Pengantar terjemahan: Artikel ini adalah hasil wawancara Nadezhda Kevorkova dengan Uskup Agung Gereja Ortodox di palestina, Sebastia Theodosis (Atallah Hanna). Kevorkova adalah koresponden perang yang meliput saat-saat berlangsungnya Musim Semi Arab, konflik militer dan agama di berbagai penjuru dunia, dan anti-globalization movement. Artikel ini terbit bulan Desember tahun 2014. Pemahaman kita di Indonesia, bahkan Asia Tenggara pada umumnya, tentang Palestina dan Islam sangat bias. Dalam artikel ini satu-satunya uskup gereja Kristen Ortodox Palestina di Tanah Suci bebicara mengenai penderitaan orang-orang Kristen, kesatuan mereka dengan sesama Muslim dalam perjuangan bangsa Palestina, tentang Partriarkat Kristen Ortodox, dan tentang Ukraina (r.b.baowollo).
Uskup Agung Sebastia Theodosis
(Atallah Hanna), 49 tahun, adalah satu-satunya Uskup Agung Gereja Kristen
Ortodox dari Palestina yang ditempatkan di Yerusalem dan Tanah Suci, sementara
uskup-uskup Patriarkat Yerusalem lainnya berasal dari Yunani. Otoritas Israel
menahan uskup agung ini beberapa kali, atau mengentikan ia di perbatasan, dan
mengambil paspornya. Di antara para pejabat gereja (klerus) hanya dialah yang
tidak memiliki privillege untuk boleh melewati pintu VIP di airport – karena
alasan kewarganegaraannya. “Bagi otoritas Israel, saya bukan seorang uskup,
tetapi semata-mata seorang warga Palestina,” katannya. Ketika berbicara di telepon ia mengucapkan
sejumlah kata yang lazimnya anda dengar dari seorang Muslim: “Alhamdulillah,
Isha’Allah, masha’Allah”. Ia berbicara bahasa Arab, dan kata Arab untuk ‘tuhan’
adalah Allah, apakah itu diucapkan oleh seorang Kristen atau Muslim.
Yang Mulia, bagaimana rasanya menjadi
Uskup Palestina di Tanah Suci?
Pertama, saya ingin mengonfirmasi bahwa
saya adalah satu-satunya Uskup Palestina di dalam Patriarkat Gereja Ortodox
Yerusalem. Seorang rekan uskup lainnya melayani umat di kota Irbid di bagian
utara Yordania; dan di sana ada beberapa imam Palestina.
Saya merasa bangga menjadi bagian dari
institusi keagamaan besar ini yang sudah berusia lebih dari 2000 tahun.
Gereja saya melindungi kehadiran
orang-orang Kristen di Tanah Suci dan berbagai obyek sakral yang berkaitan
dengan kehidupan Kristus dan sejarah Gereja Kristen .
Saya bangga dengan agama saya dan
kebangsaan saya, saya bangga menjadi milik tanah tumpah darah saya. Saya
seorang Palestina, dan saya menjadi bagian dari masyarakat religius ini yang sedang
berjuang demi kemerdekaan dan kehormatan mereka untuk mewujudkan mimpi dan
hak-hak kebangsaan mereka.
Saya mendukung orang-orang Palestina
dan ikut berbagai dengan tujuan perjuangan mereka. Kami warga Gereja Kristen Ortodox palestina tidak
dapat dipisahkan dari penderitaan bangsa Palestina.
Isu Palestina adalah sebuah masalah
yang menjadi perhatian kami semua, baik Kristen maupun Muslim. Ini merupakan
persoalan dari setiap individu intelektual yang mendambakan keadilan dan
kebebasan di dunia ini.
Kami warga Kristen Palestina menderita
bersama-sama dengan semua warga Palestina lainnya dari masalah pendudukan dan
beratnya situasi ekonomi kami. Muslim dan Kristen sama-sama menderita, karena
tidak ada perbedaan dalam penderitaan bagi siapapun di antara kami. Kami semua
hidup bersama dalam situasi ruwet yang sama, dan juga harus mengatasi
kesulitan-kesulitan yang sama.
Sebagai gereja maupun sebagai
pribadi-pribadi kami melindungi orang-orang ini, dan kami berharap akan tiba
waktunya orang-orang Palestina akan memperoleh kemerdekaan dan martabat mereka.
Bagi mereka yang datang mengunjungi
Tanah Suci ada sejumlah peluang untuk melihat sendiri betapa beratnya situasi
yang dihadapi orang Palestina. Apa yang kira-kira hendak Anda katakan kepada mereka
yang ingin memahami masalah Palestina secara lebih baik?
Otoritas Israel memperlakukan rakyat
Palestina dengan cara yang tidak bisa kami terima atau kami setujui, pertama
dan terutama karena Israel memperlakukan orang Palestina sebagai orang asing,
seolah kami adalah orang asing di tanah kami sendiri.
Orang Palestina tidak pernah menjadi
orang asing baik di Yerusalem maupun di seluruh wilayah tanah air mereka.
Israel adalah sebuah kekuatan pendudukan yang memperlakukan kami sebagai
pengunjung atau semacam penduduk temporer. Tetapi kami adalah pendudukan asli
negeri ini. Kami tidak datang ke sini, kami sudah ada di sini sejak dulu.
Sebaliknya, Israel yang datang entah dari luar horizon nun jauh di luar sana.
Mereka memperlakukan kami seolah kami
datang entah dari negeri mana, seolah kami secara kebetulan dan baru saja
terdampar di negeri ini. Tetapi kami adalah pemuilik sah negeri ini. Kami tidak
menyusup masuk ke dalam Israel. Sebaliknya Isreal yang menyusup masuk ke dalam
kehidupan kami pada tahun 1948, dan di tahun 1967 merebut dan menduduki
Yerusalem Barat. Kami sudah ada di sini jauh sebelum ada Israel. Pada saat
Israel datang ke sini, nenek moyang kami sudah hidup di sini selama
berabad-abad.
Itulah sebabnya mengapa kami tidak
dapat menerima Israel memperlakukan kami sebagai orang asing di negeri
kelahiran kami sendiri. Saya harus jujur dan mengatakannya sekali lagi: baik
orang Kristen maupun Muslim sama-sama menderita akibat perlakuakn otoritas
Israel.
Apakah memgunjungi Yerusalem bagi
seorang Kristen dari Tepi Barat sama sulitnya seperti seorang Muslim?
Mereka tidak bertanya apakah seseorang
yang tiba dari Beit Jala atau Ramallah ke Yerusalem adalah seseorang Kristren
atau Muslim. Mereka hanya mengajukan satu pertanyaan: “Apakah anda memiliki ijin
masuk ke Yerusalem atau tidak?”
Pass bagi seorang palestina untuk
masuk ke Yerusalem dikeluarkan oleh Israel. Tak seorang pun bisa lewat tanpa
pass. Dalam meneruskan kebijakan rasis-nya terhadap rakyat Palestina Israel tidak
peduli dengan keyakinan seseorang. Kami semua dianggap sama. Semuanya
tergantung bagaimana mendapatkan pass, apakah kau Kristen atau Mulslim.
Kami semua kena.
Di atas esmua itu Israel mengontrol
sejumlah harta kekayaan Gereja Kristen Ortodox dan mencampuri urusan internal
Gereja. Mereka melakukan tekanan atas orang-orang Kristen Palestina dengan
berbagai cara untuk memaksa mereka pergi.
Hanya ada satu alasan penderitaan,
baik bagi kaum Kristen maupun Muslim di Tanah Suci.
Serangan terbaru terhadap sebuah majalah
satire Paris memicu gelombang anti-Muslim yang melanda Eropa. Netanyahu
berjalan di baris paling depan aksi semacam itu. Apa sikapmu terhadap apa yang
terjadi?
Kami menyesalkan serangan di Paris
yang dilakukan oleh orang-orang yang dituduh mewakili agama tertentu.
Tetapi mereka tidka mewakili agama
manapun – mereka adalah para pembunuh.
Serangan ini dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku punya iman, tetapi mereka sesungguhnya tidak mewakili
Islam dan tidak bisa bertindak atas nama Islam, meraka hanya melakukan
kejahatan dan melukai gambaran Islam melalui apa yang mereka lakukan.
Pada saat yang sama kami menyesali begitu
banyak operasi teroris di Syria dan Iraq sama seperti kami menyesali serangan
teroris di Paris.
Mereka yang melakukan aksi teror di Paris
dan di mana saja, termasuk dalam kelompok-kelompok yang sama yang terlibat
dalam aksi terorisme di Syria dan Iraq dan menyerang tempat-tempat suci,
menista rumah ibadah dan menculik para pemimpin agama.
Mereka menyerang perempuan dan
anak-anak di Syria, Lebanon dan Iraq.
Kami adalah saksi aksi teror di
Tripoli Libanon hanya beberapa hari yang lalu yang membunuh puluhan orang yang
tidak bersalah yang sedang berada di cafe.
Kami mengutuk aksi-aksi teror di Paris
dan kami juga mengutuk serangan-erangan serupa yang dilancarkan di belahan bumi
manapun. Kami sangat menetang dengan keras pemikiranyang mengaitkan
serangan-serangan ini dengan Islam.
Kami baru saja mempersiapkan sebuah
konferensi internasional yang akan dihadiri para pemimpin agama-agama – Kristen,
Muslim dan Yahudi – dari berbagai negara untuk ambil bagian dalam suatu
pernyataan sikap bahwa para wakil dari ketiga agama monoteis, menentang teror,
fanatisme dan kekerasan yang digunakan di bawah slogan keagamaan. Konferensi
tersebut kemungkinan akan berlangsung di Amman, Yordania.
Menurut cara berpikir Barat, Allahu
Akbar kedengarannya seperti sebuah ancaman. Apa yang dibayangkan oleh umat
Kristen di Tanah Suci tentang hal ini?
Kami orang Kristen juga menyerukan
Allahu Akbar. Ini adalah ungkapan pemahaman kami bahwa Sang Pencipta itu Agung.
Kami tidak ingin agar ungkapan ini dikaitkan dengan terorisme atau tindakan kriminal.
Kami menolak mengaitkan kata-kata ini
dengan pembantaian atau pembunuhan.
Kami berbicara melawan penggunaan
frasa ini di dalam konteks itu. Mereka yang melakukannya, mereka menghina agama
dan nilai-nilai keagamaan kami.
Mereka yang menggunakan kata-kata ini
sambil melakukan tindakan yang tidak religius tidak spiritual, tidak beradab ...
semuanya mencederai agama.
Allahu Akbar adalah sebuah ekspresi
keyakinan kami.
Orang tidak boleh menggunakan
kata-kata ini untuk maksud-maksud yang tidak ada kaitannya dengan agama untuk
menyustifikasi kekerasan dan teror.
Apakah orang menyebut Allahu Akbar di
dalam gereja?
Tentu saja.
Bagi kami, Allah itu bukan sebuah Islamic term. Ini adalah sebuah kata dalam bahasa Arab untuk menunjuk Sang Pencipta yang menjadikan dunia tempat kita hidup. Jadi, ketika kamai menyebut Allah di dalam doa kami itu kami maksudkan Pencipta dunia ini.
Tentu saja.
Bagi kami, Allah itu bukan sebuah Islamic term. Ini adalah sebuah kata dalam bahasa Arab untuk menunjuk Sang Pencipta yang menjadikan dunia tempat kita hidup. Jadi, ketika kamai menyebut Allah di dalam doa kami itu kami maksudkan Pencipta dunia ini.
Di dalam doa dan permohonan, dalam
perayaan-perayaan keagamaan Gereja Ortofdox kami, kami pergunakan persis kata
ini. Kami katakan, kemuliaan kepada Allah di semua waktu. Kami menyebut Allah
cukup banyak selama perayaan liturgi kami. Karena itu sangat keliru jika berpikir
bahwa kata Allah hanya digunakan oleh kaum Muslim.
Kami orang Arab Kristen menyebut Allah
dalam bahasa kami, bahasa Arab, sebagai cara untuk mengidentifikasi dan menyapa
Sang Pencipta dalam doa kami.
Apakah semua ini tentang Kristus?
Apakah Ia merupakan orang yang memprovokasi perpecahan agama di Tanah Suci?
Kristen dan Muslim mengakui Yesus Kristus sudah lahir, dan mereka menantikan
kedatanganNya yang kedua kali, dan hari pengadilan terakhir. Yahudi menolak hal
ini, dan mereka terus menantikan Mesias mereka.
Kami orang Kristen percaya bahwa Yesus
sudah datang. Kami baru saja merayakan Natal sebagai peringatan bahwa Yesus datang
ke dalam dunia ini, bahwa Ia lahir di Betlehem, dan memulai perjalananNya di
sini di Tanah Suci demi keselamatan semua umat manusia, dan keselamatan seluruh
dunia.
Jadi sejauh yang kami yakini, Yesus
sudah datang.
Orang Yahudi percaya bahwa Mesias
belum datang, dan mereka masih menantikan kedatanganNya. Inilah
ketidak-sepahaman utama antara pengikut Yahudi dengan kami. Kami yakin bahwa
Yesus sudah datang, sementara mereka tidak.
Terlepas dari fakta ini, kami tidak
berada dalam perang dengan orang Yahudi. Kami tidak menunjukkan agresi terhadap
orang Yahudi atau siapapun di dunia ini, terlepas dari perbedaan-perbedaan
dalam keyakinan kami.
Kami berdoa bagi mereka yang tidak
sepaham dengan kami.
Ketika Yesus datang ke dunia ini Ia
tidak menyuruh kita untuk membenci, mengabaikan, atau terlibat dalam peperangan
satu dengan yang lain; Ia tidak menyuruh kita membunuh oraqnmg-orang itu atau
ini. Ia memberikan kepada kita satu perintah yang sangat sederhana: saling
mengasihi satu terhadap yang lain.
Ketika Yesus menyuruh kita mengasihi satu sama lain kasih semacam ini tidak meprasyaratkan seperti apa rupa seseorang atau apa yang ia sedang lakukan. Jika kita bebar-benar Kristen maka kita sejatinya berutang untuk mengasihi semua orang dan memperlakukan mereka secara positif dan dengan cinta kasih.
Ketika Yesus menyuruh kita mengasihi satu sama lain kasih semacam ini tidak meprasyaratkan seperti apa rupa seseorang atau apa yang ia sedang lakukan. Jika kita bebar-benar Kristen maka kita sejatinya berutang untuk mengasihi semua orang dan memperlakukan mereka secara positif dan dengan cinta kasih.
Jika kita melihat seseorang yang penuh
dosa, jauh dari Allah dan iman, seseorang yang bertindak salah, maka itu adalah
tugas kita untuk berdoa baginya sekalipun ia berbeda dari kita dan dari agama
kita. Jika kita memiliki ketidak-sepahaman keagamaan dengan seseorang kita
berdoa agar Allah dapat membimbing mereka di jalan yang benar. Kebencian, kemarahan,
dan tuduhan seseorang memiliki iman yang salah/sesat bukanlah bagian dari etika
kami sebagai orang Kristen. Inilah ketidaksepahaman dan perbedaan kunci antara
agama Yahudi dengan agama kami. Agama Yahudi yang sudah ada jauh sebelum
Kristus adalah agama dari bangsa yang masih menunggu kedatangan Yesus. Banyak
orang Yahudi menjadi pengikutnya, sekalipun di sana ada juga mereka yang tidak
percaya kepadaNya dan menolak Dia.
Kita tahu bahwa Yesus dihukum mati,
dan demikian juga banyak jemaat Keristen perdana. Seperti misalnya, Herodes
sang raja yang membunjuh ribuan bayi di Betlehem karena ia berpikir bahwa Yesus
adalah sala satu dari bayi-bayi itu.
Kisah Para Rasul, juga tradisi suci lainnya, berbicara tentang banyak
contoh hukuman mati yang dialami oleh jemaat Kristen Perdana.
Terlepas dari semua itu, kami
kemandang siapa saja yang tidak sepaham dengan kami atas dasar keyakinan agama
sebagai saudara kami, sesama umat manusia. Allah menciptakan kita semua, ia
memberi kita hidup, karena itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling mengasihi,
dan berdoa bagi mereka yang keliru atau salah paham, agar Allah dapat
membimbing mereka ke jalan yang benar.
Apakah itu sebabnya maka orang Kristen
dan Muslim dihukum mati?
Kami tidak membedakan rakyat Palestina
apakah dia Kristen atau Muslim, siapa yang religius dan siapa yang tidak, siapa
yang kiri atau menjadi anggota partai apa. Kami tidak membuat pemisahan
berdasarkan agama dan keyakinan.
Karena untuk resistensi tidak masalah
apakah mereka Muslim atau Kristen.
Tanpa melihat apa pandangan politik
mereka, misalnya, semua orang palestina aktif mendukung gagasan bahwa Rakyat Palestina harus dapat
menjalankan hak mereka dan mencapai mimpi mereka.
Oh ya, sejumlah orang kristen terbunuh
sejak tahun 1948 sampai hari ini. Ada orang Kristen yang terusir dari rumah
mereka. Ada desa-desa Kristen yang sepenuhnya sudah dihancurkan, dan saat ini
tak ada satu pun rumah atau penduduk di sana, misalnya, desa Al Galil di
Dataran Tinggi Golan.
Banyak gereja di Yerusalem diserang;
ada upaya untuk merebut tanah dan harta kekayaan mereka.
Ada orang-orang kristen di dalam
penjara Israel – tidak sebanyak warga Muslim, tetapi ada beberapa. Komunitas
Kristen pada umumnya lebih kecil, tetapi kami juga punya martir sendiri yang
terbunuh dan dipenjarakan selama bertahun-tahun di balik jeruji besi.
Orang Kristen menderita di bawah
pendudukan Israel sama seperti juga kaum Muslim – seluruh penduduk Palestina
menderita. Mereka tidak membeda-bedakan kami.
Adakah aspek-aspek spesial tertentu ketika kita berbicara mengenai kehidupan kaum Kristen di Tanah Suci?
Saya tunjukkan satu dari banyak
contoh, yang terkait denan Gereja Ortodox Rusia.
Katedral Trinitas Maha Kudus yang
terletak di bagian barat Yerusalem adalah milik Gereja Ortodox Rusia, tetapi
sejak tahun 1948 Israel memanfaatkan situasi di Rusia untuk penentingannya
sendiri dan mengambil alih sebagian dari bagunan di sekitar katedral,
mempergunakannya sebagai pos polisi dan penjara dengan berbagai praktek
penyiksaan.
Jika ada yang menyebut kata ‘moskobiya’, kata yang merujuk pada Patriarkat Moskow, sesuatu yang suci dan spiritual, hal pertama yang muncul dalam ingatan orang Palestina yang hidup di Yerusalem adalah siksaan, polisi, interogasi, dan penjara.
Di Nazareth, misalnya, kata
‘moskobiya’ secara ekslusif dikaitkan dengan sekolah Rusia bagi warga elit (budaya)
Palestina , ilmuwan dan politisi belajar. Sekalipun sekolah itu ditutup setelah
Revolusi Rusia tahun 1917, ketenaran nama sekolah itu masih terasa sampai
sekarang.
Jadi itu hanya untuk orang Palestina
di Yerusalem.
Apa yang dipikirkian umat Kristen
palestina, maksud saya terutama Kristen Ortodox, tentang krisis Ukraina?
Secara keseluruhan kami sangat prihatin dengan perpecahan di Ukraina. Kami masih yakin bahwa semua orang Kristen Ukraina harus tetap tinggal dalam kesatuan dengan Gereja Induk, yaitu Patriarkat Moskow.
Saya berharap krisis Ukraina dapat
diselesaikan melalui jalan dialog sehingga kita dapat menyaksikan rekonsiliasi
dan berakhirnya kekerasan dan pertumpahan darah.
Orang Kristen tidak butuh perang, pembunuhan dan pembantaian. Krisis politik ini harus diselesaikan secara damai. Gereja harus bekerja keras untuk memastikan bahwa perpecahan itu terjembatani dan teratasi.
Gereja Ortodox di Ukraina sangat kuat
karena kebanyakan orang mewartakan Kekristenan Ortodox.
Perpecahan itu harus disembuhkan. Kami sungguh berharap bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh Patriarkat Moskow dan Patriarkat Konstanstinopel akan membantu menyatukan Gereja Ukranina.
Saya yakin perpecahan ini dapat segera dipulihkan dan mereka yang sudah terpisah dapat kembali lagi. Namun agar semua ini bisa terjadi kita butuh kerendahan hati, keyakinan dan kemauan kuat.
Kita berdoa bagi Gereja Ortodox di
Ukraina.
(sumber: Nadezhda Kevorkova “We
palestinian Christians say Allahu Akbar”.
http://rt.comp/op-edge/227871-palestinian-orthodox-christian-bishop/ Published time: January 30, 2015 15:16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar