Sabtu, 01 Januari 2011

MENINGKATNYA INTOLERANSI DAN OPTIMISME SEMU DI INDONESIA: MELACAK AKAR INTELORENASI DAN KELUMPUHAN NEGARA



oleh Robert B. Baowollo

Pengantar

Isi Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama 2010 yang dikeluarkan oleh The Wahid Institut menjelang penutupan tahun 2010 tentang kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat Indonesia sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Kecenderungan yang sama juga dicatat oleh lembaga-lembaga lain seperti, antara lain, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Intoleransi tidak saja merupakan persepsi dan/atau negative attitude yang tidak bersahabat, penuh prejudice flavour, dan memiliki kualitas enmity yang kental terhadap pihak lain (others), tetapi juga termanifestasi dalam berbagai bentuk tindak kekerasan untuk mengenyahkan semua yang berbeda dalam perspektif mereka. Perbedaan menjadi ancaman, bukan kekayaan dalam konfigurasi sebuah masyarakat majemuk.
Secara keseluruhan, laporan The Wahid Institut itu menyebutkan, bahwa telah terjadi peningkatan kasus intoleransi dari 93 kasus (2009) menjadi  133 kasus (2010) atau naik sebesar 30%; dan telah terjadi kenaikan kasus kekerasan dari 35 kasus (2009) menjadi 63 kasus (2010), atau naik sebesar 44% dari tahun sebelumnya[1]. Sementara itu, menurut data PPIM, selama tahun 2001-2010 telah terjadi peningkatan signifikan tingkat intoleransi antar umat beragama yang ditandai oleh tindak kekerasan terkait masalah kebebasan beragama. Hasil studi PPIM tersebut menyebutkan, bahwa telah terjadi fenomena penguatan ekslusivisme yang mencapai kualitas memprihatinkan. Dua gejala dominan yang disinyalir oleh PPIM adalah (a) rendahnya toleransi di kalangan Muslim Indonesia; dan (b) meningkatnya kekuatan islamisme[2] dan/atau fundamentalisme di Indonesia[3].
Hal lain yang menarik dari laporan akhir tahun The Wahid Institut adalah data trend dan fluktuasi aksi kekerasan oleh organisasi massa dengan label Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR). Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, frekuensi kekerasan yang dilakukan oleh kedua organisasi ini mula-mula turun dari 10 kasus (2007) menjadi 8 kasus (2008), lalu naik lagi menjadi 40 kasus (2009) dan 49 kasus (2010). Kedua organisasi itu, dalam analisis The Wahid Institut, (a) telah melakukan 107 tindak kekerasan dan baru 36 kasus yang dilimpahkan ke pengadilan; dan itu berarti bahwa (b) setiap 10 hari organisasi-organisasi ini melakukan satu tindak kekeraan[4] - suatu angka yang patut menjadi point studi kekerasan di Indonesia. Bahkan dalam Ringkasan Eksekutif Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Dan Toleransi 2010 disebutkan bahwa “ternyata FPI di berbagai daerah masih menjadi pelaku intoleransi tertinggi dengan 24 tindakan atau 30%, diikuti MUI 11 tindakan (14%) dan FUI 9 tindakan (11%)[5].
Baik The Wahid Institut maupun PPIM, keduanya sepakat menyebut ketidakberdayaan negara (baca: pembiaran oleh pemerintah) dalam menghadapi berbagai aksi kekerasan dan praksis intoleransi ini sebagai faktor yang sangat menentukan bagi laju pertumbuhan fundamentalisme, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Perayaan Natal Nasional 2010 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (27/10/2010), bahwa kebebasan menjalankan ibadah di Indonesia dijamin pemerintah[6] terasa lebih sebagai retorika kosong, karena – menurut data The Wahid Institut – dari berbagai kekerasan terhadap kebebasan kehidupan beragama di Indonesia selama tahun 2010, sebanyak 23 kasus (17%) kekerasan dilakukan oleh negara (baca: oleh pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah), 110 kasus (83%) dilakukan oleh masyarakat yang sebagian besar didorong oleh praktek pembiaran oleh negara. Dengan demikian negara terlibat dalam pelanggaran dan intoleransi kehidupan beragama di Indonesia dalam 86 kasus. Artinya dalam satu bulan negara melakukan tujuh kali pelanggaran dan tindakan intoleransi[7].
Data penting lainnya yang menjadi perhatian analisis ini adalah sebaran wilayah geografis kekerasan, diskriminasi, dan intoleransi. Empat wilayah yang mendominasi praktek diskriminasi dan intoleransi selama tahun 2010 adalah Jawa Barat-Banten (43 kasus atau 32%), Jawa Timur (25 kasus atau 19%), Jakarta (18 kasus atau 14%) dan DI-Yogyakarta/Jawa Tengah (13 kasus atau 10%)[8]. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di pulau Jawa, di tengah masyarakat Jawa, dan dengan kultur Jawa yang terkenal dengan semangat toleransi atau filosofi teposeliro-nya? 
Artikel ini tidak berpretensi untuk membahas, mengeritik, atau mendaur ulang hasil penelitian dari kedua lembaga tersebut dalam sebuah tulisan baru. Sebaliknya, artikel ini hendak memberi perhatian pada dua aspek temuan kedua penelitian tersebut, yaitu: pertama, intoleransi sebagai persoalan sosiologis, yaitu kurangnya pengalaman kebersamaan kultural yang otentik. Defisit pengalaman kebersamaan kultural – meminjam istilah Robert Putnamm (2000) – merupakan deficit of social capital; kedua, argumentasi-argumentasi historis yang dalam banyak hal justru berifat ahistoris, kontradiktif, dan merupakan corrupted quotations dari berbagai sumber menyangkut konsep kilafah dan kedudukan kaum non-Muslim (dhimmi) dalam sebuah “Negara Islam” atau negara yang berbasis Sari’a.

Defisit Pengalaman Otektik tentang Kebersamaan Kultural

Praksis kolonialisme di Dunia Ketiga (Asia, Afrika dan Amerika Latin) sejak awal abad 16 menunjukkan bahwa para ilmuwan dari disiplin ilmu-ilmu sosial, terutama para sosiolog dan antropolog, dijadikan peretas jalan menuju jantung kultural masyarakat setempat untuk memudahkan invasi ekonomi dan penguasaan atas masyarakat dan wilayah-wilayah pendudukan secara politik. Hal yang sama dapat kita temukan dalam penugasan ahli Arab/Islam, Christian Snouk Hurgronje, dalam misi penaklukkan Acheh[9]. Misi sekuler ekonomi kolonial, conquistador, dan misi spiritual upaya membangun orbis christianus memang bersifat simbiosis mutualismus.  Akibatnya garis antara misi sekuler dan misi spiritual (evangelisasi) menjadi kabur: pax missionaria lebih sering membentuk basis bagi pax colonialis dan/atau sebaliknya (Gründer, 1995: 20).
Era Portugis dan Spanyol yang Katolik kemudian disusul oleh Belanda, Inggris dan Denmark yang merupaan kekuatan-kekuatan Protestan. Sebagaimana halnya konsep orbis christianus  yang diusung Portugis dan Spanyol, kekuatan-kekuatan Protestan ini menganggap kolonialisme dan imperialisme Eropa yang sekular sebagai suatu alat untuk fulfilling providence.  Misionaris-misionaris Kristen dari semua keyakinan dan denominasi disatukan di bawah keyakinan bersama bahwa „European expansionism was a manifestation of God’s decree to spread His kingdom in the world” (Gründer, 1995: 19). Apa dampaknya terhadap karakter missi dan “politik kebudayaan” kolonial di daerah jajahan?
Dampak politik pertama yang paling parah dan membekas sampai ratusan tahun kemudian adalah bahwa para misionaris dalam banyak hal tidak dapat secara tegas dan terbuka mengeritik penguasa kolonial yang melanggar hak-hak azasi dan hak kultural masyarakat pribumi, karena para missionaris dan mission enterprise sangat bergantung pada proteksi senjata dan kuasa dari penguasa kolonial. Mereka masuk ke dalam suatu partnership dengan para colonial conquerors dan dengan demikian sejak awal mereka, para missioanris, memainkan peran mereka sebagai advovates for the natives yang hanya mampu mengeritik kejahatan-kejahatan kolonial yang kelihatan sehari-hari, tetapi hampir tidak pernah mengeritik sistem kolonial secara keseluruhan (Gründer, 1995: 20).
Dampak kedua, lebih bersifat teologis,  terkait pemahaman kehadiran kekuatan kolonial secara keseluruhan sebagai fulfilling providence. Orang-orang “kulit putih” itu memandang misi mereka sebagai amanat ilahi yang harus dipenuhi, juga dengan mempergunakan metoda-metoda (evangelisasi) yang radikal, untuk menaklukkan kultur masyarakat pribumi yang animis, jahiliyah, buas, kafir, dan divonis sebagai kultur yang tidak menyelamatkan dan tidak membawa keselamatan. Penduduk pribumi di tanah jajahan harus deselamatkan dengan cara memanusiakan mereka melalui pendidikan dan pembaptisan. “Para misionaris conquista pada akhirnya sangat berkepentingan dalam mengintegrasikan ‘yang asli’ ke dalam kompleks kultur Eropa [...] Mereka sangat percaya pada korelasi kedalam maupun keluar antara kultur Barat dan Kekristenan, dan karena itu mengklaim diri mereka memiliki tugas ‘spiritual conquest’ atau conquista spiritual. Mereka dengan demikian menjadi kelompok yang paling militan dalam memperjuangkan dan memperkenalkan kebudayaan Eropa” (Gründer, 1995: 22). Ada pandangan bahwa kultur Eropa dan Kristen lebih superior dan lebih maju di atas kultur-kultur prubumi, di atas kultur non-Kristen dan non-Eropa (Gründer, 1995: 22) – sebuah cara pandangan yang kemudian menjadi sumber malapetaka peradaban dalam sejarah sivilisasi modern di Dunia Ketiga.
Tidak susah menemukan contoh dampak malapetaka peradaban akibat model pendekatan ini di Indonesia, terutama di kawasan-kawasan yang menjadi kantong kekristenan di Indonesia. Sampai dengan tahun 1960an Gereja-gereja tradisional (Katolik dan Protestan) masih sibuk dengan memerangi praktek-praktek keagamaan animis, yang tidak kristiani, seperti sejumlah ritual adat dan perangkat adat serta praktek agama-agama tradisional – suatu kondisi yang kemudian, sejak Konsili Vatikan II, sangat disesali dan kembali “dijemput” dalam studi-studi antropologi pastoral dalam “proyek” besar bernama inkulturasi untuk membumikan ‘agama Eopa” itu ke atas tanah, budaya dan hati orang Indonesia.
Semangat para conquistador spritual  ternyata tidak mati. Semangat itu mengalami – atau mungkin lebih tepat mengilhami – revivalism dalam tubuh Gereja-gereja baru yang lahir dari gerakan fundamentalisme di Amerika Utara di awal abad 20.  Traktat The Fundamentals yang diterbitkan dengan dukungan dana dari pengusaha minyak kaya raya Amerika Utara, Lyman Stewart, menekankan perlunya restorasi fundamentals keyakinan Kristen yang orthodox. Semangat concuistador dengan amat baik terungkap dalam diri seorang jurnalis Baptis pada tahun 1920, Curtis Lee Laws, dalam kata-katanya sendiri: to do battle royale for the fundamentals of Christian faith (Watt, 2004: 271).
Dalam perjalanannya, konsep fundamentalisme diterjemahkan sebagai purifikasi ajaran-ajaran Kristen dari semua praktek keagamaan yang tidak kristiani (baca: tidak bersumber dari Al Kitab). Gerakan anti-okultisme di kalangan gereja-gereja reformed tidak saja menyerang prakek-praktek ritual dalam tradisi Gereja-gereja tradisional, khususnya dalam Gereja Katolik, tetapi juga berambisi menyerang dan membersihkan semua praktek kultural dalam kehidupan bermasyarakat yang dianggap tidak kompatible dengan doktrin fundamentalisme dan kemurnian ajaran Injil.
Sialnya (!) fenomena fundamentalisme dan gerakan puritanisme pada kelompok-kelompok Kristen menemukan ‘kembarannya’ pada gerakan salafiyyah yang dipelopori oleh tokoh revivalis Jamal al-Din Al-Afghani dan Muhammad ‛Abduh (lihat, misalnya Haim (ed): 1976; Lewis et al. 1965) dan gerakan puritanisme Wahabiyyah yang berwatak keras oleh Muhammad bin Abdul Wahab (lihat, misalnya Robinson, 1987). Secara ontologis tidak terlalu sulit menemukan paralelitas antara fundamentalisme Kristen dan Islam dengan memeriksa doktrin-doktrin skripturalisme pada keduanya maupun pada sejarah pemikiran dan tokoh-tokoh yang membidaninya. Topik paralelitas paham dan gerakan fundamentalisme Kisten dan Islam ini akan dibahas dalam kesempatan lain.
Conquistador yang hendak mengkristen-eropakan manusia dan kebudayaan pribumi di seluruh dunia pada masa itu tidak jauh berbeda dengan kelompok-kelompok Wahabi dan gerakan khilafah (Pan-Islamisme) yang hendak mengislam-arabkan seluruh dunia sekarang ini. Puritanisme dan semangat menyerang segala sesuatu yang tidak kristiani maupun yang tidak islami anti shirk, anti okultisme, anti kultur dan ritual penduduk pribumi, anti agama-agama pribumi – semuanya adalah karakter bawaan agama-agama Abrahamik: semuanya untuk merawat inti pengakuan iman Abrahamik akan Allah Yang Esa (monoteism) yang bermula dari cara da’wa Abraham sendiri dan diwariskan kepada tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Dengan demikian monotesime abrahamik memiliki karkater dan potensi untuk menyerang dan menghancurkan semua yang menduakan Tuhan dan memisahkan penduduk-penduduk pribumi di daerah misi/da’wa dari akar kultur dan kepercayaan asli mereka.
Hegemoni identitas keagamaan atas identitas kultural telah sampai pada tingkat yang mencemaskan. Berbagai tradisi yang menjadi tenunan kebersamaan kolektif mulai goyah. Orang dipaksa untuk memilih: loyal kepada agama atau adat. Orang tidak diberi kesempatan yang memadai untuk mendamaikan agama dan adat, untuk menemukan Tuhan dalam kultur yang hidup dan membumi. Ketika Gereja-gereja tradisional, baik Katolik maupun Protestan, gencar melakukan konservasi atas kekayaan kultural masyarakat pribumi – bahkan lebih berani memberi pengakuan terhadap eksistensi agama-agama pribumi – pada saat yang sama Gereja-gereja atau sekte-sekte fundamentalis Kristen gencar memerangi dan menaklukkan masyarakat pribumi, mengkristenkan mereka dengan cara mencabut mereka keluar dari akar kultural mereka. Mereka menentang simbol-simbol dan ritual adat dan kepercayaan pribumi. Faktor ini juga menjadi salah satu pembeda untuk mengenali kelompok Islam tradisional (NU) dan modernis-puritan (Muhammadiyah).
Dewasa ini peta kekuatan Islam di Indonesia pun semakin kabur. Garis antara Islam tradisional (NU) dan Islam modernis (Muhammadiyah) semakin buram. Kedua organisasi besar ini, selain mengklaim diri sebagai organisasi moderat yang menghargai konsep pluralisme, mengadvokasi toleransi dan pengakuan terhadap realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, juga semakin kerepotan untuk mempertahankan klaim karakter “moderat” mereka. Kelompok-kelompok fundamentalis, mulai dari kelompok-kelompok yang sangat normatif hingga kelompok-kelompok radikal, sudah memasuki dan menguasai ummat di tingkat basis pada kedua organisasi besar tersebut. Sambutan massa disertai histeri jihād di jalan Allah (fī sabīl Allāh) untuk menyerang segala sesuatu yang tidak sesuai dengan cara pandang kelompok-kelompok radikal-fundamentalis tidak saja bertentangan dengan realitas bahwa Indonesia bukanlah wilayah perang (dār al-harb) tetapi telah menyeret negeri ini ke dalam dār al-harb yang mereka ciptakan sendiri. Hiruk-pikuk memerangi yang lain (the others) tidak mengecualikan kantong-kantong organisasi-organisasi Muslim moderat NU maupun Muhammadiyah.  
Terlepas dari penyakit kronis sifat mesianik bawaan agama-agama abrahamik itu sendiri yang hegemonk dan cenderung menaklukkan yang lain,  pertanyaan yang mendesak saat ini – walau bukan merupakan pertanyaan baru lagi – adalah sikap pemerintah dan kaitannya dengan fakta silent majority di negeri ini. Apakah diamnya pemerintah terhadap maraknya aksi kekerasan dan intoleransi di tengah masyarakat memiliki akar di dalam (dan bukan sekedar berkorelasi dengan, atau merupakan cermin dari) kultur silent majority itu sendiri? Pertanyaan ini mau tidak mau membawa kita (a) secara khusus kepada studi-studi tentang interaksi budaya Jawa dengan Hinduisme/Buddhisme, Islam dan Kekristenan, juga dengan budaya-budaya Nuasantara; juga (b) secara umum kepada studi budaya-budaya lain di luar Jawa dalam berinteraksi dengan Hinduisme/Buddhisme, Islam dan Kekristenan, juga dengan budaya mayoritas yang mendominasi kultur politik di Indonesia, yaitu budaya Jawa. Bagian ini pun amat luas dan kiranya akan di bahas pada kesempatan lain. De facto bahwa Jawa Barat-Banten, Jawa Timur, Jakarta, DI-Yogyakarta/Jawa Tengah merupakan daerah-daerah di Indonesia yang paling rentan intoleransi dan tindak kekerasan antar-agama bukanlah sekedar angka statistik!

Kewargaan dan Kesetaraan dalam Tradisi Hukum Islam

Para pegusung panji kilafah selalu mengklaim bahwa Islam sangat melindungi kaum minoritas. Namun demikian, klaim bahwa Islam menghargai pluralitas dan melindungi kaum minoritas (dalam hal ini kaum non-Muslim = dhimmi) itu menjadi mentah ketika diperhadapkan pada fakta intoleransi dan tindak kekerasan seperti yang dinyatakan dalam hasil penelitian The Wahid Institut maupun oleh PPIM. Apakah di sana sedang berkembang sebuah „Islam yang lain“? Bagian ini tidak hendak membahas „Islam yang lain“ itu melainkan masuk ke dalam diskursus paradox antara klaim inklusifisme dan praksis ekslusifisme di daerah-daerah itu sebagai sebuah studi kasus teoretis.
Kebesaran semangat inklusifisme Islam secara teologis dan historis sudah banyak dibahas. Sikap naif dari sejumlah pakar Barat yang kemudian menjadi rujukan banyak pihak (ahli maupun orang awam) di dunia Islam, termasuk Indonesia, cenderung mengabaikan atau menutupi kelemahan-kelemahan klaim inklusifisme Islam dari pakar-pakar Barat tersebut – bahkan cenderung melompat pada kesimpulan akhir bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan karena itu segala sesuatu sudah final.  Disini dibutuhkan sikap kritis dan kebesaran jiwa untuk masuk ke dalam diskursus ini sebagai upaya bersama mencari konsensus etis untuk suatu peaceful co-existence semua pemeluk agama-agama di dunia.
Kutipan surat pembaca majalah online Detik.com berikut ini kiranya dapat mewakili contoh persepsi dan konsepsi yang tidak utuh tentang kedudukan kaum non-Muslim (dhimmi) dalam Negara Islam yang diusung kelompok-kelompok pendukung Sari’a dalam slogan Selamatkan Indonesia dengan syariah dan khilafah[10]. Ali Mustofa, direktur Rise Media Surakarta, dalam tulisan surat pembaca itu  mengutip sejarahwan Barat Will Durrent dalam The Story of Civilization[11] untuk menguatkan argumentasinya bahwa „Secara empiris Islamlah yang mampu mengurusi masyarakat yang heterogen dengan baik selama berabad-abad“. Mustofa juga mengutip TW Arnold dalam The Preaching of Islam[12] untuk menegaskan bahwa secara historis Islam mengatur pluralitas bangsa dengan merujuk pada model pemerintahan Kesultanan Ottoman-Turki yang secara luas diklaim sebagai sejarah keemasan Islam. Dengan merujuk pada konsep Negara Madinah, Ali Mustofa menyimpulkan: “Semua warga negara Islam atau Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warga negara Negara Khilafah. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Negara khilafah harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta bendanya.“
Dalam rumusan yang singkat dan padat, pendapat seperti itu hendak mengatakan bahwa (1) tidak ada masalah jika hukum Islam, Sari’a, diberlakukan, dan dalam bentuk yang paling akhir Indonesia menjadi Negara Islam; dan bahwa (2) secara historis pemerintahan Islam menghargai kedudukan setiap warga negara yang setara dan memberi perlindungan kepada kaum non-Muslim (dhimmi). Pembahasan di bawah ini berupaya secara ontologis memberi catatan kritis terhadap klaim kesetaraan kewargaan (citizenship) dalam Negara Islam atau dalam negara yang memberlakukan Sari’a.
Dalam tradisi hukum Islam klasik masalah kewargaan dan multikulturalisme menemukan pijakannya pada Konstitusi Madinah[13]. Hubungan antara Muslim dan non-Muslim dalam masyarakat Islam klasik ditemukan dalam konsep dhimma. Dhimma menghendaki adanya sebuah perjanjian yang terus-menerus diperbaharui melalui mana orang-orang Yahudi dan Kristiani (ahl al Kitab)[14] mendapatkan perlindungan ‘berdasarkan ketentuan bahwa mereka mengakui dominasi Islam’ (Cahen, 1965: 227).
Kesepakatan ini menjadi dasar bagi suatu dhimmī relationship antara otoritas Muslim yang berkuasa dengan kalangan non-Muslim. Namun demikian, secara historis, dhimma bukanlah asli Islam. Konsep itu berkembang dari berbagai praktek yang sudah ada saat itu, ‘dibentuk menurut makna fides dalam Hukum Romawi’, dan ‘dibuat sebagai model yang merujuk pada posisi kelompok-kelompok non-citizen di dalam Kekaisaran Romawi Timur’ (Coulson, 1964: 27). Mereka yang dikategorikan sebagai dhimmī tetap memiliki kebebasan (ber)agama berdasarkan prinsip Qurʽan tentang tidak ada paksaan dalam agama (QS 2:256), dengan syarat keharusan membayar jiyza bagi pria dewasa yang sehat rohani dan jasmani[15].
Status legal dan sosial kalangan non-Muslim di bawah hukum Islam bertahan tanpa perubahan berarti sampai dengan munculnya Dinasti Ottoman, dari tahun 1583 dan seterusnya. Kerajaan Ottoman terstruktur secara komunal berdasarkan identitas agama yang dibuatkan sesuai model Dhimma. Model ini kemudian dilembagakan dalam system millet, yang bukan merupakan sebuah sistem yang diadopsi secara seragam, tetapi lebih merupakan ‘a degree of legal autonomy and authority’ (Braude & Lewis, 1982: 12-13). Kalangan millet boleh membuat hukum sendiri, membentuk pengadilan milli, mengumpulkan dan mendistribusi pajak sendiri.
Sistem ini memberi jaminan kepada kalangan non-Muslim sejumlah bentuk otonomi baik dalam hal agama maupun non-agama, yang berarti bahwa Kekaisaran Ottoman, menurut Braude dan Lewis, merupakan sebuah contoh klasik masyarakat pluralis (Braude & Lewis, 1982: 1). Dengan demikian, baik sistem dhimma maupun millet keduanya didasarkan pada pengertian toleransi agama yang sudah ada berabad-abad sebelum prinsip kebebasan ini diangkat oleh John Locke (1632 – 1704). Premis yang ada di belakang hal ini adalah bahwa supremasi politik dan dominasi Islam (atas yang lain) bersifat necessary, tetapi sama sekali tidak mengandung pengertian uniformitas agama. Dalam Islam pemaksaan beragama dikutuk. Iman/keyakinan sebagai masalah privat sangat ditekankan, sekalipun di sana-sini ada kasus kecil pemaksaan perpindahan agama (Hourani, 1947: 18).
Walaupun merupakan sebuah masyarakat pluralistik, dhimma bukanlah sebuah sistem liberal, karena prinsip religious tollerance tidak mencakup individual freedom of conscience: ‘hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali ruang bagi individual dissent dalam setiap komunitas agama, demikian juga tidak ada atau sedikit sekali kebebasan untuk berganti keyakinan (Kymlica, 2002: 230). Seseorang bebas beragama dalam pengertian bebas untuk memeluk agama Islam (menjadi mualaf) tetapi tidak punya kebebasan untuk memilih dan/atau berganti keyakinan sebab terancam sangsi bagi mereka yang murtad.
Ada toleransi yang diberikan kepada kalangan non-Muslim tetapi kedudukan mereka tetap tidak setara: ‘the non-Muslim was excluded from the polity’ (Lewis, 1988: 66), dan tidak memiliki legal parity dengan kaum Muslim. Misalnya, kesaksian seorang non-Muslim tidak akan dianggap sama validnya dengan kesaksian seorang Muslim. Juga diyakini bahwa kalangan dhimmī tidak boleh memegang jabatan sebagai penguasa atas orang Muslim, didasarkan pada ayat Quran: ‘[…] dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir [untuk memusnahkan orang-orang beriman] (QS, 4:141).
Sekalipun Kekaisaran Ottoman memperlakukan komunitas Kristen dan Yahudi dengan adil dan memberikan mereka sejumlah otonomi, namun masyarakat seperti itu tidak dapat disebut multikultural karena masyarakat seperti itu pada dasarnya adalah sebuah komunitas Muslim yang kebetulan mencakup juga komunitas non-Muslim yang disebut dhimmī yang bermakna the protected communities (Parekh, 2006: 7).


Daftar Pustaka

Braude, B. & Lewis, B. 1982. ‚Intriduction’, in Braude, B. & Lewis, B. (eds.). Christian and Jews in the Ottoman Empire: The Functioning of a Plural Society, Vol. 1. New York: Holmes & Meier: pp. 1-34.
Cahen, C. 1965. ‚Dhimma’ in Encyclopedia of Islam, 2nd edn. Vol 2 (Leiden, The Netherlands: Brill), pp. 227-231.
Coulson, N. 1964. A History of Islamic Law. Ediburgh: Edinburgh University Press.
Gründer, Horst (1995) ‘Christian Mission and Colonial Expansion – Historical and Structural Connections’ in Mission Studies, Vol.XII, 23, 1995.
Hourani, A. 1947. Minorities in Arab World. Oxford University Press.
Isḥāq, Ibn. 1968. The Life of Muhammad: A Translation of Ishāq’s Sīrat Rasul Allāh, ed. Ibn Hisham, trans. A. Guilaume , Lahore: Oxford University Press.
Kymlicka, W. 1995. Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Clarendon Press.
______. 2002. Contemporary Political Philosophy: An Inroduction, 2nd edn. Oxford University Press.
Lewis B. et al. (1965) The Enciclopedia of Islam, Vol II, London: Luza & CO.
Lewis, B. 1988. The Political Language of Islam. Chicago/London: University of Chicago Press.
Parekh, Bhikhu. 2006. Rethinking Multiculturalism – Cultural Diversity and Political Theory. 2nd.ed. Palgrave Macmillan.
Robinson, Francis (1987). Atlas of the Islam World Since 1500. Facts On File Publications, New York.
Sylvia G. Haim (ed) (1976) Arab nationalism: An Anthology, Los Angeles: University of California.
Scott, Rachel M. 2007. “Contextual Citizenship in Modern Islamic Thought” in Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 18 Number 1 January.
Watt, David Harrington (2004) – ‘The Meaning and End of Fundamentalism’, Religious Studies Review. Volume 30, Number 4 / October 2004: 271-274.

Online resources:




[1] Laporan The Wahid Institut yang menyoroti aktor kerasan yang dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan itu menyebutkan: “Dilihat dari pelaku pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2010, pemerintah daerah (pemda) dan kepolisian adalah institusi yang terbanyak melakukan pelanggaran, masing-masing 31 kasus atau 36 persen. Selain dua institusi tersebut, pelaku pelanggaran lainnya adalah pengadilan sebanyak 6 kasus (7 persen), aparat kecamatan atau kelurahan 6 kasus (7 persen), TNI 5 kasus (6 persen), kejaksaan 3  kasus, Kantor Kementerian Agama, pemerintah pusat, Bakorpakem, masing-masing 1 kasus. […] Sedang untuk kategori pelaku tindakan intoleransi dan diskriminasi terbanyak masih didominasi kelompok-kelompok keagamaan. Tertinggi adalah Front Pembela Islam (FPI) di berbagai daerah. Sepanjang tahun 2010, kelompok ini melakukan 24 tindakan atau 30 persen dari tindakan intoleransi. Ormas dan kelompok lain setelah itu Majlis Ulama Indonesia sebanyak 11 tindakan (14 persen) dan Forum Umat Islam (FUI) 9 tindakan (11 persen).”
Laporan itu juga mengutip sumber Kepolisian RI yang menyebutkan bahwa , bahwa Jika pada 2007 terjadi 10 kekerasan, turun di 2008 menjadi 8 kasus, pada 2009 jumlahnya melambung hingga 40 kasus dan terus naik menjadi 49 kasus pada 2010. Jika ditotal, maka telah terjadi 107 tindak kekerasan oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR) selama 3 tahun ini. Artinya, organisasi kemasyarakatan itu beraksi satu kali tiap 10 hari. Dan dari 107 kasus yang disidik tuntas, masih menurut Bambang, 36 kasus sudah dilimpahkan ke penuntutan. (http://www.wahidinstitute.org/Agenda/Detail/?id=398/hl=id/Laporan_Akhir_Tahun_Kebebasan_Beragama_2010_The_Wahid_Institute. Diakses pada tanggal 22 Dosember 2010.)
[2] Terma islamism dan islamist merujuk pada pengertian Islam politik, yaitu cara pandang yang menjadikan Islam sebagai ideologi kehidupan politik, dengan salah satu ciri yang paling dominan adalah perjuangan penegakkan dan/atau pemberlakuan Sari’a sebagai sumber hukum positif, dengan tujuan akhir membangun Negara Islam atau khilafah.
[3] “Derajat toleransi di kalangan muslim Indonesia rendah, sebaliknya kekuatan Islamisme atau fundamentalisme Islam cenderung meningkat. Hal itu terlihat dari meningkatnya keberatan terhadap nonmuslim menjadi guru di sekolah umum dan penolakan pembangunan rumah ibadah nonmuslim. Hasil survei keberatan masyarakat jika nonmuslim membangun rumah ibadah pada 2008-2010, meningkat dari 51,4% menjadi 57,8%. Begitu pun keberatan jika nonmuslim menjadi guru di sekolah umum pada periode yang sama naik dari 21,4% menjadi 27,6%. Menurut Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Jajat Burhanudin, sikap intoleransi keagamaan memiliki korelasi positif dengan Islamisme. Hal ini berarti semakin seseorang bersikap tidak toleran sangat mungkin dia mendukung agenda-agenda Islamisme di bumi Indonesia" (Media Indonesia Online: Toleransi Beragama Kian Rendah. Rabu, 29 September 2010.
[4] The Wahid Institut, Ibid.
[5] The Wahid Institte,  Ringkasan Eksekutif Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, hal. 10-11.
[7] The Wahid Institut, Ibid.
[8] The Wahid Institte,  Ringkasan Eksekutif, hal. 8.
[9] Ketika terjadi Perang Acheh (1873-1904) pemerintah Hindia Belanda menyadari kesalahan fundamental yang menyebabkan kekalahan mereka dalam dua ekspedisi menaklukkan Acheh (kini Aceh), yaitu ketidaktahuan mereka tentang Acheh. Pemerintah Hindia Belanda lalu mengudang Christiaan Snouck Hurgronje, professor studi Islam di Universitas Leiden ubntuk melakukan sebuah studi secara menyeluruh tentang Acheh. Hasil studi Snouck Hurgronje tenang orang Aceh ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku antara tahun 1893-94. Buku tersebut kemudian menjadi "castle strategy" yang memperkuat basis pertahanan pasukan Belanda. Studi Snouck Hurgronje telah menjadi pembuka jalan bagi mulusnya penaklukan Acheh, terutama semasa pemerintahan J.B. van Heutsz sebagai Gubernur Sipil dan Militer di Acheh pada tahun 1899. Penaklukan seluruh wilayah Acheh terjadi pada masa pemerintahan Heutsz dalam tahun 1904.
[10] Ali MustofaSaat Umat Kristen Hidup dalam Naungan Islam‘ suara pembaca dalam Detik.com,  Sabtu, 25/12/2010. http://suarapembaca.detik.com/read/2010/12/25/111242/1532421/471/saat-umat-kristen-hidup-dalam-naungan-islam. diakses pada tanggal 26 Desember 2010.
[11] "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi", sumber: Ali Mustofa, Ibid.
[12] „Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453 Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. […] Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan Muhammad II. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adi". sumber: Ali Mustofa, Ibid.
[13] Konstitusi itu menjamin syarat-syarat antara Muhammad dan komunitas religiusnya dengan tujuh suku Medina lainnya pada tahun 627 Masehi. Para pihak yang terikat dalam kontrak itu, baik Muslim maupun Yahudi, sepakat mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka. Orang Yahudi sebagai pemeluk agama monoteis jelas dibedakan secara istimewa dari orang-orang kafir Arab lainnya pada saat itu, yang disebut kaum mushrikūn. Orang Yahudi mendapat perlindungan dari negara dan dijinkan menjalankan keyakinan agama mereka dan berhak memiliki kekayaan. Mereka dilindungi tetapi tidak memiliki posisi yang setara: Dokumen itu juga mengatakan bahwa‘a believer shall not slay a believer for the sake of unbeliever, nor shall he aid an unbeliever against a believer’. Muslim dan Yahudi bersama-sama membentuk suatu komunitas (umma), walau pada saat yang sama dinyatakan bahwa kaum Muslim membentuk sebuah umma atas dasar afiliasi religius yang berdampak pada exclusion semua pihak yang lain (Ibn Isḥāq, 1968: 232-233).
[14] Menurut mashab Ḥanafī dan Malīkī di dalam Dhimma juga termasuk kalangan non-Muslim lain.
[15] Di mata banyak ahli hukum abad pertengahan, jiyza dipandang sebagai sebuah (bentuk) pembayaran bagi orang kafir (kufr) (Ibn Kathir, 2000: 405) atau sebuah ‘punishment for infidelity’ (hukuman karena kekafiran) dan merupakan sebuah ‘instrument of humiliation’ (alat untuk merendahkan) (Fattal, 1958: 266). Kontrak dhimma memberikan kepada warga non-Muslim jaminan keamanan atas nyawa dan hartabendanya, juga pertahanan/pembelaan terhadap musuh, communal self-government, dan kebebasan menjalankan keyakinan agama. Warga dhimmī diperkenankan menjalankan organisai-organisasi agama mereka, juga personal status codes yang mencakup perkawinan, perceraian, pewarisan, penjagaan, dan dilaksanakan oleh pengadilan mereka sendiri (Scott, 2007:3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar