Jumat, 28 Januari 2011

MENGAPA MEREKA MEMPROVOKASI MASYARAKAT INDONESIA DI JERMAN?

oleh Robert B. Baowollo

Dalam dua hari ini sejumlah warga Indonesia yang bermukim di Jerman tiba-tiba dihebohkan oleh informasi menyesatkan dari tanah air via email, sms, BB-Messages etc. yang meminta agar warga Indonesia di negeri ini  melakukan aksi ikut memilih untuk membela hak-hak warga Muslim di Jerman. Seruan-seruan membela Islam tersebut didasarkan pada berita media massa Jerman, bahwa seolah-olah Islam dan Umat Muslim di Jerman sedang ditindas. Bahkan seruan tersebut, untuk meyakinkan target groupnya, mengutip kalimat dalam sebuah pooling TV di Jerman pada bulan Oktober 2010 (http://www.tagesschau.de/inland/wulffrede112.html) namun dengan terjemahan yang kelewat dungu atau dengan sengaja didungukan.
 Saudara saya,  Dyah Narang-Huth dari Hamburg, misalnya, mengutip kalimat dalam pertanyaan pooling bulan Oktober 2010 yang disesat-terjemahkan itu dengan menulis: „ Masa kalimat di dalam pengambilan suara ‘Gehört der Islam zu Deutschland‘ diterjemahan begini: di Jerman sedang ada pemilihan suara mengenai apakah 'Islam sebuah agama, dan layak diakui?“ (lihat judul thread di Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php?p=356445530; atau http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=65073).

Hanya ada tiga kemungkinan sumber kesalahan tersebut: pertama, wartawan atau siapa pun yang mengutip dan menerjemahkan pertanyaan dalam pooling tersebut sedang melakukan interpretasi MELAMPAUI apa yang dimaksudkan oleh penyusun pertanyaan pooling itu sendiri maupun pemahaman masyarakat Jerman yang bisa berbahasa Jerman dengan baik dan benar; kedua, kalimat tersebut dikutip oleh orang yang sangat pintar namun memiliki pola pikir paranoid, prejudice, dan berusaha membelokkan persoalan untuk kepentingan agenda politik mereka; ketiga, semangat orang itu untuk membela Islam melampaui kemampuan ia menguasai bahasa Jerman dengan baik dan benar (mungkin belum sampai lulus G-1 tetapi sudah bertingkah seperti ahli bahasa Jerman).

Perlu Mendudukkan Persoalan dalam Konteksnya
Perasaan menjadi minoritas disertai dengan akumulasi berbagai keluh-kesah sebagai kelompok yang terpinggirkan (gejala marginalized deprivation) pada komunitas-komunitas Muslim di Eopa yang memiliki akar kultur Kristen sama esensinya dengan keluh-kesah kelompok-kelompok minoritas Kristen di negeri-negeri dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Indonesia. Kadar penderitaan maupun keistimewaan kelompok-kelompok minoritas di negeri-negeri Barat dan Timur berbeda-beda, tergantung dari karakter rejim yang berkuasa dan tingkat keterbukaan serta kadar iklim toleransi di masing-masing negeri. Benarkah pemerintahan Jerman di bawah pimpinan Presiden Christian Wulff saat ini sedang menekan kelompok-kelompok minoritas, terutama komunitas Muslim? Jika ada pro dan kontra tentang keberadaan kelompok Muslim di Jerman (dan juga di Eropa pada umumnya), adakah semuanya ini merupakan persoalan politik identitas, nasionalisme, dan keagamaan yang bergulat di masa lampau dan mulai berakumulasi dan menjadi konflik politik terbuka saat ini? Tanpa memahami konteks politik integrasi Jerman saat ini, tindakan memberi label atau penilaian tidak bersahabat kepada sebuah negara ibarat orang dungu yang keluar dari dalam gua gelap gulita dan bertemu orang-orang di pasar yang terang-benderang sambil berteriak: di dunia ini hanya akulah yang paling tau semua hal di dunia kalian. Dan Anda tahu seperti apa cibiran orang-orang yang mendengar ocehan ngawur tersebut.

Debat Politik Integrasi dan Keberadaan Komunitas Muslim di Jerman
Jika masyarakat majemuk di Amerika mempunyai persoalan multikulturalisme dan menginginkan pembauran semua warganya dalam terma „salad bowl“ maka Jerman justru mengalami persoalan interkulturalisme dan karena itu mengedepankan politik integrasi. Dalam politik integrasi itu pemerintah Jerman berharap masyarakat pendatang yang berbeda latarbelakang akar kultur semisal kultur Islam mampu berintegrasi dengan masyarakat Jerman yang memiliki akar kultur Kristen.

Terlepas dari berbagai kekurangan dan cacat implementasi politik integrasi tersebut, Jerman dari masa ke masa, melalui politik integrasi, konsisten untuk membuat warga pendatang bisa betah dan saling memahami secara memadai baik secara bahasa maupun secara kultur yang lebih luas dalam sebuah semboyan besar yang semula berbunyi „Wir sind das Volk“ menjadi “Wir sind ein Volk“. Kedua kalimat ini menunjukkan pergeseran paradigma yang mendasar, juga cakupan pemaknaannya, secara politik, budaya, dan bahkan teologis. „Wir sind ein Volk“ tidak saja menegaskan bahwa penyatuan Jerman Timur dan Barat menjadikan semua warga Jerman satu bangsa (ein Volk) tetapi juga berimplikasi pada pengakuan bahwa semua yang hidup dalam wilayah teritori Jerman, apalagi memegang status kewarganegaraan Jerman, adalah satu bangsa dan tidak ada warga kelas dua. Ditinggalkannya paradigma "wir sind das Volk" menunjukkan kesadaran untuk keluar dari klaim 'super-ego' nasionalisme ekslusif Jerman dalam frasa "wir sind das Volk".

Pernyataan Presiden Jerman Christian Wulff pada peringatan Hari Penyatuan Kembali Jerman itu merupakan pernyataan pertama yang paling berani dan jelas terang benderang tentang sikap politik Jerman terhadap warga pendatang. Pernyataan itu pun merupakan angin balik di tengah wajah Eropa yang semakin bercitra tidak bersahabat dengan Islam, bangkitnya nasionalisme sempit Jeman dalam slogan „Leitkultur“ dan terbitnya buku provokatif  Thilo Sarrazin (Deutschland Schafft sich ab) yang mencemaskan Jerman kehilangan identitas kulturnya sebagai sebuah bangsa.

Di depan parlamen Turki di Ankara, Presiden Republik Federal Jerman, Wulff,  dengan tegas mengatakan bahwa „Migranten gehören zu Deutschland .... , und sie müssen sich integrieren“ (Zeit Online, 19.10.2010) dan menegaskan dengan kalimat yang sangat bersahabat: „Unsere Mitbürgerinnen und Mitbürger türkischer Herkunft sind in unserem Land herzlich willkommen und sie gehören zu unserem Land" [...] „Als ihr aller Präsident fordere ich, dass jeder Zugewanderte sich mit gutem Willen aktiv in unsere deutsche Gesellschaft einfügt.“ (WELT ONLINE 19 OKTOBER 2010).
Kepada harian Hürriyet di Turki, Wulff juga membela kaum migran Turki dari tudingan kolalisi UNION tentang ketidaksediaan kaum pendatang untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Jerman: “"Zu behaupten, eine ganze Gruppe könne und wolle sich nicht integrieren, halte ich für falsch "[...]  "Ich wende mich gegen jedes Pauschalurteil" -- sebagai kontra-argumen terhadap kritik keras dari Ministerpresident Bayern, Horst Seehofer (CSU) yang berpendapat bahwa imigran dari Turki dan dari negara-negara Arab sangat sulit berintegrasi semata-mata karena mereka berasal dari kelompok kultur yang berbeda.

Pernyataan Wulff di Ankara tersebut hendak menegaskan kembali isi pidatonya pada peringatan Hari Penyatuan Kembali Jerman (3 Oktober) di mana Wulff dengan tegas mengatakan bahwa semua orang yang hidup di Jerman harus menghormati tatakehidupan sosial di Jerman. Peringatan itu ditujukan kepada semua pihak di bekas Jerman Timur dan Barat, kaum migran dari dunia ketiga, juga mereka yang disebut Spätzuwanderer atau warga Jerman yang terceraiberai dalam PD I dan II lalu kembali lagi ke Jerman.

Dalam pidatonya itu Wulff juga dengan jelas mengatakan bahwa Islam pada saat ini telah menjadi sebuah realitas dalam kehidupan sehari-hari di Jerman. Wulff memang mendapat applaus bertubi-tubi dari anggota parlamen Turki tetapi cibiran dari barisan Union (CDU dan CSU) (ZEIT ONLINE 20 OKTOBER 2010). Wulff bahkan diejek dengan sebutan “Muslim Wulff” = Wulff yang Muslim (Taraf) dalam majalah Focus.

Kritik keras dari Ministerpresident Bayern, Seehofer, terhadap isi pidato Wulff menyebutkan "Ich habe ihn nicht so verstanden, dass er die christliche Religion und den Islam für die Wertorientierung in unserem Land gleichsetzt" menunjukkan dua hal, pertama, substansi debat adalah politik, tepatnya politik kebudayaan, bukan agama; kedua,  adanya ketakutan terancamnya kultur Jerman yang berakar dari kekristenan dan berdampak pada kekaburan orientasi nilai-nilai. Jika demikian esensinya, apa beda posisi politik CDU/CSU di Jerman dengan PKS atau PPP di Indonesia? Sama saja!

Ketua fraksi Partai Hijau di Parlamen, Renate Künast, bahkan menuduh Seehofer  sebagai sedang memerankan "Rechtspopulisten". Bahkan Ketua Partai Hijau, Claudia Roth menuntut Seehofer untuk meminta maaf kepada semua imigran yang berasal dari Turki dan dari negara-negara Arab. Perlawanan dari lini FDP semakin jelas menunjukkan apa sesungguhnya substansi debat mengenai kaum imigran ini. Lasse Becker, ketua organisasi pemuda Julis (FDP) pada tingkat federal  menyerang Seehofer dengan mengatakan "Wir brauchen qualifizierte Zuwanderer, da ist der Kulturkreis egal, wenn die Qualifikation stimmt."

Apa tanggapan Komunitas Muslim di Turki dan di Jerman?

Pernyataan presiden Jerman bahwa “der Islam gehöre zu Deutschland wie das Christen- und das Judentumt” mendapat tanggapan dan respek dari kalangan Muslim di Jerman. Ketua Umum  Zentralrat (semacam Majelis Ulama) Muslim di Jerman, Aiman Mazyek mengatakan: "Wulffs Rede war ein Zeichen, dass die Muslime keine Bürger zweiter Klasse sind." Der Bundespräsident habe klargemacht: "Verschiedene Lebensentwürfe und Vielfalt sind erwünscht."
Jika pernyataan presiden Republik Federal Jerman tentang keberadaan Umat Muslim di Jerman sedemikian jelas dan tegas dan terhormat, lalu dimana masalahnya sehingga manusia keblinger di luar Jerman memprovokasi warga Indonesia untuk turun ke jalan menuntut hak mereka?

KUTIPAN PIDATO WULFF

Kutipan Pidato Kenegaraan Presiden Republik Federal Jerman pada Peringatan Hari Penyatuan Kembali Jerman (ZEIT ONLINE 4. 0KTOBER 2010) kiranya dapat menjadi penjelasan apa sesugguhnya yang diharapkan pemerintah Jerman terhadap warga pendatang dan apa yang salah dalam persepsi para fundamentalis di negeri ini yang ingin memperkeruh suasana di Jerman.

“Wir sind ein Volk! Dieser Ruf der Einheit muss heute eine Einladung sein an alle, die hier leben. Eine Einladung, die nicht gegründet ist auf Beliebigkeit, sondern auf Werten, die unser Land stark gemacht haben. Mit einem so verstandenen Wir wird Zusammenhalt gelingen zwischen denen, die erst seit kurzem hier leben, und denen, die schon so lange einheimisch sind, dass manche vergessen haben, dass auch ihre Vorfahren von auswärts kamen.

Wenn mir deutsche Musliminnen und Muslime schreiben: Sie sind unser Präsident" dann antworte ich aus vollem Herzen: Ja, natürlich bin ich Ihr Präsident! Mit der gleichen Leidenschaft und Überzeugung, mit der ich der Präsident aller Menschen bin, die hier in Deutschland leben. (....).

Ja, wir haben Nachholbedarf, ich nenne nur als Beispiele: Integrations- und Sprachkurse für die ganze Familie, Unterrichtsangebote in den Muttersprachen, islamischen Religionsunterricht von hier ausgebildeten Lehrern und selbstverständlich in deutscher Sprache. Und ja, wir brauchen viel mehr Konsequenz bei der Durchsetzung von Regeln und Pflichten etwa bei Schulschwänzern. Das gilt übrigens für alle, die in unserem Land leben.

Zuallererst brauchen wir aber eine klare Haltung: Ein Verständnis von Deutschland, das Zugehörigkeit nicht auf einen Pass, eine Familiengeschichte oder einen Glauben verengt, sondern breiter angelegt ist. Das Christentum gehört zweifelsfrei zu Deutschland. Das Judentum gehört zweifelsfrei zu Deutschland. Das ist unsere christlich-jüdische Geschichte. Aber der Islam gehört inzwischen auch zu Deutschland. (...)

2 komentar: