Senin, 22 Oktober 2012

Informasi Buku: INDONESIA BERGERAK!

Judul Buku: INDONESIA BERGERAK - Percik Pemikiran Komunitas Sekip untuk Perubahan
Editor: Agus Pramusinto & Erwan Purwanto
Kata Pengantar: Donny Gahral Adian
Penerbit: MAP dan MKP UGM bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Tahun Terbit: Oktober 2012
Jumlah Halaman: x+340

Buku ini merupakan hasil elaborasi berbagai tema diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh MAP Corner Universitas Gadjahmada Yogyakarta selama satu tahun (2011-2012), terdiri dari 17 bab padat, diawali Sekapur Sirih oleh (pejabat) Dekan Fisipol UGM Dr. Hermin Indah Wahyuni, Kata Pengantar oleh Dr. Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Universitas Indonesia dan Pegiat Lingkar Muda Indonesia), serta Pengantar Editor oleh Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto.


Bab-bab inti buku INDONESIA BERGERAK:

1. Wahyu Riawanti: Kajian Ekonomi Politik Kebijakan Impor Daging Sapi Menuju Swasembada Daging (hal. 29).
2. Indri Dwi Apriliyanti: Perusahaan Multi(nasional) dan Kuli-Kuli Multi(nasional): Keniscayaan atau Konstruksi Ekonomi Politik? (hal. 45).
3. Yuli Isnadi: Birokrasi Lemah (hal. 65).
4. Rima Ranintya Yusuf: Karut-Marut Transportasi Darat di Perkotaan [Indonesia]: Sebuah Gambaran Umum (hal. 85).
5. Ilham: Teror dan Kerukunan di Indonesia: Sisi lain Pemaknaan Fungsi Negara(hal. 103).
6. Wayu Eko Yudiatmaja: Nasionalisasi PT Freeport Indonesia (hal. 119).
7. Masni: Dinamika Jaminan Sosial di Indonesia: Suatu Tinjauan Deprivasi Relatif (hal. 139).
8. Antonius Galih Prasetyo: Membongkar Dikotomi Teknorat-Politisi (hal. 159).
9. Yuni Murwani: Buruh Migran tanpa Perlindungan: Menelusuri Kegagalan Peran Negara (hal. 175).
10. Sayfa Auliya Achidsti: Pembangunan di Negara Berkembang (hal. 187).
11. BL Padatu: Mendengar Pengalaman Pengajar Muda: Visi Alternatif Mengikhtiarkan Perluasan dan Penguatan Kepemimpinan Bangsa (hal. 205).
12. Robert B. Baowollo: Kekerasan di Tanah Papua: Komunalisme, Separatisme, dan Secessionism (hal. 223).
13. Sirajudin Hasbi: Bijak Menata Ritel Modern (hal. 239).
14. Muhtar Habibie: Konflik dan Transformasi Agraria: Kasus Indonesia (hal. 255).
15. Kurnia Cahyaningrum Effendi: Gerakan Rakyat Mendekati Kebijakan Publik: Kasus Pulau Padang (hal. 273).
16. Iwan Hendarmawan: Outsourcing dan Negara Minimal (hal. 299).
17. Arif Rahman: Kenaikan Harga BBM: Kondisi Dilematis Sarat Kepentingan (hal. 311).

Buku ini ditutup dengan daftar biografi para penulis (hal. 329) dan parade poster kegiatan Komunitas Sekip selama tahun 2011-2012 (hal. 335).

****

Catatan Pengantar dan Editor untuk Bab 12: Kekerasan di Tanah Papua: Komunalisme, Separatisme, dan Secessionism oleh Robert B. Baowollo.

1. Donny Gahral Adian: "Minimalisasi kekuasaan negara:  [...] Terkikisnya kekuasaan politik negara juga terlihat dalam penyelesaian konflik Papua. Negara tidak dapat secara tegas dan lugas menyelesaikan masalah Papua karena gagal membedakan antara komunal separatisme dan welfare separatisme. Negara gagal membedakan antara separatisme berbasis perlindungan kultural dengan separatisme yang dipicu masalah kesejahteraan. Akibatnya negara tidak menemukan single solution untuk masalah Papua. Padahal, semuanya bisa terselesaikan apabila negara mendudukkan persoalan Papua pada paradigma separatisme yang jelas" (hal. 5).

2. Agus Pramusinto & Erwan Purwanto: "Problem serius lain yang tidak kunjung menunjukkan titik terang ialah penyelesaian konflik di Papua. [...] tentang apa yang sering dituduhkan sebagai 'gerakan separatis', negara justru terkesan memperbesar eskalasi konflik. [...] ada persoalan kesalahan pemahaman oleh Jakarta maupun masyarakat umum terhadap persoalan Papua. [...] ada dua kata kunci penting atau kategorisasi dalam memahami separatisme, yaitu komunal separatisme dan welfare separatisme. [...] Jakarta gagal merespon tuntutan komunal separatisme. Bahkan Jakarta justru merespon tuntutan itu dengan pendekatan kesejahteraan. Seolah diasumsikan ketika kesejahteraan masyarakat Papua meningkat, maka masalah komunal separatisme akan hilang. Akibatnya ternyata sungguh ironis. Tanpa mekanisme kelembagaan penyaluran dana yang memadai, aliran uang dari Jakarta ke Papua hanya menimbulkan moral hazard di kalangan elit Papua. Uang-uang itu masuk kantong mereka tanpa rakyat mengetahui dan merasakan manfaat dari gelontoran uang itu. Tidak mengherankan jika kegagalan Jakarta dalam merespon komunal separatisme itu kini dapat mengarahkan Papua pada sesesionisme, sebuah tindakan memisahkan diri dari entitas negara kesatuan [...] Jika kita memahami Papua dari perspektif ini, menurut Baowollo, tentara harus ditarik keluar dari Papua. Selanjutnya, isu proporsi penduduk pendatang dengan penduduk asli juga perlu dibicarakan secara terbuka guna mencari jalan keluarnya. Tanpa mengangkat ke permukaan kedua isu besar itu, rasanya persoalan Papua masih akan terus menggema dalam waktu lama" (hal. 20-21).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar