Jumat, 27 Mei 2011

INTEGRATIONSPOLITIK UND PÄDAGOGIK DER INTEGRATION - POTRET IMIGRAN DI JERMAN DALAM EMPAT FILM

Oleh Robert B. Baowollo

Dalam rangka Hari Eropa tahun 2011 „Goethe Institut ProgramJogjakarta“ menggelar beberapa film pilihan yang mengangkat kehidupan kaum migran di Jerman, antara lain Befreite Zone (Norbert Baumgarten, 93 menit., 2002), Kebab Connection (Anno Saul, 96 menit, 2005), Ghetto kids (Christian Wagner, 88 menit, 2002) dan Was lebst Du? (Bettina Braun, 84 menit, 2004). Keempat film tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, mulai dari aspek sinemografi sampai masalah politik integrasi (di) Jerman.  Apa saja faktor yang menarik dari keempat film tersebut – dalam konteks kehidupan kaum imigran di Jerman – sehingga perlu diangkat kembali di sini?
Kehadiran keempat film tersebut dapat dibaca sebagai perlawanan dari dalam komunitas Jerman sendiri terhadap proses pembentukan citra negatif tentang Jerman – dan Eropa pada umumnya – yang saat ini terjebak dalam diskursus politik identitas yang secara alamiah bersifat dikotomis dan berakar pada klaim cultural incompatibility. Keempat film tersebut mengangkat strategi politik integrasi bukan semata-mata sebagai tindakan politik melainkan (baca: terutama) sebagai tindakan sadar memanusiakan untuk alasan dan tujuan  memuliakan kemanusiaan itu sendiri. Maka di sini kita akan berbicara lebih menukik pada masalah Integrationspädagodik, interkulturelle Kompetenz, dan multikulurelle Gesellschaft. Dengan kata lain, di balik hiruk-pikuk politik yang kadang-kadang sangat tidak ramah di mata, telinga, dan hati kaum migran di Jerman – yang untuk suatu jangka waktu yang panjang menyandang predikat yang tidak terlalu bersahabat sebagai Ausländer” – di sana ada dinamika lain yang lebih lembut dan lebih manusiawi dalam wacana kehidupan kaum migran.
Saya pernah tinggal dan mengenal dengan relatif baik komunitas imigran di tiga kota dalam film-film tersebut, yaitu Hamburg (Kebab Connection), München (Ghetto Kinds), dan Köln (Was lebt du?). Oleh karena itu tulisan ini juga merupakan refleksi berdasarkan pengalaman subyektif terhadap kehidupan kaum migran di ketiga kota tersebut. Sässlen (Befreite Zone) hanya merupakan sebuah nama kota fiktif di bekas Jerman Timur. Persoalan kaum imigran dalam film Befreite Zone hampir tidak berbicara mengenai kehidupan kaum migran dalam konteks masyarakat sosialis DDR sebelumnya, dan memiliki konteks yang berbeda dengan pergumulan masyarakat kapitalis di bagian Barat, semisal hubungan komunitas Turki, yang terkonsentrasi di wilayah Kreuzberg, dengan masyarakat Jerman di Berlin. Saya sempat mengunjungi Jerman Timur (DDR) sebelum reunifikasi namun tidak banyak yang saya pahami tentang kehidupan kaum migran di (bekas) wilayah DDR itu, selain pengetahuan textbook tentang West- und Ostpolitik dan kehidupan kaum migran di Berlin sesudah reunifikasi – sebuah fenomena sosial yang tidak berbeda dengan kehidupan kaum migran di kota-kota besar lain seperti Hamburg, Köln, Düsseldorf bahkan Strassbourgh, Paris, Roma, atau Amsterdam.

Empat Film, Empat Narasi, Satu Pesan

Hampir sepuluh tahun saya berinteraksi dengan kaum migran dari kawasan Sub-Sahara/Afrika dalam organisasi Arbeitsgemeinschaft Christlicher Kirchen in Hamburg (ACKH). Walau ada beberapa pengusaha Afrika yang sukses membangun eksistensi mereka di Jerman, namun, sebagian besar migran dari kawasan ini adalah imigran karena alasan politik (asylum politik) dan diperkuat oleh alasan ekonomi. Sebagian besar di antaranya, baik laki-laki maupun merempuan, merupakan pekerja-pekerja keras yang mengambil “strata pekerjaan” paling bawah. Mereka membentuk berbagai komunitas berbasis kesamaan etnisitas dan agama. Ikatan etnisitas mereka sangat kuat. Beberapa di antara migran dari kawasan Sub-Sahara/Afrika itu berhasil keluar dari “strata pekerjaan” itu karena bakat-bakat alamiah mereka yang luar biasa, misalnya dalam bidang olah raga, dan sangat dibutuhkan masyarakat Jerman.

Film pertama, Befreite Zone, memperlihatkan peluang dan tantangan bagi seorang imigran dari Afrika (Ade Banjo) “masuk” ke dalam, dan menjadi bagian dari, sistem masyarakat Jerman. Sebagai seorang imigran yang datang dari latar belakang masyarakat kulit hitam ia mendapat sambutan dan perlakuan kurang bersahabat dari kelompok rasis – suatu stigma berbasis stereotyp yang melekat kuat; namun prestasi olah raga yang dimilikinya mampu merobah potret negatif itu menjadi bintang yang dielu-elukan. Ade Banjo pun diberi nama kesayangan “der Blonde” – sebuah nama yang kontras, dan penuh makna interpretatif, dengan potret diri dan stereotyp terhadap kelompok etnisnya. Terlepas dari berbagai narasi pragmatisme dalam keseluruhan jalannya cerita tersebut, film ini mengangkat pentingnya strategi politik integrasi yang memanusiakan, yang menghargai potensi pada diri kaum imigran, sebagai pintu masuk ke dalam masyarakat Jerman, melalui dunia olah raga.

Film kedua, Kebab Connection, mengangkat evolusi mimpi-mimpi ‘kelas menengah’ kalangan imigran di Jerman dalam mengukuhkan eksistensi mereka secara sosial dan ekonomi, yang diwakili oleh kelompok imigran dari Turki dan Yunani. Judul Kebab Connection langsung membuat orang mengaitkannya dengan kehidupan pengusaha restoran dan warung murah-meriah milik orang-orang Turki dan Yunani, namun film ini tidak banyak mengungkap aspek “connection” itu sendiri – selain persaingan anatara pengusaha restoran Turki dan Yunani.
Dalam konteks politik integrasi film ini memperlihatkan bagaimana komunitas migran Turki di Jerman secara perlahan tapi pasti meninggalkan kategori imigran tenaga kerja kelas pekerja otot jika tidak mau disebut “kelas kuli” yang didatangkan ke Jerman berdasarkan Anwerbeabkommen yang ditandatangani oleh Pemerintah Jerman dan Turki pada tanggal 30 Oktober 1961[1]. Generasi Muda migran Turki mulai merangkai mimpi-mimpi mereka tentang karir dan masa depan mereka di Jerman, dengan parameter/kriteria “sukses” yang jauh berbeda dari parameter dan bayangan orang tua mereka dari generasi pertama dan kedua. Film ini membawa konflik identitas yang dihadapi remaja imigran dalam masyarakat Jerman ke dalam komunitas migran (dalam hal ini komunitas Turki) – dan dengan demikian menciptakan konflik identitas antara generasi tua dan generasi muda Turki karena rujukan cultural attachment mereka mulai mengalami perubahan. Generasi tua Turki di Jerman tidak lagi berada dalam konflik identitas karena perbedaan kultur mereka dengan host country, tetapi dengan anak-anak mereka sendiri yang tumbuh dalam kultur host country ketika mereka berada di luar rumah dan harus kembali ke akar kultur mereka ketika kembali ke dalam rumah mereka. Secara keseluruhan film ini lebih banyak mengangkat pertanyaan dan membiarkan sejumlah hipotesis terbuka ketimbang memberi jawaban pragmatis atas pertanyaan: tindakan apa yang sebaiknya dilakukan sebagai strategi/kebijakan intervensi dalam politik integrasi Jerman?

Film ketiga, Ghetto Kids, secara tajam mengangkat persoalan-persoalan sosial yang dialami keluarga-keluarga migran karena gagal berintegrasi. Anak-anak dari keluarga migran, jika tidak didampingi dengan kebijakan integrasi yang bersahabat dan memanusiakan, akan terperangkap dalam lingkar kekerasan yang mereka pelajari di jalan, di lingkungan internal komunitas mereka, dan terutama dari para senior mereka. Kehidupan siang dan malam di Hauptbahhof München dalam film ini, sama seperti juga kawasan Bahnhof di kota-kota besar lain, sudah lama dikenal sebagai pusat kriminalitas, perdagangan obat terlarang, dan simpul jejaring prostitusi. Dalam situasi seperti itu, anak-anak migran tanpa bekal pendidikan yang memadai mencari jalan membentuk karakter mereka sendiri – semuanya penuh kekerasan dan tidak bersahabat. Di sini berlaku moto: “Hidup itu keras dan karena itu harus dihadapi secara keras”. Tindakan pedagogik adalah bagaimana melawan kekerasan tanpa metode kekerasan, sambil tetap mengakui, menghargai, dan menerima keberadaan mereka apa adanya.
Film ini sangat kaya dengan pesan pedagogik. Dialog-dialog verbal dan non-verbal dalam keseluruhan narasi film ini mengingatkan orang pada konsep pedagogik Maria Montessori, pada John-Heinrich Pestalozzi, atau pada Paulo Freire. Dalam film ini profesi guru sebagai pembimbing ditantang habis-habisan karena guru harus bekerja dengan anak-anak “luar dari pada yang biasa” - yang menurut ukuran masyarakat Jerman yang teratur (baca: civilized) – merupakan produk dari masyarakat gagal (failed society), yang tidak mungkin menjadi sesuatu dan/atau menghasilkan sesuatu selain mereproduksi pola hidup keras dan kekerasan untuk bertahan hidup sebagaimana diajarkan oleh kekerasan hidup di jalan berdasarkan prinsip the survival of the fittest.
Di sana ada tantangan bagi siapapun yang terpanggil untuk mendampingi anak-anak produk siklus kekerasan ini. Guru, pendamping, atau siapa pun juga, harus berani keluar dari comfort zone-nya untuk memasuki confrontation zone. Jika seorang guru hanya mau mengajar dan membimbing anak-anak yang “sudah siap”, anak yang datang dari keluarga baik-baik saja, maka guru tersebut hanya sekedar menjalankan kewajibannya dalam pengertian Beruf. Sebaliknya guru yang mampu keluar dari zone aman-nyamannya (comfort zone) untuk menyapa anak-anak yang terperangkap dalam siklus kekerasan dan bersama mereka menyusun anak tangga untuk keluar dari sana, maka guru itu terpanggil untuk menghayati pekerjaannya sebagai proses pembebasan (Berufung).
Dalam situasi seperti itu pilihan-pilihan tidak banyak, dan selalu dilematis: antara idealisme yang menuntut banyak pengorbanan dan penyangkalan diri di satu sisi demi untuk orang lain, untuk anak-anak yang bukan bagian dari keluarga atau komunitas saya; dan di sisi lain, idealisme untuk tetap berada di comfort zone saya, yang di luar sana tidak penting! Film ini adalah contoh dan inspirasi yang paling menggugah tentang konsep dan praksis Integrationspädagogik dalam politik integrasi – bukan teori! Jika sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintah hanya mau mengambil anak-anak yang ‘jadi’ saja, lalu siapa yang harus memanusiakan mereka yang diberi stigma sebagai “sampah sosial” ini? Kemana misi besar pendidikan kita?

Film keempat, Was lebst Du?, merupakan film “dokumenter” dari sebuah studi jangka panjang. Film ini memotret dengan amat baik gambaran diri anak-anak dari komunitas migran yang gelisah karena berada di antara tembok gheto komunitas asal yang tertutup dan masyarakat Jerman yang terbuka, anak-anak muda yang bingung membaca, memaknai, dan memilih nilai serta orientasi pengembangan diri mereka sebagai manusia muda yang sedang bertumbuh. Mereka diperhadapkan dengan bayangan-bayangan suram dan menakutkan yang datang dalam pertanyaan-pertanyaan yang sangat konkret: nanti kamu mau kerja apa supaya bisa hidup di negeri ini?
Film ini juga sebagai sebuah studi jangka panjang mampu memotret sebuah persoalan lain yang berada di luar horizon para pengambil kebijakan publik menyangkut anak-anak dari keluarga migran, yaitu gambaran pribadi anak-anak itu tentang Traumjob. Mereka ingin bebas dari ruang sempir apartment orang tua mereka; mereka ingin punya kamar tidur sendiri yang lebih laus, punya usaha sendiri, punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi apakah itu? Jawaban atas pertanyaan ini terhambat oleh refleksi obyektif atas realitas sosial mereka sehari-hari: mereka tidak memiliki pendidikan formal yang memadai untuk bisa memperoleh ijasah (Abitur) untuk bisa kuliah di perguruan tinggi; mereka mengalami kesulitan dalam hal penguasaan bahasa Jerman yang menghambat mereka dalam memahami pelajaran dan menyelesaikan ujian formal mereka di sekolah; mereka paling bisa sampai ke Berufschule tanpa Abitur, dan sebagainya dan seterusnya. Dalam kegamangan seperti itu, potret tentang Traumjob mereka pun mereka reduksi sendiri sampai ke titik yang paling realistis: menjadi penyanyi dan penari hip-hop, menjadi tukang cukur atau penata rambut di salon, memiliki tempat cuci sendiri, dan sebagainya. Ternyata horizon cita-cita mereka tidak ditentukan dan dibentuk oleh langit Jerman yang luas dan cerah di musim semi dan musim panas, tidak oleh hiruk-pikuk manusia-manusia muda yang menjejali bis atau kereta menuju kampus dan memenuhi ruang-ruang bibliothek dan laboratorium, melainkan oleh dunia mereka sendiri di antara sesama kaum migran.

Yogyakarta, 27 Mei 2011.



[1] Anwerbeabkommens antara Jerman dan Turki itu dibuat setelah ada sekitar 150 pemuda Turki didatangkan dan pengikuti Berufsausbildung di Jerman pada tahun 1958.  Kebijakan itu sempat dihentikan (Anwerbestopp) pada tanggal 23 November 1973 karena ternyata banyak anggota keluarga pekerja dari Turki juga berdatangan ke Jerman – suatu fenomena khas Asia yang agak mengganggu kenyamanan banyak orang Jerman yang hidup dalam keluarga-keluarga inti (nuclear family) saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar