Selasa, 23 Oktober 2012

KEKERASAN DI TANAH PAPUA: KOMUNALISME, SEPARATISME, DAN SECESSIONISM



KEKERASAN DI TANAH PAPUA: KOMUNALISME, SEPARATISME, DAN SECESSIONISM - (Indonesia Bergerak, 2012: 223-237)
Oleh Robert B. Baowollo[1]


Pengantar

Konflik di Tanah Papua adalah jenis konflik yang kompleks[2]: sebagai konflik multi-facets karena merupakan kombinasi dari banyak ragam dan varian konflik yang saling berkaitan, seperti konflik etnik, agama, politik, separatisme, industri/tambang, agraria/kehutanan, dll.; sebagai konflik multi-levels karena terjadi pada level elite (politik dan tradisional), dan pada level akar rumput, bersifat horizontal dan vertikal – bahkan meminjam instilah Prof. Teuku Jacob, konflik di Tanah Papua merupakan konflik diagonal; sebagai konflik multi-actors karena melibatkan banyak pihak yang berkepentingan, mulai dari unsur sipil, polisi, militer, kelompok suku/etnis, kelompok separatis-OPM, kelompok atau orang terlatih khusus (OTK) tetapi tak teridentifikasi, hingga pihak perusahaan multi-nasional/tambang dan pemegang HPH. Konflik di Tanah Papua juga merupakan konflik multi-agenda/multi-isu karena berada dalam dan/atau mengusung agenda-agenda atau isu-isu besar seperti otonomi khusus, penentuan nasib sendiri, keseimbangan keuangan pusat-daerah, bagi hasil tambang, keterdesakan dan keterpurukan penduduk asli Papua secara sosio-kultural dan sosio-ekonomis akibat derasnya arus migrasi dari luar Papua, hingga masalah hak-hak ulayat, masalah pendidikan, HIV/AIDS[3], dll. Di atas semua itu pelanggaran hak azasi manusia terus berlangsung, nyaris tanpa ada kekuatan yang mampu menghentikannya[4].

Tidak semua pihak, baik di Papua maupun di luar Papua, yang sependapat bahwa konflik di Tanah Papua adalah konflik separatisme. Namun demikian, isu separatisme dalam diskursus besar konflik di Tanah Papua cenderung bersifat embedded (selalu muncul dan menjadi bagian dari setiap diskursus konflik) ketimbang bersifat contingent (muncul jika ada kondisi eksternal yang menjadi alasan manifestasinya). Tentu saja posisi ini terbuka untuk diperdebatkan. Hingga kini belum ada penjelasan yang memadai dan memuaskan tentang akar konflik di Papua. Namun demikian, hampir semua kekerasan yang terjadi di Tanah Papua selalu dikaitkan dengan masalah separatisme. Isu separatisme di Tanah Papua tidak saja merupakan kesimpulan yang menunggu di ujung lorong diskursus kekerasan di Tanah Papua tetapi bahkan merupakan lorong itu sendiri. Pada level praktis-teknis, tema separatisme menjadi hub yang mempertemukan wacana-wacana konflik di Tanah Papua pada berbagai level, aktor, dan agenda. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah: mengapa terjadi kecenderungan untuk membingkai berbagai konflik di Tanah Papua sebagai konflik separatisme? Apakah ada sesuatu yang salah dengan cara pandang kita? Memeriksa cara pandang merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menguji validitas dan reliabilitas alat ukur dan hasil diagnosis atas symptom separatisme serta ketepatan rekomendasi tindakan bagi jalan damai di Tanah Papua.


Komunalisme, Separatisme dan Secessionism

Separatisme dalam kebanyakan wacana publik di tanah air cenderung diperlakukan secara tidak kritis sebagai secessionism. Secara akademik kedua istilah itu lahir dan tumbuh dari dalam dua paradigma konflik yang berbeda (bdk. Oommen, 1990). Secara sederhana, walau agak dangkal, separatisme dapat diartikan sebagai tindakan sebuah kelompok komunal yang merasa tersubordinasi secara sosial, politik, agama, kultural, ekonomi, dan sebagainya, untuk melindungi diri dengan cara menutup diri dari, atau mengisolasi diri dari, suatu kebersamaan dalam sebuah komunitas kolektif yang lebih besar di mana mereka pernah dan masih bergabung. Tindakan itu dilakukan terutama untuk memastikan terjaminnya perlindungan atas kepentingan dan identitas kolektif kelompok sendiri dari invasi dan/atau hegemoni kelompok identitas lain yang lebih besar atau lebih superior yang cenderung mempertahankan dominasi mereka dalam relasi kekuasaan dengan cara memelihara posisi status quo superioritas mereka atas kelompok yang tersubordinasi. Identitas kolektif kelompok itu bisa berujud agama, budaya, adat istiadat, sejarah dan mitologi tentang asal-usul kelompok etnis, regionalisme, dan sebagainya.

Di sisi lain, secessionism berbicara tentang upaya memisahkan diri dari, atau keluar dari, sebuah kebersamaan kolektif karena terdapat berbagai inkompatibilitas dalam ruang kebersamaan yang sudah tidak dapat dinegosiasikan lagi, baik dengan cara-cara nir-kekerasan maupun (terutama!) dengan cara-cara kekerasan. Secessionism adalah tindakan terakhir dari kelompok-kelompok minoritas dan/atau kelompok-kelompok tersubordinasi setelah mereka secara rasional menilai bahwa telah terjadi dead lock dalam politik pengelolaan isu separatisme secara memadai dengan hasil yang memuaskan untuk para pihak yang bersengketa.

Hampir semua hasil studi tentang separatisme dan secessionism menunjukkan bahwa spirit dasar yang mendorong lahirnya ide(ologi) perjuangan separatisme dan secessionism adalah semangat komunalisme. Komunalisme itu bisa lahir dari alasan-alasan yang sangat sederhana seperti kebiasaan berkumpul karena alasan kesamaan identitas kultural dan kepentingan hingga upaya-upaya rekayasa oleh para elite primordial untuk mencari dan mendapatkan dukungan politik. Oleh karena itu, untuk memahami tuntutan separatisme dan/atau secessionism Papua saat ini ada baiknya orang memulainya dengan melakukan beberapa langkah berikut. Pertama, memeriksa bagaimana terbentuknya komunalisme Papua yang berangkat dari upaya kostruksi konsepsi identitas kolektif orang Papua menurut orang Papua (dan berbagai tuntutan yang menyertai diskursus separatism/secessionism Papua) dan bagaimana terbentuknya persepsi orang luar tentang komunalisme Papua (juga dalam konteks yang sama)[5]. Upaya-upaya ini tentu saja tidak memadai dan tidak cukup untuk dibahas dalam tulisan ini.

Kedua, orang perlu melakukan verifikasi atas berbagai isu yang menjadi tuntutan para pihak yang bersengketa yang terungkap ke permukaan dalam diskursus separatisme dan/atau secessionism. Langkah kedua ini sangat menolong untuk membuat semacam typology terhadap substansi berbagai aspirasi separatisme dan/atau secessionism di Tanah Papua pada saat ini: apakah isu-isu dan gerakan separatisme tersebut justru mendarat pada kategori separatist communalism (karena alasan perlindungan identitas kelompok komunal: Papua-Melanesia-Kristen) atau sebaliknya, yaitu bahwa justru isu-isu tersebut masuk dalam kategori welfarist communalism (karena tuntutan untuk memperoleh hak-hak ekonomi dan akses ke dalam sumber daya ekonomi). Pemahaman kita terhadap kedua kategori komunalisme dan tuntutan masing-masing kategori ini sangat membantu kita selanjutnya untuk memeriksa, apakah Jakarta telah memahami secara benar dan lengkap jenis dan kualitas ekspektasi berbagai komunitas sosial-politik di Tanah Papua dan telah memberi tanggapan secara tepat, memadai, dan komprehensif.

Menurut T.K. Oomen (1990), sebuah separatist communalism (yang menuntut otonomi sebagai pengakuan dan proteksi identitas kultural) dapat meningkat menjadi secessionist communalism, yaitu gerakan untuk memisahkan diri dan membentuk sebuah negara terpisah. Namun yang terjadi juga bisa sebaliknya, yaitu gerakan separatist communalism justru mengambil wujud welfarist communalism karena lebih dilandasi oleh motif-motif ekonomi. Perubahan bentuk dan kualitas gerakan komunalisme ini bersifat paradigmatis, sangat tergantung pada (a) sejauh mana tuntutan gerakan-gerakan itu dimaknai, dikemas, dan diartikulasikan oleh setiap kolektivitas yang dimobilisasi oleh para elite mereka; (b) apakah substansi tuntutan-tuntutan itu memadai untuk dipersepsikan sebagai ancaman terhadap (keutuhan) negara, dan dengan demikian menentukan (c) bagaimana negara menanggapi berbagai tuntutan dan ancaman tersebut. Dalam perspektif ini, baik kelompok-kelompok separatis maupun pemerintah berpeluang melakukan kesalahan yang sama dalam meningkatkan kualitas sebuah gerakan dari separatisme menjadi secessionism.

Wacana separatisme dan secessionism Papua saat ini bisa saja tumbuh dari sebuah kesadaran paradigmatis awal tentang etnonasionalisme berbasis kesamaan identitas kultural yang tidak ada kaitannya dengan masalah politik, namun secara bertahap berkembang secara pasti membentuk semangat komunalisme etnis Papua dengan political flavour yang kental. Komunalisme etnis dan agama yang dikemas dalam bahasa politik identitas amat mudah dimanipulasi dan/atau bertranformasi sendiri menjadi komunalisme politik sebagai tanggapan logis terhadap dominannya kualitas politis dalam relasi kekuasaan, terutama dengan pihak-pihak yang superior dan mendominasi kekuasaan. Situasi seperti itu amat mudah mendorong lahirnya embrio ide(ologi) separatime dan/atau secessionism untuk memproteksi identitas dan kepentingan kelompok komunal.

Namun demikian, dalam konteks diskursus separatisme di Tanah Papua, hipotesis yang lebih masuk akal adalah yang sebaliknya: bahwa bangkitnya etnonasionalisme Papua merupakan tanggapan atas persepsi telah terjadinya berbagai tekanan dan ketidakadilan terhadap masyarakat Papua sebagai ‘sebuah kelompok komunal’ (di) Papua – walau kita semua tahu bahwa Papua tidak terdiri dari satu kelompok suku dominan yang bisa mengklaim diri mewakili berbagai suku lain yang ada di Tanah Papua. Proses komunalisme politik dimobilisasi secara intensif – seperti antara lain melalui pembentukan Majelis Rakyat Papua, Dewan Adat Papua, dan lain-lain – sebagai upaya konsolidasi kekuatan kolektif melawan ‘musuh bersama’ yang mengancam kepentingan orang Papua. Di sana ada keyakinan bahwa untuk melawan berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat Papua orang perlu memastikan bahwa semua kekuatan masyarakat di Tanah Papua terkonsolidasi sebagai satu front tunggal. Hanya dengan bersatu maka orang Papua bisa kuat!

Berbagai komunitas adat dan politik di Tanah Papua, seperti halnya Majelis Rakyat Papua dan Dewan Adat Papua sebagai representasi sosio-politik-kultural, melakukan berbagai kegiatan politik dan mengusung agenda dan aturan main politik untuk memperkuat basis identitas kultural kolektif orang Papua dalam rangka mempertegas dan membedakan ingroup dari outgroup mereka[6] – sebuah mekanisme yang oleh V. D. Volkan dilukiskan dengan amat baik sebagai “[...] People with the same identity share targets of externalization—common enemies—which reinforces a shared view of a world filled with enemies and allies”[7]. Selanjutnya, untuk memperkuat efektivitas mobilisasi dukungan dan penguatan etnonasionalisme dalam rangka diseminasi gagasan separtisme dan/atau secessionism orang lalu mengembangkan narasi-narasi pilihan tentang penderitaan dan keterancaman orang-orang Papua dalam perjalanan sejarah[8], setidaknya setelah Perpera tahun 1969, sebagai senjata dan basis legitimasi historis perjuangan bersama melawan apa yang mereka sebut sebagai penderitaan akibat tindakan represif rejim militeristik Indonesia – sebuah strategi perjuangan yang oleh Volkan disebut sebagai fenomena the choosen trauma (Volkan, 1988, 1997).

Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang menangkap sinyal etnosentrisme dan embrio etnonasionalisme dalam diskursus konflik Papua itu dan bertindak segera dengan membuka ruang publik bagi deliberasi wacana identitas komunal etnis Papua serta pengakuan hak-hak sipil-kultural orang Papua[9]. Strategi resolusi konflik Gus Dur, nama panggilan Presiden Abdurrahman Wahid, mengutamakan pendekatan yang menyentuh aspek-aspek deep culture, basic human needs dan deep structure (Freud & Jung) melampaui dimensi-dimensi needs and structure yang berada dipermukaan (Marxian) (bdk. Galtung et.al. 2002: xiii-xxiii). Gus Dur mampu menangkap sinyal kegalauan identitas dan rasa aman orang Papua dan mencoba memberi tanggapan yang menyentuh pengakuan identitas dan harga diri orang Papua – sebuah cara pandang dan pendekatan yang melampaui pragmatisme yang dianut oleh rejim sebelum dan sesudahnya.

Tentu saja kebijakan Gus Dur itu menimbulkan iritasi pada kelompok-kelompok sipil ‘ultra-nasionalis’ yang menjadikan keutuhan NKRI sebagai harga mati, seperti juga halnya pada kelompok militer yang tidak mengenal dan mengakui paradigma resolusi konflik lain selain pendekatan keamanan (security approach) yang mengandalkan kekerasan bersenjata (Widjojo, 2009:70) – sebuah cara pandang hobesian yang tertinggal ratusan tahun tetapi masih dianggap efektif untuk membungkam dan memusnahkan lawan politik dan siapa saja yang dipandang sebagai musuh negara – dalam rangka penegakan rust en orde.

Belajar dari kesalahan politik Presiden B.J. Habibie yang membuka ruang bagi opsi referendum dalam resolusi konflik Timor Timur (sekarang Timor Leste) dengan segala konsekuensinya yang sudah terjadi, kalangan militer, selain memiliki persoalan institusional dengan kebijakan Gus Fur yang men-depolitisasi militer, tidak ingin ruang dialog budaya yang ditawarkan Gus Dur dalam resolusi konflik Irian Jaya itu berkembang tak terkendali dan akhirnya bermuara pada secessionism: referendum atau self determination mengikuti jejak Timor Timur.


OTSUS dan Pemekaran Daerah: Kebijakan Pisau Bermata Dua

Berbeda dengan rejim Gus Dur yang menangkap kualitas resistensi di Tanah Papua sebagai bentuk separatist communalism yang membutuhkan pengakuan, penghargaan dan perlindungan identitas orang Papua, rejim Megawati hingga SBY lebih memandang persoalan konflik di Tanah Papua sebagai gerakan secessionism dan karena itu tidak boleh diberi toleransi sekecil apa pun. Maka persepsi tentang terancamnya keutuhan NKRI dijawab dengan dua strategi paralel: pertama, meredam semangat etnosentrisme Papua agar tidak berkembang menjadi etnonasionalisme yang berujung pada kemungkinan lepasnya Papua dari NKRI (secessionism). Sejak itu semua simbol kultural legal seperti bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua oleh rejim yang berkuasa dinyatakan sebagai ilegal, secara denotatif dianggap sebagai simbol secessionism OPM. Setiap tindakan membawa simbol-simbol kultural tersebut kemudian dikualifikasi sebagai tindakan makar. Dan kita semua tahu tindakan apa yang bakal diambil oleh rejim yang berkuasa atas nama negara jika berhadapan dengan sebuah aksi yang diberi label makar.

Strategi kedua adalah menggiring wacana separatist communalism yang mengusung identity grievances ke arah welfarist separatism. Strategi ini nampaknya didasari oleh greed these berbasis kesimpulan hasil-hasil studi Bank Dunia yang dilakukan antara lain oleh Paul Collier cs. (1998, 2000, 2002) yang menyimpulkan bahwa hampir semua konflik etnis di seluruh dunia dilatarbelakangi oleh motif economic greeds dan terjadi dalam konteks low economic development[10]. Studi-studi itu mengatakan bahwa adalah omong kosong jika ada kelompok-kelompok yang tertibat dalam konflik etnis, intra- and interstate conflicts, yang benar-benar murni memperjuangkan suara-suara ketertindasan (grievances) tanpa motif ekonomi (greed). Yang dominan justru motif ekonomi dan atau hal-hal lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan greed atau ketamakan terhadap akses ke dalam sumberdaya ekonomi. Oleh karena itu konflik dan para aktor konflik perlu ‘disuap’ dengan economic and positional goods.

Jurus politik Jakarta dalam menghadapi resistensi ‘separatisme’ Papua adalah dengan cara menggeser secara sengaja paradigma konflik dari communal separatist yang berbasis semangat etnosentrisme dan etnonasionalisme ke arah konflik welfarist communalist dengan pendekatan consociationalism yang menerapkan mekanisme quasi power sharing. Pendekatan dan strategi ini mengandaikan bahwa seolah-olah di sana ada kontestasi antar komunitas yang tersegregasi menurut garis etnisitas, suku atau agama di Tanah Papua, dan bahwa dengan merangkul para elite dari semua komunitas sosial, politik, agama, dan adat yang tersegregasi itu maka persoalan konflik antar kelompok cukup diselesaikan pada level para elite lintas kelompok komunal.

Disebut mekanisme quasi power sharing karena pendekatan yang dipakai untuk ’menaklukkan’ para elite politik dan kultural di Tanah Papua mengandaikan seolah-olah di sana ada eskalasi konflik komunal dengan kekerasan, dan bahwa di balik konflik itu terdapat persoalan persaingan di antara elite politik dan kultural lokal untuk memperebutkan kekusaan dan akses ke dalam sumber daya ekonomi dengan menunggangi isu ketertindasan komunitas etnis Papua. Yang terjadi sesungguhnya adalah yang sebaliknya, yaitu strategi itu merupakan upaya yang ‘disengaja’ untuk memecahkan-belah dan melemahkan basis dukungan dan semangat etnonasionalisme komunitas sosial dan politik di Tanah Papua, sedemikian rupa, seperti membuka celah bagi praktek politik prebendalism yang membuat orang lupa pada tujuan awal separatist communalism untuk melindungi identitas kelompok etnis dan/atau agama. Prebendalism – perebutan dan upaya monopoli tempat-tempat ‘basah’ – adalah bentuk yang paling kasar dari praktek politik kotor perebutan dan/atau berbagi kekuasaan dan penguasaan akses ke dalam sumber daya ekonomi oleh para elite primordial dan merupakan penjelasan par exellence tentang karakter dasar setiap welfarist communalist.

Akar intelektual pilihan kebijakan pemerintah untuk menangani konflik Papua dengan memakai pintu masuk opsi politik Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah Otonom baru amat mudah dilacak. Model pendekatan consociationalism yang dipakai adalah pendekatan integrative untuk mengurangi konflik etnis dalam perang dengan cara berbagi kekuasaan, antara lain, melalui: a). dispersion of power and territory: kekuasan dan wilayah kekuasaan dipecah dan disebarkan sedemikian rupa sehingga tidak lagi terdapat satu sumbu konflik yang besar dan terpusat; b). devolution of power: bagi-bagi kekuasan – posisi dan jabatan – di antara kelompok etnis, dengan harapan akan terjadi kompetisi intra-etnis pada level lokal; c). inducement for interethnic cooperation: merekayasa peraturan dan sistem pemilihan yang memungkinkan adanya inisiatip kerjasama lintas etnis sebelum pemilihan; d). encourage alternative social alignment: memberi perhatian politik khusus pada kawasan pemukiman campur; dan e). reducing disparities: mengelola sistem distribusi sumber daya yang berkeadilan (Horowitz, 1985:597-600).

Dalam konteks ini, upaya Jakarta untuk meredam berbagai aspirasi dan ketidak-puasan masyarakat Papua dalam bentuk pemberian status Daerah Otonomi Khusus dan pemekaran daerah-daerah otonom (kabupaten) disertai penggelontoran dana Otsus yang nyaris tidak terbatas, terlepas dari semua tujuan mulia untuk memperpendek matarantai birokrasi pelayanan masyarakat, dicurigai sebagai strategi yang mengusung agenda terselubung untuk memecah-belah kohesi dan soliditas etnosentrisme Papua yang dapat berdampak pada proses pelemahan aspirasi separatisme dan/atau secessionism dalam tiga bentuk. Pertama, gagasan pemekaran Povinsi Papua menjadi Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Pupua Tengah (yang sampai sekarang tidak terwujud) disertai inisiatip membentuk Majelis Rakyat Papua ‘lain’ di wilayah Provinsi Irian Jaya Barat yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah Pusat akan efektif memecah basis tunggal front perlawanan etnonasionalisme Papua terhadap dominasi Jakarta.

Kedua, pemekaran daerah-daerah otonom baru berarti tersedianya sejumlah positional goods yang dapat diperebutkan dan/atau dibagi-bagi di antara para elite lokal – sebuah kebijakan yang secara tak terhindari telah mentranformasi konflik vertikal antara Papua dan Jakarta menjadi konflik horizontal antara para elite di tingkat lokal. Dengan cara ini energi perlawanan dari Tanah Papua nyaris habis dipakai untuk memperebutkan berbagai jabatan dan sumber daya ekonomi di daerah.

Ketiga, penggelontoran dana otonomi dan dana pembangunan yang massif ke kabupaten-kabupaten baru di seluruh Tanah Papua tanpa persiapan awal berupa capasity building yang memadai telah menjadi bumerang bagi orang Papua sendiri dalam politik otonomi daerah. Para elite di daerah akan tersandra secara politik oleh kelemahan-kelemahan mereka dalam pengelolaan dana otonomi khusus dalam berbagai bentuk inefisiensi anggaran dan praktek korupsi – sebuah situasi (baca: strategi) yang menempatkan rakyat akar rumput dengan para elite lokal dalam situasi konflik diagonal yang bersifat laten – dan dengan demikian menjadikan para elite lokal sebagai bumper pemerintah pusat dalam menghadapi rakyat yang tidak puas dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat di daerah yang gagal menghadirkan kesejahteraan.

Posisi dan cara pandang seperti ini jelas tidak populer dan tidak nyaman di mata pemerintah. Namun demikian, pendapat yang berbeda seperti ini justru berperan sebagai devils advocate yang amat penting dan bermanfaat sebagai agen kritik yang terus-menerus mengingatkan pemerintah bahwa di balik sebuah posisi politik yang dianut oleh pemerintah masih ada seribu posisi lain dari publik terhadap satu masalah yang sama. Masalah keamanan dan kemanusiaan di Tanah Papua adalah masalah kewargaan dan bersifat publik, bukan domain tertutup ala rejim otoritarian.


Jadi, Apa Sesungguhnya Akar Konflik Separatisme Papua?

Seperti sudah dibahas di bagian awal tulisan ini, isu separatisme hanyalah sebagan kecil dari isu besar konflik dan pelanggaran hak azasi manusia di Tanah Papua yang amat kompleks. Tidak ada penjelasan tunggal, memadai, dan dapat diterima semua pihak tentang akar konflik di Tanah Papua. Namun secara ontologis, penjelasan tentang akar konflik mungkin tidak harus ditemukan langsung pada ruang kajian akar konflik itu sendiri. Kita perlu terlebih dahulu masuk ke dalam wilayah kajian akselerator konflik untuk mengetahui hubungan dialektis antara akar konflik dan akselerator konflik. Memeriksa dinamika konflik pada wilayah akselerator kiranya dapat menolong kita untuk memahami, misalnya, mengapa substansi yang diklaim sebagai akar konflik yang sama dua puluh tahun yang lalu tidak sampai bermanifestasi menjadi violent conflict yang terbuka, meluas dan massif seperti sekarang. Adakah variabel baru yang muncul saat ini de facto tidak/belum ada pada waktu-waktu sebelumnya sehingga konflik pada saat itu tidak sampai bermanifestasi dan bereskalasi luas dan mendapat tanggapan publik seramai sekarang?

Dengan cara bertanya seperti ini maka rumusan pertanyaan dan tindakan re-search untuk menjawab pertanyaan ‘apa akar konflik Papua’ harus bisa melampaui (to go beyond) klaim-klaim berbasis pendekatan Marxian (needs and structure) dan masuk ke dalam wilayah deep culture, basic human needs dan deep structure (Freud & Jung). Level, unit, dan area analisis tidak lagi hanya berkutat seputar struktur sosial ekonomi dan pengelolaan sumberdaya ekonomi yang tidak adil, masalah korupsi, inefisiensi pemerintahan, spekulasi dan debat kusir tentang siapa sesungguhnya yang berada di balik aksi penembakan misterius terhadap waga sipil, aparat keamanan atau keryawan Freeport, dan sebagainya dan seterusnya. Tindakan re-search harus menukik dan masuk ke dalam persepsi orang Papua terhadap semua realitas sosial, ekonomi dan politik yang ada di permukaan tersebut. Mungkin di sana ada persoalan tercederainya harga diri orang Papua oleh arogansi orang luar atau rejim yang berkuasa yang tidak respek terhadap eksistensi orang Papua di tanah air mereka. Mungkin pendekatan Freud dan Jung bisa membantu.

Seperti apa konkretnya pendekatan Freudian itu? Jika suatu tekanan psikologis mencapai kualitas tidak tertahankan maka akan muncul gejala-gejala psikosis yang membuat orang bertindak melampaui kehendak dan kemampuan kontrol emosinya. Berbagai tekanan dan penindasan yang diterima oleh orang-orang Papua, terutama tindak kekerasan oleh rejim militeristik disertai stigmatisasi separatisme secara kategorial akhirnya melahirkan kesadaran kolektif tentang persepsi diri sebagai kelompok komunal yang direndahkan secara sistematis. Aristoteles melukiskannya dengan amat baik sebagai insult (penghinaan)[11]. Persepsi tentang ketertindasan amat mudah bertransformasi menjadi persepsi tentang rasa terhina. Kemarahan orang-orang tertindas yang merasa terhina akibat berbagai perlakuan represif dan ketidak-adilan yang diterima dari waktu ke waktu, dalam teori frustrasi dan agresi, efektif untuk meningkatkan kualitas negative attitude (Alport, 1992: 14-15) hingga mampu memproduksi energi perlawanan yang bahkan melampaui kemampuan rasional para pelaku itu sendiri.

Sementara itu kelompok-kelompok yang teralienasi dan berafiliasi ke dalam kelompok-kelompok separatist/secessionist bersenjata seperti OPM terus mengalami sindrom yang dikenal sebagai paradox of the defender: semakin seseorang membangun pertahanan diri terhadap situasi yang dianggapnya mengancam, semakin orang itu merasa lemah, merasa tidak berdaya dan rentan terhadap ancaman yang dipersepsi. Konsekuensinya: ia merasa semakin tidak aman dan akan terus membangun pertahanan dan melakukan perlawanan (Sandole, 1999: 21). Sayangnya, sindrom semacam ini tidak saja menjangkiti para separatist/secessionist OPM, tetapi juga aparat keamanan Indonesia! Mereka sama-sama merasa terancam dan sama-sama melakukan konsolidasi kekuatan, baik untuk berjaga-jaga maupun untuk menyerang lawan. Dalam bahasa awam: mereka sama-sama berkontribusi membesarkan lawan mereka dalam jumlah dan kualitas.

Kelompok-kelompok ideologis resisten seperti separatist/secessionist maupun teroris berkembang biak menurut metode pembelahan diri ala amoeba: semakin ditekan dan dihancurkan semakin mereka berkembang biak. Banyak orang memang dengan sadar memilih menjadi separatist atau secessionist karena memahami ide awal, ideologi dan tujuan perjuangan. Namun lebih banyak orang yang dalam situasi konflik terpaksa atau tergiring untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok-kelompok perlawanan yang ada bukan karena mereka setuju dengan ideologi dan tujuan perjuangan kelompok-kelompok resisten tersebut tetapi karena mereka terus dipojokkan. Dalam situasi itu mereka tidak punya pilihan lain untuk berafiliasi demi keamanan dan keselamatan mereka.

Dengan memakai pintu masuk akselerator konflik kita sesungguhnya bisa memperoleh jawaban yang lebih baik atas pertanyaan, misalnya, mengapa suara-suara perlawanan dari Tanah Papua terhadap berbagai penindasan dan ketidak-adilan pada sepuluh tahun terakhir jauh lebih vokal dan radikal dibanding 20 hingga 30 tahun yang lalu? Pada tahun 2003 angka literacy rate (melek huruf) untuk daerah pedesaan di Indonesia menunjukkan bahwa Papua sudah mencapai 79,3% untuk anak usia 15 sampai 24 tahun[12]. Angka ini menunjukkan bahwa Papua bukan lagi sebuah kawasan geografis yang berisi suku-suku primitif yang belum/tidak berpendidikan dan tidak beradab, masih tinggal di atas pohon dan hidup sebagai suku bangsa pengayau, atau “masih dalam poses menjadi manusia”[13] – karena itu bisa ditakut-takuti atau bahkan diperlakukan secara kejam, karena mereka akan diam dan patuh karena alasan ketakutan.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa semangat nasionalisme awal untuk melawan kolonialisme dan menuntut kemerdekaan Indonesia justru datang dari kalangan terpelajar yang dididik di sekolah-sekolah kolonial. Mereka mengalami pencerahan melalui dunia pendidikan dan menyadari betapa nistanya hidup sebagai bangsa terjajah. Demikian pula halnya dengan Tanah Papua: semakin membaiknya akses pendidikan hingga ke pedalaman Papua, bertambahnya kalangan intelektual putra-putri asli Papua dari waktu ke waktu dan mencapai jenjang pendidikan tertinggi dalam tradisi akademik, baik di dalam maupun di luar negeri, juga terbukanya akses komunikasi dan informasi dengan dunia luar – semuanya menunjukkan satu hal: bahwa telah muncul kesadaran epistemis di tengah masyarakat Papua yang terdidik dan tercerahkan bahwa berbagai pendekatan militeristik di Papua, pelanggaran HAM dan berbagai praktek ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan yang tidak menghormati harkat dan martabat orang Papua, juga masalah kesenjangan ekonomi – semuanya harus dilawan karena bertentangan dengan nalar keadaban dan nalar publik. Sayangnya, pada saat yang sama rejim yang bekuasa di Indonesia masih mengira bahwa kondisi Papua masih seperti 30 atau 40 tahun yang lalu. Jakarta, melalui berbagai misi keamanannya, datang ke Papua tanpa pengetahuan yang memadai tentang kultur orang Papua dan menggunakan pendekatan militeristik dalam resolusi konflik untuk semua jenis konflik di Tanah Papua: dari konflik separatisme hingga konflik pertambangan dan perkelahian di lapangan sepak bola. Bukankah Tanah Papua oleh orang Papua sendiri disebut sebagai Tanah Damai?

Saat ini inisiatip dialog Jakarta-Papua sedang dirintis[14]. Bagi komunitas politik dan kultural Papua, dialog adalah sebuah keniscayaan dan satu-satunya cara yang kompatible dengan pemahaman mereka tentang Papua sebagai Tanah Damai. Banyak syarat dan prasyarat yang harus dipenuhi, mulai dari kesamaan persepsi tentang makna dialog itu sendiri, agenda-agenda yang diusung oleh para pihak, siapa saja yang dapat diundang sebagai wakil para pihak yang hendak berdialog serta kualifikasi diri mereka sebagai partner dialog, jaminan keamanan dan jaminan ruang-ruang dialog yang aman dan bisa dipercaya, adanya trust di antara para pihak yang berdialog, pengakuan kesetaraan dan respek timbal balik di antara para pihak yang berdialog.


Daftar Pustaka




ALLPORT, GORDON W. (1992 [1954]) The Nature of Prejudice. 25th. Anniversary Edition. Addison-Weseley Publishing Company, Inc.

ARISTOTLE ‘Nicomachean Ethics’ Book III, chapter 6-12, dalam Mortimer J. Adler (editor in Chief). 1993. Great Books of the Western World Nr.8. The Work of Aristotle Vol. II. Encyclopediae Britanica Inc.

COLLIER, PAUL & ANKE HOEFNER (1998) On Economic of War, Washington DC; World Bank.

______ (2000a) Greed and Grievances in Civil War. Washington DC; World Bank.

______ (2000b) Aids, Policy and growth in Post-Conflict Societies. Washington DC; World Bank.

GALTUNG, JOHAN., JACOBSEN, CARL G. & BRAND-JACOBSEN, KAI FRITHJOF (2002) Searching for Peace – The Road to TRANSCEND. New Edition, Pluto Press, London, Sterling, Virginia in association with TRANSCEND.

HOROWITZ, DONALD L., (1985) Ethnic Groups in Conflict .Berkelei: University of California Press.

OOMMEN, T. K. (1990a) State and Society in India. New Delhi: Sage Publication. ______ (1990b). Protest and Change. New Delhi: Sage Publication.


______ (1994). ‘Religious Nationalism and Democratic Polity: The Indian Case’ Sociology of Religion. Vol.55 No.4 (Winter 1994), hal. 455-472

______ (1997). Citizenship, Nationality and Ethnicity – Reconciling Competing Identities. Polity Press.

SANDOLE, DENNIS J. D. (1999) Capturing the Complexity of Conflict – Dealing with Violent Ethnic Conflict of Post-Cold War Era. PINTER a Cassel Imprint, Welington House, New York.

SISK, TIMOTHY D. (1996) Power Sharing and International Mediation in Ethnic Conflicts. Carnegie Commission on Preventing Deadly Conflict, Carnegie Corporation of New York – United States Institutes of Peace. Washington, DC.

SURANTI, HANIF (ed.). (2008) Memoria Passionis di Papua Tahun 2006 – Lintasan Peristiwa HAM, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Sumberdaya Alam. Seri Memoria Passionis No. 19, Diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.

TAJFEL, HENRI, (ed.), (1982) Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.

TEBAY, NELES (2011) Dialog Jakata- Papua: Sebuah Perspektif Papua. Office for Justice and Peace, Catholic Diocese of Jayapura / Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.

VOLKAN, V.D. (1988) The need to have enemies and allies: From clinical practice to international relationships. New York: Aronson.

WIDJOJO, MURIDAN S. (ed.). (2009) Papua Road Map – Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. LIPI, Yayasan TIFA,dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.








[1] Robert B. Baowollo belajar ilmu-ilmu pendidikan dan psikologi pada Universitas Hamburg, Republik Federal Jerman, serta studi perdamaian dan resolusi konflik pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini ia bekerja sebagai konsultan pendidikan dan peneliti di bidang konflik etnis dan agama. Robert B. Baowollo adalah pendiri Peace Concrete Indonesia (PEACINDO) Yogyakarta. Kontak: baowollo@yahoo.de. Website: http//:www.peacindo.blogspot.com. Copy right ® Robert B. Baowollo


[2] Untuk memahami tingkat kompleksitas persoalan ini, lihat, misanya, Widjojo, Muridan S. (ed.), (2009) Papua Road Map – Negotiating the Pasti, Improvingteh Present and Securing he Future. LIPI, Yayasan TIFA,dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.3-41.


[3] Sebagai ilustrasi tentang tingkat prevalensi HIV/AIDS di Tanah Papua, lihat, misalnya, Widjojo, op.cit. hal.122-126.


[4] Data terbaru (Juni 2012) tentang perkembangan kekerasan di Tanah Papua yang terus berlangsung, lihat, misalnya, „Kekerasan di Papua Dibiarkan Berlanjut – Aparat tak Berdya Mengatasi“ (Kompas,(8 Juni 2012, hal 1 dan 15); lihat juga „Yoman, Label OTK (Orang Terlatih Khusus) di Papua Yang Mengacaukan Papua“ (Voice of Baptist Papua. http://suarabaptis.blogspot.com/2012/06/yoman-label-otk-orang-terlatih-khusus.html, diakses pada tanggal 9 Juni 2012.


[5] Lihat, misalnya, Widjojo, op.cit. hal. 47-51; 55-73.


[6] Hal ini nampak, misalnya, dalam definisi tentang siapa itu orang papua asli dalam rangka penentuan legitimasi kultural untuk setiap jabatan Publik di Tanah Papua.


[7] Masih menurut Volkan: “The psychoanalytic view indicates that ethnicity or nationality originates much as other emotional phenomena do in clans or tribes. The sense of self is intertwined at a primitive level with the identity of the group. Membership in these groups is not like that in a club or professional organization, since it is tinged with raw and primitive affects pertaining to one’s sense of self and others and to their externalization and projections.” Volkan, V. D. (1990). ‘An overview of psychological concepts pertinent to interethnic and/or international relationships’ dalam V. D. Volkan, D. A. Julius, & J. V. Montville (Eds.), The psychodynamics of international relationships. Volume 1: Concepts and theories (pp. 31–46). Lexington, MA: Lexington Books, hal. 36)


[8] Jargon politik lain yang sering dipakai adalah: ancaman genosida atas etnis Papua/Melanesia di Tanah Papua. Untuk memahami konteks grievance ini, lihat misalnya Hanif Suranti (ed.). (2008). Memoria Passionis di Papua Tahun 2006 – Lintasan Peristiwa HAM, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan, Sumberdaya Alam. Seri Memoria Passionis No. 19, Diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.


[9] Tentang pengakuan/akomodasi simbol-simbol Papua oleh Gus Dur, lihat, misalnya, Widjojo, op.cit. hal. 65-73.


[10] Paul Collier yang melakukan assesment konflik etnis atas permintaan Bank Duni secara konsisten menolak semua alasan konflik yang bertumpu pada grievances dan menunjuk masalah greed sebagai satu-satunya motifasi konflik dan pelanggengan konflik yang valid. Collier juga mengeritik keras negara-negara donor yang, karena kurang pemahaman tentang hakekat konflik berbasis greed, telah ikut memberi andil dalam melestarikan konflik di berbagai belahan bumi (Colier & Hoefner, 1998, 2000, 2002).


[11] Lihat Aristotle ‘Nicomachean Ethics’ Book III, chapter 6-12, dalam Mortimer J. Adler (editor in Chief). 1993. Great Books of the Western World Nr.8. The Work of Aristotle Vol. II. Encyclopediae Britanica Inc.

[12] Angka ini merupakan rentang terendah secara nasional untuk pedesaan; angka tertinggi untuk pedesaan dicatat oleh Maluku Utara, 97,7%. Sumber: Fasli Jalal / Nina Sardjunani “Increasing Literacy in Indonesia”, dvv international – Institut für Internationale Zusammenarbeit des Deutschen Volkschul-Verbandes, Edisi Nr. 67. http://www.iiz-dvv.de/index.php?article_id=199&clang=1, diakses pada tanggal 10 Fbruari 2012.


[13] Ungkapan sarkastis ini diucapkan oleh seorang tokoh Papua, Tom Beanal, dengan penulis di tahun 80an.


[14] Lihat, misalnya, Tebay, Neles (2011) Dialog Jakata- Papua: Sebuah Perspektif Papua. Office for Justice and Peace, Catholic Diocese of Jayapura / Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.

2 komentar:

  1. bisakah kirim artikel berita jurnal,buku tentang konflik,komunalism,dan secessionism dalam dunia Papua,lebih lanjut.ke alamat akbardicaputra@yahoo.co.id ,terima kasih

    BalasHapus
  2. Terimakasih, Pak Akbar. Kami tidak membuat dokumentasi berupa berita, jurnal, atau buku tentang Papua. Di Yogya cukup banyak informasi tentangpapua di perpusataaakn Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM. Kalau mau ikuti perkembangan studi konflik dan perdamaian di tanah air, termasuk konflik di Papua, saya akan masukkan nama Pak Akbar ke Grup FB: Komunitas Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik di Indonesia.

    Salam.

    BalasHapus