Minggu, 24 Oktober 2010

KETIKA PLAUSIBILITAS MEMATIKAN UNDANGAN KE DALAM DISKURSUS DAN COMPASSION

 
Robert B. Baowollo
Saya baru saja memprovokasi pembaca di dinding Facebook-ku dengan kejadian nyata dan aktual, tragedi seorang gadis cacat fisik yang kembali mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang tergeletak di atas meja operasi UGD RS Dr. Sarjito Jogjakarta. Kaki kanannya yang cacat itu kini menjadi semakin cacat: tulang pahanya patah. Padahal selama ini berbagai upaya sudah dilakukan untuk kesembuhan kaki yang cacat itu. Beberapa waktu sebelumnya seorang anak muda, pria agak menderita cacat mental, mati tertabrak kendaraan. Kedua orang cacat ini secara pribadi amat dekat dan bersahabat dengan saya. Karena itu ketika mendapat kabar bahwa gadis cacat itu sedang tergeletak kesakitan di atas meja operasi karena kecelakaan, aku menulis stastus di dinding Facebook dengan meminjam jurus Albert Camus (absurditas) mempertanyakan eksistensi Tuhan di saat manusia dalam penderitaan (untuk topik ini lihat: http://peacindo.blogspot.com/2010/07/kristianitas-dan-ateisme1.html).

Status di dinding Facebook segera mendapat tanggapan: yang pertama menasihati saya untuk menerimanya saja dan yakin bahwa Tuhan pasti punya rencana di balik setiap musibah. Tanggapan yang kedua menganggap aneh dengan posting tersebut dan tidak setuju dengan cara pandang SAYA. Ia juga tidak ingin mengungkapkan ketidak-sukaannya dan menganggapnya sebagai hal yang memang tidak akan perlu.Saya mengucapkan respek dan terimakasih kepada kedua penanggap posting saya itu.


Tulisan ini mengangkat apa yang saya sebut dalam judul di atas: KETIKA PLAUSIBILITAS MEMATIKAN UNDANGAN KE DALAM DISKURSUS DAN COMPASSION. Kedua penanggap saya hanya sampai pada (1) menangkap, memahami, dan menanggapi jalan pikiran saya, dan (2) tidak masuk ke dalam OBYEK PEMIKIRAN saya. Saya sibuk dengan obyek pemikiran (seorang gadis cacat yang mengerang kesakitan di atas meja operasi di ruang UGD), sementara kedua penanggap saya memilih sibuk dengan jalan pikiran dan bahasa saya (sebagaimana terwakili dalam posting di dinding Facebook) ketika membahasakan obyek pemikiran saya. Tidak ada yang tertarik untuk menanyakan keadaan perempuan malang itu, apakah masih hidup atau sudah mati.

Apa makna plausibilitas? Plausibilitas secara sederhana dapat diartikan sebagai "adanya jawaban siap pakai manakala ada pertanyaan datang". Plausibilitas mengandaikan orang tidak perlu berpikir serius karena cukup mencopot salah satu jawaban instan yang tersedia dalam loket/laci memorinya. Dengan memberi jawaban instan seolah-olah sebuah pertanyaan/persoalan telah tejawab TANPA perlu melakukan ANALISIS DISKURSUS tentang hakekat dan substansi pertanyaan itu sendiri.

Dalam kasus ini, jawaban plausible pertama adalah "Tuhan pasti punya rencana di balik setiap musibah". Terhadap jawaban ini saya langsung mengajukan gugatan dengan menyebutnya: itulah jawaban/tanggapan instan yang selalu diberikan untuk menghibur. Tentu saja, ruang debat di sini bukan teologi tetapi diskursus yang bisa mengambil obyek apa saja termasuk tentang Tuhan. Dengan mengajukan dan menanggapi pertanyaan, obyek pemikiran sama sekali tidak disentuh, tetapi oleh salah satu pihak, seluruh diskursus dianggap sudah selesai. Jawaban yang kedua, lebih merupakan protes, tentu amat baik dalam proses pengembangan diskursus: bagaimana mengkaji dan memperbaiki sebuah pertanyaan lama menjadi sebuah pertanyaan baru yang lebih jelas dan lebih berbobot. Sayangnya, peluang ini tidak terjadi karena si penanggap hanya mengatakan ketidak-setujuannya dan menutup pintu argumentasi.

Kedua tanggapan di atas sama sekali tidak masuk ke dalam zona empati dan bisa berakhir dengan pembentukan sikap berpihak dan/atau ungkapan belarasa (compassion). Mereka hanya berkepentingan dengan pemikiran dan jalan pikiran saya dan bukan dengan obyek pemikiran saya, yaitu tentang seorang perempuan cacat yang tergeletak di atas meja operasi ruang UGD. Diskursus gagal mengemban fungsi ultimate-nya. Diskursus hanya sibuk dengan dirinya sendiri.

Ketika terjadi aksi serangan terorisme di tanah air semua fokus perhatian dan pembicaraan diarahkan pada obyek diskursus terorime yaitu teroris, aksi teror dan korban terorisme. Sementara segelintir orang cepat-cepat memilih menuding Amerika yang berada di balik semua aksi itu dan dengan demikian wacana terorisme dialihkan menjadi wacana peran Amerika dan anti-Amerika. Korban ledakan bom yang merintih, hilangnya orang-orang yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, hilangnya orang-orang yang dikasihi - semuanya bukan obyek perhatian mereka. Wacana anti-Amerika telah menjadi isu pengalih yang amat sempurna dari kemungkinan memasuki ruang penderitaan para korban. Adalah prasangka yang membuat orang cepat-cepat lari kepada argumentasi plausible-instan untuk memberi jawaban atas pertanyaan siapa dan mengapa ada terorisme. Dengan argumentasi siap pakai itu maka wacana tentang korban dinyataan selesai. Compassion menjadi mustahil, menjadi tamu wacana yang tidak diundang.

Ketika saya kembali dari Leiden ke Hamburg saya harus mencari apartemen atau asrama mahasiwa baru. Dalam masa pencarian itu ada sebuah keluarga dari Manado menerima saya untuk menginap sementara. Dalam hari-hari selanjutnya saya berjumpa dengan dua orang Melayu (Indonesia) lain. Mereka bertanya panjang lebar tentang saya tinggal di mana, apakah sudah mendapat tempat/apartemen, dan sudah mencari dimana saja dan sebagainya dan seterusnya. Salah satu dari penanya itu juga mempersoalkan: "apakah di rumah orang Manado itu masih ada kamar kosong?" dan ditanyakan dengan nada amat sinis. Setelah mereka menguliti saya habis-habisan dengan semua pertanyaan mereka, mereka pun melangkah pergi, dengan ringan  meninggalkan saya begitu saja dengan perasaan  telah ditelanjangi habis-habisan (mungkin karena saya terlalu polos menceritakan masalah saya dan terlalu naif percaya pada orang-orang ini), tak ada yang memberi jalan keluar pada saya. Mereka hanya ingin tahu persoalan saya, dan bukan hendak mendengar kesulitan saya lalu mau membagi solusi atau berbela rasa dengan saya.

Dalam realitas sehari-hari, fenomena mematikan diskursus dengan memakai azas plausibilitas cukup banyak dijumpai. Suatu ketika kami sedang mengagumi seorang perempuan Indonesia memainkan piano dalam sebuah acara diplomatik. Tiba-tiba seorang teman muncul dan tanpa diminta langsung memberi penjelasan panjang lebar tentang siapa perempuan itu. Ia hendak meyakinkan semua orang bahwa ia mengenal perempuan itu dan bahwa "hasil pengenalannya itu" (baca: pengetahuannya tentang perempuan itu) ialah bahwa perempuan itu punya sisi negatip dalam kisah masa lalunya. Orang menunggu apa lagi yang hendak diceritakan orang itu tentang si pianis lincah ini. Ternyata hanya itu saja. Ia hanya datang untuk mengemukakan pengetahuannya (yang sangat parsial) dan bahwa dia sama sekali tidak mau tahu tentang aspek-aspek yang lain dan hal-hal baik dari perempuan itu seperti bakat luar biasa perempuan itu, juga ia tidak berkepentingan dengan rasa kagum para penikmat musik klasik yang dimainkan dari jari lentik perempuan itu. Mengapa ada "orang sakit" yang tidak sudi melihat dan menghargai kebaikan orang? Dan dalam prinsip plausibilitas di atas, dalam beberapa tahun ke depannya, setiap kali perempuan itu tampil memainkan piano atas undang perwakilan RI, maka pria tadi juga SIAP DENGAN PENJELASAN INSTAN bahwa ada catatan negatip dalam sejarah masa lalu perempuan itu. Pengetahuannya yang sedikit tentang perempuan itu telah menjadi satu-satunya pengetahuan tentang perempuan itu. Maka dalam wacana plausibilitas dan prinsip pengembangan diskursus, orang semacam ini memiliki pola pikir interpretatif dan evaluatif, bukanlah komunikan yang baik dan bersahabat. Ia menutup pintu menuju substansi masalah dan apresiasi atas kelebihan obyek diskursus.

Dari mana datangnya behavior seperti ini? Konteks sosial seperti apa yang membentuknya? Ketika saya mengirim posting di dinding Facebook ini meminta tanggapan pembaca, apa yang harus saya lakukan ketika ada tetangga yang menampung air limbah di kolam terbuka dan menimbulkan bau yang sangat menyengat, ada empat tanggapan dari dua latar belakang kultur yang berbeda: tanggapan pertama bertanya untuk klarifikasi dan memberi saran apa yang harus dilakukan sampai sangat operasional. Penanggap kedua hanya bertanya saya tinggal di mana. Penanggap ketiga mengatakan sulit untuk memberi solusi. Penanggap keempat menanyakan kondisi dan memberi solusi walau dengan kesimpulan sendiri (retoris) bahwa nampaknya susah. Penanggap pertama dan keempat berasal dari kultur komunikasi yang sama, demikian pula penanggap kedua dan ketiga. Perbedaan gaya komunikasi kultural antara kudua kelompok penanggap ini ialah bahwa kelompok pertama berani masuk ke dalam persoalan karena merasa menjadi bagian dari persoalan saya. Kelompok kedua tidak ingin masuk karena bukan kepentingannya dan KULTUR KOMUNIKASI MELARANG ATAU MENCEGAHNYA UNTUK MASUK ke dalam persoalan orang lain.

Kembali ke judul tulisan di atas dan arguentasi sementara di akhir tulisan ini, nampaknya kita lebih banyak berpikir menurut bagaimana kita dibentuk, dan bukan menurut bagaimana kita seharusnya berpikir secara otonom sebagai pribadi rasional. Plausibilitas ada karena kita malas berpikir dan cukup menarik laci memori/ingatan yang sesuai untuk mengeluarkan jawaban yang dibutuhkan untuk  pertanyaan yang diajukan. Orang Jerman menyebutnya SCHUBLADEN-DENKEN.



Yogyakarta, 23 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar