama) dan basis kebangsaan (nationality) maka konsep citizenship juga sejak awal sudah terjebak pada ‘prasangka sosio-anthropologis’: membatasi (baca: mendefinisikan) kewargaan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan shared origins, culture and social relations[19]. Padahal sejarah citizenship justru menunjukkan bahwa ada sekelompok masyarakat yang tidak dianggap sebagai warga berdasarkan kategori property ownership (status sosial-ekonomi), diskriminasi gender (perempuan dan anak-anak), profesi dan organisasi profesi, hingga pandangan ideology, dan lain sebagainya.

          Rogers Brubaker (1992), misalnya, mengembangkan konsep citizenship dan jus solis untuk menentukan kewarganegaan seseorang berdasarkan prinsip asal-usul (jus sanguinis) dan prinsip tempat tinggal (jus solis) dengan merujuk pada model kewaranegaraan Jerman abad kesembilan belas yang dibuktikan oleh sertifikat kewarganegaraan sebagai kualifikasi mendapatkan pengakuaan citizenship Jerman[20]. Model sertifikat kewargaan ini menjadi inspirasi bagi sejumlah negara post-colonial di kawasan Sub-Sahara Afrika. Rivalitas antar kelompok etnis yang tinggi dan menguatnya isu putra daerah, seperti pada kasus Nigeria, menyebabkan pemerintah sejumlah negara bagian mengeluarkan ketentuan penerbitan sertifikat etnis untuk menyatakan apakah seseorang adalah warga asli suku tertentu (Hausa-Fulani, Igbo, Yoruba, atau kelompok etnis minoritas lainnya) – sebuah kebijakan yang bermasalah dan rawan manipulasi sehingga kemudian dianulir.

          Demikian pula, pasca runtuhnya rejim represif Orde Baru di Indonesia fenomena ‘sertifikasi kewargaan’ ini mencuat menjadi isu politik identitas yang langsung menggugat dan menusuk ke jantung paham konsep kebangsaan Indonesia dan karakter inclusive citizenship seperti bunyi Sila ke-3 Pancasila dan amanat Sumpah Pemuda 1928. Jargon ‘putra daerah’ dan penafsiran subyektif penguasa lokal atas konsep ‘otonomi khusus’ telah membuka ruang dan peluang bagi politik exclusive citizenship dalam bentuk penerbitan peraturan daerah (Perda) partisan dan sektarian yang mengakomodasi kepentingan sebagian warga masyarakat dan mengabaikan yang lain.

          Pada wilayah inilah sesungguhnya terdapat persoalan penelitian yang jauh lebih menantang dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lebih tajam dan menukik dengan substansi yang lebih aktual dan kontekstual dan memiliki tingkat relevansi yang tinggi. Angan-angan untuk menggarap obyek penelitian pada level makro dengan tema-tema besar dan dengan ambisi untuk menjawab semua pertanyaan tentang semua hal kiranya bukan lagi merupakan pilihan dan tradisi riset yang menjanjikan. Penelitian pada level mikro dengan pertanyaan penelitian untuk masalah dan konteks partikular kiranya lebih mudah menghasilkan jawaban-jawaban penelitian yang berkualitas dan lebih substansial dan dapat menyumbang bagi perbaikan pertanyaan penelitian yang lebih baik untuk permasalahan yang sama.

          Secara tradisi konsepsi negara tentang hubungan antara etnisitas dengan kebangsaan (nasionality) dan kewargaan (citizenship) mengambil bentuk bervariasi antara rentang dua kutub klasifikasi kewargaan: (1) primordial exclusive citizenship (Israel) dan learned exclusive citizenship (Prancis), dan (2) primordial inclusive citizenship (Kesultanan Ottoman-Turki) dan learned inclusive citizenship (USA). Kemana Indonesia harus dikelompokkan? Ini merupakan sebuah pertanyaan besar karena hal menjadi Indonesia masih terus berlangsung dalam sebuah proses dialektis. Di sana ada pertarungan antara konsep kebangsaan dalam bingkai NKRI dengan penguatan identitas kelompok yang mempecundangi komitmen kebangsaan. Proses takluk-menaklukkan akan terus terjadi dalam proses-proses dialektis yang sangat dinamis. Dalam perspektif ini terbuka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang sangat menantang: Mampukah identitas keagamaan atau identitas etnis menggiring konsensus kebangsaan tentang hakekat citizenship Indonesia dari ‘inclusive citizenship’ ke arah exclusive citizenshipme? Hal yang sama berlaku juga sebaliknya: mampukah konsensus kebangsaan menaklukkan identitas ekslusif berbasis agama dan etnisitas dalam rangka membentuk identitas keindonesiaan yang inklusif? Bagaimana caranya? Jika hal itu mungkin, bagaimana menjelaskan indenttas keindonesiaan inklusif yang abstrak itu? Apakah itu sebuah identitas artifisial?

          Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi relevan mengingat sebuah konsepsi dan penghayatan kewargaan yang inklusif mengandaikan adanya proses pembentukan identitas yang teruji dan ‘tahan banting’ yang memiliki jangkar tradisi, hukum adat, dan sejarah yang panjang. Orang tidak mungkin dirubah dalam semalam untuk tidak menjadi Hindi, Indonesia, Arab atau Eropa.

          Selain faktor kinship, keturunan, cultural attachment dan posisi angkatan kerja, ikatan dengan bekas koloni, aliran sekte keagamaan, partai politik dan organisasi militer nampaknya mempunyai andil dalam menerima atau menolak kewargaan seseorang[21]. Solidaritas berdasarkan kesamaan agama untuk penentuan kewargaan, pada umumnya sudah kehilangan legal standing-nya sebagai basis pembedaan kewargaan di Eropa sejak meluasnya paham citizenship modern[22].

          Bagaimana dengan Indonesia? Memang, semakin jarang orang memasukkan faktor perbedaan agama secara resmi ke dalam definisi citizenship. Hanya negara Israel yang memasukkan definisi agama sebagai bagian integral identitas citizenship warga negaranya[23]. Model kewargaan inklusif Israel seperti ini tentu memicu kekuatiran. Tilly misalnya mengingatkan: “If they have their way, however, Islamic fundamentalists will bring many more countries back into that ancient fold” (Tilly, 1996: 11). Apa yang dikuatirkan Tilly sebenarnya sedang terjadi di Indonesia, Asia Selatan, dan Afrika sejalan dengan munculnya kelompok-kelompok ideologis yang memperjuangkan pembentukan negara-agama berbasis solidaritas internasional.

Klarifiklasi Konsep Citizenship

T.K. Oommen (1997) dalam bukunya Citizenship, Nationality and Ethnicity: Reconciling Competing Identities[24] mencoba keluar dari pakem negara (state) dan memeriksa paham kewargaan dalam realitas sosial yang lebih mengakar. Oomen dalam membedah masalah citizenship dalam masyarakat multikultur menyebut adanya tiga jenis civil legal systems yang terkait dengan pengakuan kewargaan, bekerja pada level dan konteks yang berbeda tapi sama-sama ko-eksis. Ada state legal system (SLS) yang menerapkan keseragaman terhadap semua warga. Namun jika penduduk sebuah negara dibentuk dari berbagai keyakinan keagamaan, dan jika negara belum dapat mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah uniform civil code, maka akan terdapat beberapa religious legal system (RLS) secara simultan. Indonesia memiliki banyak tradisi dan hukum adat yang mengatur status kewargaan dan penerimaan seseorang dari luar menjadi warga sebuah suku/marga tertentu. Inilah yang oleh Oomen disebut folk legal systems (FLS) – sebuah sistem yang lebih tua dari sistem yang dibuat oleh negara dan mendapat pengakuan dari negara.[25]
 
          Jika dalam suatu negara terdapat ‘second-class citizens’ atau bahkan ada anggota masyaralat yang tidak diakui sebagai warga (non-citizens) maka semuanya itu adalah produk dari kebijakan negara, bukan kesalahan para korban yang ditolak kewargaan mereka. Dewasa ini pertarungan untuk universal citizenship terus berlangsung dan ditandai oleh adanya progressive inclusion of new categories – yaitu: perempuan, kelompok masyarakat kelas bawah, dan anak-anak[26]. Posisi Oomen ini mendobrak sekaligus konsep klasik tentang citizenship yang hanya memperhitungkan property owners sebagai pemilik suara sah dalam ranah politik, juga tidak menganggap perempuan, anak-anak dan budak sebagai citizens karena mereka semata-mata memiliki status sebagai properties milik sang majikan yang diakui sebagai citizen.

          Perluasan cakupan kajian citizenship bahkan meliputi global and ecological citizenship[27]: Van Steenbergen (1994: 141-52) mengelaborasi pembahasan tentang ecological citizenship dan menyebut tiga pendekatan terhadap ecological citizenship: pertama pendekatan yang ditandai oleh meningkatnya inclusion sebagai sebuah fenomena positip; kedua, perlunya membuat spesifikasi unit di mana citizenship itu berjangkar; dan ketiga, perlunya membuat spesifikasi content of citizenship.

          Peningkatan inclusion sebagai sebuah fenomena positif tetap menuntut kewaspadaan penuh untuk memperhatikan masalah inclusion dan exclusion terkait hak (rights) dan kewajiban (duties) warga[28]. Basis atau jangkar citizenship bisa berupa negara (state). Negara adalah sebuah territorial entity with a legal base. Jika territorial base sebuah negara berubah, maka komposisi citizens-nya pun ikut berubah. Demikian, seorang warga negara (citizen) India pada suatu saat berubah menjadi warga negara Pakistan dan kemudian berubah lagi menjadi warga Negara Bangladesh sejalan dengan pemisahan dan pembagian negara-negara itu. Dalam konteks ini orang bisa mengganti status citizenship mereka tetapi mereka tidak dapat mengganti identitas kebangsaan maupun identitas etnis mereka[29].Sebaliknya negara mungkin bisa menolak kewargaan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan identitas kebangsaan atau etnis mereka. Namun negara tidak mudah menghapus identitas kebangsaan atau identitas etnis. Dalam hal ini negara hanya dapat secara instan menganugerahkan kewargaan (citizenship) seseorang atau sekelompok orang[30].

          Menyangkut perlunya membuat spesifikasi content of citizenship. Ralph Dahrendorf (1994) menekankan faktor entitlement[31], sementara ‘lawan-lawannya’, seperti misalnya Lawrence Mead (1986) lebih menekankan faktor obligation. Perbedaan cara pandang ini tidak saja mencerminkan posisi keilmuan mereka masing-masing tetapi juga mengungkapkan latar belakang setting sosial yang membentuk pengalaman historis-empiris masing-masing kubu. Dahrendorf adalah sosiolog papan atas kelahiran Jerman yang berpindah menjadi warga negara Inggris dan mendapat anugerah sebagai warga kehormatan dengan gelar ‘Sir’. Latar belakang negara kesejahteraan dan ‘doktrin’ Sozial-Markwirtschaft warisan Kerajaan Prusia membuat Dahrendorf tampil sebagai pembela konsep kewargaan dengan penakanan pada entitlemen.

          Menurut Dahrendorf, politik modern berurusan dengan dua tema pokok, yaitu: provisions yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perluasan rentang pilihan, dan entitlements yang berkaitan dengan masalah akses untuk mendapatkan hak-hak dan peluang-peluang yang tersedia bagi warga. Dahrendorf berpendapat bahwa citizenship adalah sebuah status yang seharusnya diberikan kepada setiap individu tanpa memandang nilai kontribusinya terhadap ekonomi (negara) karena citizenship adalah sebuah non-economic concept[32].

          Pandangan sebaliknya, seperti yang diwakili oleh Lawrence Mead (1986), mencela gagasan unconditional entitlements sebagai sebuah sure invitation to bulge the rank of ‘free riders’ dan oleh karena itu hanya mereka yang membayar pajak kepada penguasa lokal saja yang dapat dianggap sebagai citizens yang boleh ikut pemilih (Inggris) dan mereka yang memperoleh welfare benefits harus mau bekerja. Dengan demikian kubu Mead menentang gagasan welfare dan menganjurkan workfare (USA). Kelemahan dasar konsep ini ialah bahwa penekanan kewajiban (obligations) warga negara bahkan sampai mengorbankan entitlements[33].

Dilema Konsep Citizenship pada Tataran Praksis: Civil Citizenship atau Social Citizenship?

Konsep civil rights menurut Marshall’s (1965) yang terdiri dari kebebasan sebagai person (liberty of person), kebebasan bersuara, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk memiliki harta-benda (right to own property), hak untuk menandatangani kontrak yang valid dan hak untuk mendapat keadilan – semuanya secara implisit mengisyaratkan adanya political rights dan social rights. Political rights terutama menyangkut hak untuk berusaha dan hak untuk memperoleh akses ke dalam instansi publik. Social right, yang sebenarnya berisi masalah ekonomi[34], terdiri dari hak untuk menikmarti kesejahteraan ekonomi pada tingkat tertentu dan hak atas jaminan sosial, hak mendapatkan warisan sosial dan hak atas kehidupan yang beradab sesuai dengan standar yang berlaku dalam masyarakat[35]. Masyarakat Amerika lebih suka berbicara mengenai civil citizenship ketimbang social citizenship karena bagi mereka rights and entitlements sudah melekat dalam sebuah kontrak dan bukan merupakan sebuah charity yang terbungkus dalam institutional welfare benefits[36].

          Perbedaan mendasar konsep dan konteks debat antara civil citizenship dan social citizenship menukik (atau tepatnya membongkar) filosofi hidup masyarakat Amerika. Mereka mengutuk welfare dan mengagungkan workfare, mencela public domain dan mengagungkan ruang privat. Civil citizenship dihargai setinggi langit. Pahlawan civil society yang diciptakan oleh civil rights adalah para property-owning-individuals. Civil society lalu ditandai oleh ‘possessive individualism’. Oleh karena civil society dimiliki (baca: dikuasai) oleh individualisme, maka adalah sangat sulit untuk membebaskan tubuh (civil society) dari rohnya (individualism)[37].

          Oomen menyebut hal ini sebagai perampokan atas contractual character of social citizenship[38] dengan meninggalkan dampak serius pada praksis relasi sosial antarwarga dan antara negara dengan warganya menyangkut masalah sosial: pertama, para penerima jasa sosial (beneficiaries) dipandang semata-mata sebagai recipient of charity without entitlements. Cara pandang ini tentu saja merendahkan sebagian warga negara dan dengan demikian mengukuhkan realitas segregasi sosial dan ketidaksetaraan yang sudah ada; kedua, para pemberi charity termasuk negara sekalipun menganggap diri memiliki superior atas yang lain, merasa lebih bermoral dibanding mereka yang lain, walau mereka tidak pernah bersentuhan langsung dan merasakan realitas hidup mereka yang menjadi resipien bantuan mereka; ketiga, antara giver dan receiver tedapat relasi yang asing dan anonym sehingga pihak receiver sebagai warga tidak dapat menuntut hak-haknya termasuk charity sekalipun terkecuali mengharapkan belas kasihan – sebuah relasi sosial yang jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Orang Amerika memiliki pemahaman dominan tentang civil citizenship yang dipengaruhi oleh pengertian ‘contract’ and ‘independence’ sementara social provision dikonstruksikan sebagai berkonotasi ‘charity’ and ‘dependence’ dan karena itu dianggap buruk[39].

Penutup dan Kesimpulan

Sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Janoski (1998), ada tiga persoalan utama yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan mengenai teori citizenship: pertama, masalah kajian tentang right and obligation sejauh ini belum cukup mendasar; kedua, masih diabaikannya prinsip keseimbangan dalam membahas rights and obligations; ketiga, perkembangan hak dan kewajiban citizenship perlu diformulasikan (kembali) baik pada level makro mapun mikro.
          Konsep citizenship menurut Thomas H. Marshall membedakan citizenship rights – yaitu legal, political, and social rights – dalam sebuah developmental order dan menyeimbangkan hak-hak itu dengan citizenship obligations – yaitu kewajiban membayar pajak, dinas militer, dan mengabdi kepada bangsa. Konsep Marshall tentang citizenship rights muncul sebagai akibat dari konflik di antara kapitalisme dan tuntutan akan kesetaraan (equality) yang terkait dengan pasar dan politik[40]. Sebaliknya teori-teori Durkheimian mencoba mengangkat masalah civic virtue dan mengklaim volunteerism dan civic virtues sebagai komponen utama civil society. Perbedaan dasar konsep Marshall dengan Durkheim dan de Tocqueville terletak pada jarak kekuasan (power distance) dengan negara. Sebaliknya kelompok teori Marxists, terutama dari Hegel dan Marx dan dipertajam oleh Gramsci, mencoba merumuskan teori tentang civil society dalam rangka melindungi warga dari state abuses dan ketamakan pasar. Upaya menjembatani perbedaan antara pendekatan citizenship yang state-centered (Marshall) dengan pendekatan citizenship yang society-centered civic virtue (Durkheimian) dilakukan oleh kubu Marxian, antara lain oleh Jürgen Habermas, untuk memperbaiki komunikasi yang demokratis di ruang publik selain usaha-usaha yang berpusat pada dan melalui complex democracy dan social movements[41].

         Bagaimana pun juga, proses untuk mendapatkan pengakuan citizenship seringkali membutuhkan apa yang dinamakan acts of allegiance to the nation-state seperti ikrar sumpah setia kepada sebuah negara. Pernyataan kesetiaan kepada sebuah negara demi mendapatkan pengakuan kewargaan ini pun sering disertai dengan tuntutan untuk menyangkal, menolak atau mengabaikan keanggotan kultural atau kebangsaan (nasional) seseorang di masa lampau. Bryan Turner (1990) meringkas pernyataan Anthony Smith atas issu penyangkalan kewargaan asal ini dengan amat baik: “the creation of citizenship within the gesellschaft-like political space of the modern state may well require subordination, or even eradication, of gemeinschaft-like membership within an ethnic primary group[42].

          Dewasa ini, tantangan dan tuntutan bagi penelitian masalah inclusive citizenship yang kontekstual semakin nyata. Hasil survey jangka panjang yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2001-2010 menunjukkan gejala menguatnya ekslusivisme yang memprihatinkan: “derajat toleransi di kalangan muslim Indonesia rendah, sebaliknya kekuatan Islamisme atau fundamentalisme Islam cenderung meningkat. Hal itu terlihat dari meningkatnya keberatan terhadap non-Muslim menjadi guru di sekolah umum dan penolakan pembangunan rumah ibadah non-Muslim. Hasil survei keberatan masyarakat jika non-Muslim membangun rumah ibadah pada 2008-2010, meningkat dari 51,4% menjadi 57,8%. Begitu pun keberatan jika non-Muslim menjadi guru di sekolah umum pada periode yang sama naik dari 21,4% menjadi 27,6%. Menurut Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Jajat Burhanudin, sikap intoleransi keagamaan memiliki korelasi positif dengan Islamisme. Hal ini berarti semakin seseorang bersikap tidak toleran sangat mungkin dia mendukung agenda-agenda Islamisme di bumi Indonesia" [43]. Apa rumusan pertanyaan penelitian (research question) untuk gejala ini?


[1] Bdk. pengertian Gegenstand dan Anfangfrage dalam Paradigmenwechsel dalam T.S. Kuhn. 1967. Die Sturktur wissenschaftliche Revolution. Frankfurt, 1967.

[2] Seperti PERDA Sari’a danketentuan’ harus putra daerah untuk jabatan-jabatan public strategis di daerah, hingga peraturan menteri atau peraturan bersama beberapa menteri terkait ketentuan pendirian rumah ibadah, penyebaran agama dan tenaga asing.

[3] Pemerintah Kota Surabaya memutuskan mengapus penyebutan anak haram dalam akta kelahiran bagi anak yang lahir di luar pernikahan. Selanjutnya, untuk anak-anak itu akan disebut sebagai "anak dari seorang ibu", kemudian diikuti penyebutan nama ibundanya. (TEMPO Interaktif, Surabaya, Rabu, 02 Mei 2007). Kepala Tata Usaha Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintah Kota Surabaya Imam Sugondo mengatakan perubahan penyebutan ini untuk menjaga perkembangan kejiwaan anak. Ini demi masa depan si anak, tanpa menghiraukan bagaimana proses ia dilahirkan. "Anak haram adalah sebutan yang mencap seorang anak sebagai pelaku dosa. Ini tidak baik untuk perkembangan kejiwaan anak." Penulisan akta kelahiran yang tidak mencantumkan status anak haram ini juga telah diatur dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2006 yang mengatur tentang kependudukan dan pencatatan sipil. Menurut Imam, ini sekaligus untuk memberi pemahaman yang lebih baik tentang anak di luar nikah. "Bagaimanapun, kewajiban melindungi anak harus lebih diutamakan dari pada tudingan melegalkan perzinahan," katanya. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Surabaya Profesor Eko Sugitario mengatakan akta kelahiran sangat dibutuhkan bagi seorang anak. Baik untuk kepentingan sekolah atau yang lainnya. Undang Undang No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak juga mengatur hal ini.

[4] Sejumlah anggota DPRD Kabupaten Cirebon dan Indramayu memprotes beredarnya rapor kosong SLTA di daerah itu yang mencantumkan tiga pilihan penulisan status siswa: anak kandung, anak tiri, dan anak haram. Mendiknas Malik Fajar menegaskan, tidak dibenarkan pencantuman anak haram dalam data diri siswa di rapor sekolah karena merupakan tindakan diskriminasi dan melanggar HAM. Dirjen Dikdasmen dan Dinas Pendidikan Jawa Barat didesak untuk segera menarik rapor-rapor yang mencantumkan status anak haram tersebut sehingga tidak meresahkan masyarakat luas. Pihak Dinas Pendidikan di Jawa Barat membela diri dengan mengatakan bahwa pencantuman anak haram itu adalah semata-mata kesalahan pada percetakan buku rapor itu, dan bahwa buku raport bermasalah itu akan ditarik dan diganti dengan rapor yang tidak mencantumkan tulisan status anak haram (http://www.gatra.com/2002-12-24/artikel.php?id=23504).

[5] Demikian, misalnya, pembentukan Dewan Sekolah pada satuan unit pendidikan/sekolah di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir mengandaikan sekolah itu adalah milik masyarakat (baca: milik komunitas)[5] – sebuah terma kepemilikan yang berimplikasi adanya pengakuan hak dan kewajiban warga sebagai pemilik. Namun, yang kita saksikan justru Dewan Sekolah terkooptasi menjadi bagian dari manajemen sekolah dan dalam kebanyakan hal dewan itu justru berseberangan dengan masyarakat ‘pemilik’ sekolah itu. Makna community basedcitizens) tidak mempunya hak mengontrol institusi sekolah yang menjadi res publica = barang milik publik. menjadi mubazir, karena warga (

[6] Istilah hidden scripts sendiri berasal dari dunia teater dimana para pelaku sebuah sandiwara harus melakonkan suatu peran sesuai dengan script yang telah disusun oleh penulis script.

[7] James C. Scott (1990) Domination and the Arts of Resistance : Hidden Transcripts Yale University Press- New haven and London, hal. ix.
[8] Untuk topik ini, lihat misalnya, Niels Mulder (1999) Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahanan Budaya – Jawa, Muangthai dan Filipina, Penerbit Pt. Gramedia Pustaka Utama, hal. 152-163.
[9] Lihat juga Franz Magnis-Suseno (2001) Etika Jawa – Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. edisi kedelapan. Penerbit PT. Gramedia Utama, Jakarta.

[10] Lihat Geer Hofstede (1982) Culture’s Consequences – International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition, Sage Publications, Inc. California-London-New Delhi; Geer Hofstede (1991) Cultures and Organization – Intercultural Cooperation and its Importance for Survival: Software of the Mind, HarperCollins Publishers, London.

[11] Scott (1990 ) ibid. hal. xii.

[12] Orang Jawa dan politisi Jawa, misalnya, cenderung berbicara dengan bahasa politik yang tidak langsung, tidak tajam menukik pada inti persoalan, terbungskus dalam frasa-frasa yang ambigu dan multi-tafsir. Sebaliknya seorang politisi dari kelompok kultur luar Jawa seperti dari Makassar, Maluku atau NTT cenderung memilih kultur komunikasi politik yang lagsung, frontal, dan tidak mengenal basa-basi.

[13] Thomas Janoski (1998) Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights & Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes. Cambridge University Press.

[14] T.K. Oommen (1997) Citizenship, Nationality and Ethnicity: Reconciling Competing Identities. Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd.

[15] Charles Tilly (ed.) (1996) Citizenship, Identity and Social History - Supplement 3. Published by the Press of the University of Cambridge.

[16] Tilly (1996) ibid. hal. 8.

[17] T.H. Marshall, Citizenship and Social Class [Cambridge, 1950], dikutip dalam Tilly, ibid. hal.3.

[18] Seymour Martin Lipset, Political Man. The Social Bases of Politics (Garden City, 1960), pp. 55, 84-85, 92-93 – dikutip dalam Tilly (1996) ibid. hal. 8.

[19] Tilly (1996) ibid. hal. 9.

[20] William Rogers Brubaker (1999) Citizenship and Nationality in French and Germany. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Dalam dua puluh tahun terakhir sejalan dengan runtuhnya negara-negara komunis di Eropa Timur banyak orang Jerman yang berada di kawasan itu diterima kembali menjadi warga Jerman dengan syarat-syarat tertentu yang dapat membuktikan keabsahan garis keturunan Jerman.

[21] Dari akhir abad 15 hingga Perjanjian Westphalia (1648), dimana terjadi pengusiran dan konversi paksa orangornag Yahudi dan Islam di Iberia, juga gerakan protestantisme dan perang agama di Eropa Barat dan Tengah, juga serangan terhadap kekuasaan sekular Paus di Italia, semuanya itu merombak habis apa yang sebelumnya merupakan akomodasi keyakinan plural dengan dominasi publik oleh gereja-gereja katolik pada tingkat nasional yang lemah. Sejak tahun 1648 to 1789, Negara dan gereja mengidenitfikasi diri mereka lebih kuat dari sebelumnya. Namun sejak pecahnya Revolusi Prancis dan meluasnya citizenship. Inkompatibilitas antara definisi inklusif tentang hak-hak politik dan hambatan-hambatan religious terhadap partisipasi politik menjadi semakin mendesak. Tilly (1996) ibid. hal. 11.

[22] Walau hambatan agama dalam akses mendapatkan pengakuan kewargaan sudah dicabut, namun dalam realitas keadaan tidak banyak berubah, khususnya sikap ekslusifime berdasarkan keyakinan. Demikian, misalnya, di negara-negara maju seperti Eropa masih tetap ada rasa anti-semitisme; bahkan di Perancis masih ada official laicism yang terselip dalam kekerasan politik anti-semitisme di negeri itu. Perubahan itu pun tidak serta-merta menghapus perbedaan berdasarkan agama dalam hal hak dan partisipasi politik di dalam property-qualification regimes di mana kemakmuran dan afilisasi agama saling berkorelasi; dalam Kerajaan Inggris abad 19, misalnya, orang-orang Katolik Irlandia memiliki lebih sedikit hak politik karena, pada umumnya mereka memiliki property yang lebih sedikit. Namun sejalan dengan Revolusi Prancis dan meluasnya paham citizenship, masalah inkompatibilitas antara definisi inklusif tentang hak politik dan hambatan afiliasi keagamaan ke dalam partisipasi politik menjadi semakin mendesak. Tilly (1996) ibid. hal. 11.

[23] Yagil Levy, “The Military as a Mechanism of Interethnic Reproduction: The Case of Israel”, Working Paper 198, Center for Studies of Social Change, New School for Social Research (1994) , quoted in p.11).

[24] T.K. Oommen (1997) Citizenship, Nationality and Ethnicity: reconciling Competing Identities. Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd.

[25] Oomen (1997) Ibid. hal. 26. Ketiga legal systems sering kali ada secara bersama-sama (co-exist), semuanya dapat diterapkan kepada orang atau kelompok masyarakat yang berbeda-beda dalam sebuah negara dalam variasi dan kombinasi-kombinasi yang beragam.

[26] Oomen (1997) Ibid. hal. 123.

[27] (1) gema dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di salah satu belahan bumi akan masuk ke wilayah dunia lainnya tanpa terhindarkan; (2) adanya transnational activism; (3) ecological imperative: masalah ekologi tidak berjangkar pada satu negara atau sekelompok negara. Oommen (1997) Ibid. hal. 225.

[28] Oomen (1997) Ibid, hal 225.

[29] Oomen (1997) Ibid, hal 227.

[30] Oomen (1997) Ibid, hal 228

[31] Ralph Dahrendorph (1994) ‘The Changing Quality of Citizenship’ dalam Bert van Steenbergen (ed), The Condition of Citizenship, London: Sage Publications, hal. 10-19.

[32] Bagi Dahrendorf, citizenship is a status to which any individual should be entitled irrespective of the value of his or her contribution to the economy, because it is a non-economic concept.

[33]. Polarisasi dalam debat tentang kewargaan saat ini didasarkan pada makna social citizenship yang diperjuangkan oleh kelompok kiri (Left), dan ide tentang sebuah ‘active citizen’ yang diharapkan dapat memenuhi kewajiban sosialnya kepada masyarakat, yang diperjuangkan oleh New Right (p.228). Karena itu Dahlendorf benar ketika ia mengatakan bahwa jika citizenship dibalikkan semata-mata menjadi kewajiban individuals, maka baik pasar maupun Negara (state) akan menganulir gagasan citizenship apapun yang diajukan. Karena itu, gagasan bahwa basic entitlements seharusnya diberikan sesungguhnya berada di luar deba. Oomen (1997) Ibid, hal 228.

[34] Anthony Giddens (1985) The Nation-State and Violence. Cambridge: Polity Press, hal 206-9.

[35] Oomen (1997) Ibid, hal 229.

[36] Nancy Fraser & Linda Gordon (1994) ‘Civil Citizenship against Social Citizenship? On the Ideology of Contract versus Charity’ dalam Bert van Steenbergen (ed), The Condition of Citizenship, London: Sage Publications, hal. 90-107.

[37] Oomen (1997) Ibid, hal 230.
[38] Oomen (1997) Ibid, hal 230.
[39] Fraser and Gordon (1994) hal. 104.

[40] Janoski (1998) Ibid. hal. 6.

[41] Janoski (1998) Ibid. hal. 7. Lihat juga, misalnya: John Keane (1988) Democracy and Cicil Society. London: Verso; John Keane (1988) Cicil Society and the State. London: Verso; Jean Cohen and Andrew Arato (1992) Civil Society and Social Theory. Cambridge, Mass.: MIT Press; John H. Hall (1995) Civil Society: Theory, History, Comparisons. Cambridge: Polity Press.


[42] Bryan Turner (1990) “Outline of a Theory of Citizenship” dalam Sociology 24:189-217.

[43] Media Indonesia Online: Toleransi Beragama Kian Rendah. Rabu, 29 September 2010. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/29/171528/265/114/Toleransi-Beragama-kian-Rendah. diakses pada hari Rabu, 29 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar