Senin, 26 Maret 2012

LUMBUNG: ANTARA KETAHANAN PANGAN DAN KETAHANAN BUDAYA – POTRET KETAHANAN PANGAN NASIONAL DENGAN BERCERMIN PADA KASUS PANTAI UTARA PULAU ADONARA



Oleh Robert B. Baowollo

Pengantar

Krisis ketersediaan beras secara nasional yang diikuti kenaikan harga beras ditanggapi secara reaktif, instan, dan kadang tidak kreatif, dengan gagasan-gagasan bombastis seperti, antara lain diversifikasi pangan agar masyarakat tidak tergantung pada pola konsumsi beras. Gagasan itu disertai dengan upaya paksa melalui himbauan pemerintah dan peraturan daerah agar masyarakat mengkonsumsi makanan non-beras pada hari-hari tertentu. Lalu muncul inisiatif mendirikan lumbung pangan mulai dari tingkat desa hingga kabupaten.
Demikian misalnya, Pemerintah Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Bajawa, Flores, NTT mengimbau seluruh pegawai, guru, dan  masyarakat umum di kecamatan itu untuk makan pangan lokal setiap hari Kamis. Imbauan ini sebagai bentuk dukungan dari gerakan lumbung tanah yang dicanangkan Pemkab Ngada pada Hari Pangan Sedunia (HPS)[1]. Pemerintah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, memutuskan membangun 7 gudang lumbung pangan desa senilai 1 miliar rupiah untuk mengantisipasi kekurangan pangan[2]. Pemerintah Jawa Timur bahkan mengembangkan mekanisme manajemen lumbung pangan sebagai bagian dari manajemen hasil pertanian masyarakat akar rumput[3]. Pemerintah Subang memilih kebijakan memproteksi daerah lumbung pangan sebagai bagian dari strategi menjaga ketahanan pangan[4]. Gubernur NTT, Fans Lebu Raya, menyadari bahwa konsep lumbung desa sudah mulai pudar oleh perjalanan waktu. Di kampung-kampung orang sudah mulai meninggalkan tradisi lumbung. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghidupkannya kembali[5].
Beberapa contoh laporan di atas mencerminkan adanya perbedaan konsepsi tentang lumbung, tentang ketahanan pangan, dan tentang basis ketahanan itu sendiri. Lumbung dimaknai (1) sebagai bangunan primer tempat menyimpan hasil pertanian di kebun milik petani di tingkat akar rumput; (2) sebagai gudang – yaitu gedung tempat menampung dan menyimpan hasil panen dari sebuah komunitas petani, baik dalam pengertian gudang logistik untuk kebutuhan sendiri maupun gudang untuk tujuan komersil; (3) sebagai kawasan penghasil beras – dan bukan penghasil bahan pangan lain – yang menyuplai kebutuhan beras bagi daerah lain.
Kebijakan pangan nasional lebih menekankan pengamanan daerah penghasil beras sebagai lumbung pangan dan penguatan peran manajemen lumbung sebagai gudang pangan. Program konkret ketahanan pangan dalam konsep lumbung untuk petani di tingkat akar rumput nyaris tidak tersentuh, terkecuali melalui politik pidato. Konsep tentang basis ketahanan pangan pun bervariasi: apakah basis ketahanan pangan itu berada pada individu petani di tingkat masyarakat akar rumput, atau pada kelompok petani dan sistem manajemen logistik/pergudangan moderen, atau pada kawasan geografis sebagai penyanggah persediaan pangan. Belum lagi keruwetan yang ditimbulkan oleh rancunya konsep ketahanan pangan dan konsep keamanan pangan, dan implikasi yang ditimbulkannya, terutama menyangkut pertanyaan siapa aktor primer yang bertanggungjawab terhadap persoalan ketahanan pangan.
Tulisan ini lebih merupakan re-elaborasi atas catatan dari dua perjalanan berbeda dalam jedah waktu sepuluh tahun di sepanjang pulau Flores dari Barat ke Timur dengan fokus pada kawasan Pantai Utara pulau Adonara di ujung Flores Timur. Konsep dasar lumbung pada masyarakat akar rumput di kawasan ini hendak diuji dengan konsep lumbung ‘modern’ yang dicanangkan pemerintah daerah setempat – keduanya dalam rangka membahas persoalan ketahanan pangan. Jika asumsi tentang lumbung pada masyarakat akar rumput berbeda dengan asumsi tentang lumbung dalam konsep pemerintah, maka pilihan kebijakan, metode dan teknik intervensi untuk memperkuat ketahanan pangan pun berbeda.
Pembahasan mengenai upaya menegakkan kembali tiang lumbung rakyat di kawasan ini sebaiknya didudukkan dalam konteks yang lebih luas dan dibahas dengan bahasa yang lebih lugas berkaitan dengan dua konteks penting berikut: (1) matinya basis dan jejaring perekonomian di pantai utara Adonara sebagai dampak dari kebijakan ekonomi proteksionis yang mencegah perdagangan langsung kawasan pantai utara Adonara yang tepusat di Sagu, Arang, Adonara, dan Waiwadan dengan kota dagang di seberang seperti Makassar dan Surabaya, bahkan dengan kota-kota besar di Kalimantan Timur dan Malaysia sebagai jalur migrasi perantau dari Flores Timur, sampai dengan awal pemerintahan Orde Baru; (2) pergeseran paradigma pertanian akibat masuknya konsep agribisnis yang menggusur praksis agrikultur pada masyarakat akar rumput.

Kebang dan Lepong - Lumbung dalam Kawah Sisiokultur dan Agrikultur

Masyarakat pulau Adonara pada umumnya mengenal lumbung dalam dua nama: kebang yang berarti lumbung jagung, dan lepong yang berarti sokal atau kantong besar berisi padi yang terbuat dari anyaman daun lontar dengan diameter mulai dari 1 meter hingga 4 meter, bahkan lebih, dan ukuran tinggi mulai dari satu meter hingga 3 meter. Bangunan kebang menyerupai rumah panggung yang disebut oring yang berarti pondok. Bagian bawah kebang menjadi tempat aktifitas petani sehari-hari, mulai dari memasak, mengolah hasil pertanian, hingga tidur. Bagian atas merupakan ruang dengan dinding bambu tersusun melintang sebagai tempat menyimpan hasil panen, terutama jagung. Lepong, atau sering disatukan dalam padanan kata lepong boka, biasanya ditempatkan di dalam waha orineng[6] atau rumah padi. Waha orineng adalah bangun rumah panggung dengan posisi panggung yang lebih rendah. Di atas panggung itu para petani menempatkan lepong-boka berisi padi yang baru saja dipanen.
Hampir semua bangunan kebang menyatu dengan kebun/ladang petani. Sementara waha orineng biasanya dibangun di pinggir kampung, sering menyatu dengan bangunan lain untuk kegiatan khusus perempuan seperti proses pewarnaan benang tenun dengan memakai zat pewarna alami dari daun nila atau akar pohon mengkudu atau pace. Kedekatan bangunan lumbung padi dan pusat aktifitas perempuan itu juga menjelaskan aspek lain dari pembagian pekerjaan, peran sosial ekonomi, dan pemegang otoritas tatakelola ekonomi rumahtangga: kaum lelaki menebang, membakar, mencangkul, menanam, dan menyiangi; perempuan memanen, menyimpan, dan mengelola.
Paralel dengan letak lumbung padi di dekat kampung, yang dalam pengertian tertentu merupakan restricted area bagi kaum pria dan karena itu merupakan zona ekslusif bagi kaum perempuan – sering diberi embel-embel oring gerar’ang = pondok sakral –, kaum lelaki juga memiliki oring khusus tempat mereka berkumpul untuk minum tuak, memasak hasil buruan, dan melakukan upacara ritual bau’ lolong untuk menghormati para leluhur. Bau’ lolong adalah tindakan menuang tetes-tetes pertama minuman tuak dari dalam neak, yaitu tempat minum dari tempurung kelapa, ke atas tanah tepat di kaki tiang keramat persembahan, ekeng bleang, sambil melafal kata-kata sapaan kepada para leluhur „geng menu lolong ne!“[7].
Lumbung dan sejumlah ritual seputar lumbung sesungguhnya merupakan puncak dari ritual panjang selama proses menanam hingga panen. Ketika merambah dan menebang hutan para petani selalu melakukan upacara ritual leteng ekang yang secara harafiah berarti mendinginkan alam lingkungan, mohon ijin kepada para leluhur dan roh-roh penjaga hutan, dan meredahkan amarah roh-roh yang marah karena pemukiman mereka diusik oleh manusia. Dalam ritual ini petani menyembelih seekor binanatang, biasanya anak babi, mengosok darahnya pada segenap sudut kebun, meletakkan kelengkapan sesajian, lalu menghantar kepala hewan sembelihan kepada mereka yang dianggap sebagai tuan atau pemilik tanah.
Proses menanam hingga memanen, baik padi maupun jagung, adalah peristiwa sosial yang selalu terjadi berulang dan karena itu berfungsi menguatkan kohesi sosial dan sekaligus menjadi social capital yang terjaga dengan baik turun-temurun. Setiap petani membagi kebunnya ke dalam beberapa petak dengan pembatas yang disebut bliko. Panen, baik padi maupun jagung, biasanya dimulai dari petak yang paling bawah. Petak yang paling akhir biasanya disisakan untuk para pemetik. Model upah petik atau sistem bagi hasil semacam ini tidak dikenal dalam masyarakat modern tetapi amat praktis dan memenuhi rasa keadilan pada masyarakat desa. Kemampuan memetik pada petak-petak sebelumnya dan hasinya diberikan kepada pemilik kebun akan sebanding dengan kemampuan memetik pada petak terakhir untuk menjadi milik sendiri. Mereka menyebutnya beam’eng = mengklaim hasil petikan di petak tersebut sebagai milik sendiri yang sah.
Para petani juga secara turun-temurun membentuk organisasi kerja berupa kelompok-kelompok petani yang memiliki akar kultural mendalam. Di desa Kolimasang, misalnya, sebelum masa Orde Baru masyarakat, khususnya kaum pria, sudah membagi diri ke dalam kelompok-kelompok petani lintas wilayah pemukiman di dalam kampung dengan nama gemohing, yang berarti kelompok gotong royong. Kelompok-kelompok gemohing mempunyai jadwal kerja rutin dalam seminggu. Karena sifat keanggotaannya lintas pemukiman maka semua peristiwa sosial di bagian kampung yang lain, disebut riang, dengan mudah diteruskan kepada anggota dari wilayah kampung yang lain pada saat bekerja gotong royong di kebun.
Masih pada kasus desa Kolimasang, pada tahun 1980an kepala desa setempat, dalam rangka mengejar target Desa Teladan, merombak sistem gemohing, dari komunitas petani lintas pemukiman di dalam kampung menjadi kelompok gemohing menurut struktur pemerintahan desa, RT/RW.  Keadaan fisik tiap RT/RW di desa memang kemudian menjadi lebih rapih tetapi warganya tidak menjadi lebih sosial. Jika dalam sistem gemohing lama para anggota kelompok bisa saling berbagi informasi tentang perkembangan di sudut desa yang lain dan juga turut kerja bakti di wilayah riang yang lain, sebaliknya dalam pola gemohing-RT/RW mereka hanya mengetahui apa yang terjadi di lingkungan RT/RW mereka. Padahal, tradisi di desa mengharuskan, jika ada seorang warga meninggal di sudut kampung sekalipun, maka semua aktifitas warga, terutama berkebun, dibatalkan. Seluruh kampung berduka. Dalam sistem gemohing baru, sebagian warga sudah berada di kebun pada pagi buta dan tidak sempat mendapat informasi kalau ada anggota masyarakat yang meninggal. Belum lagi generasi muda yang kehilangan akar budaya gemohing menganggap peristiwa duka itu hanya urusan orang-orang di RT/RW bersangkutan! Dalam beberapa tahun terakhir muncul resistensi dari masyarakat: selain menjalankan pola gemohing ala Orde Baru, para petani diam-diam menghidupkan kembali pola gemohing lama sebagai cultural needs yang telah membentuk jati diri mereka.
Ketika panen perdana masyarakat di sepanjang wilayah Koli ramai-ramai membawa panen jagung muda perdana untuk diberikan kepada Bapak Raja Sagu sebagai tanda terimakasih rakyat jelata kepada penguasa. Demikian pula ketika terjadi serangan hama tikus, baik di ladang jagung maupun di lumbung padi dan jagung, para petani melakukan upacara dopeng lepong boka – yaitu semacam upacara bersih desa dengan cara menghantar tikus keluar dari kampung disertai dengan bekal berupa miniatur sokal atau lepong berisi kapas dan padi simbol sandang dan pangan. Dan masih banyak ritual lainnya, baik dalam konteks tanam dan panen maupun dalam proses menuju lumbung dan selama hasil panen berada di dalam lumbung. Oleh karena itu, gagasan menghidupkan kembali lumbung di tingkat masyarakat akar rumput tanpa menghidupkan kembali sendi-sendi kultural yang menopang berdirinya bangun kultural lumbung itu sendiri adalah sebuah konsep yang terlalu mentah. Lumbung yang tidak memiliki akar filosofi dan kultur lokal hanya akan menjadi benda kapitalis asing dan aneh di tengah masyarakat.


Dari Agrikultur ke Agribisnis dan Perubahan Paradigma Ketahanan Pangan

Penduduk pulau Adonara sejak jaman kolonial hidup dalam dua kultur pertanian: berkebun/berladang dan menanam kelapa sebagai tanaman perdagangan utama selain pohon kemiri yang tumbuh secara liar. Orang menjadi kaya (baca: memegang uang) karena memiliki kebun kelapa, dan bukan karena menjual hasil kebun seperti padi dan jagung. Tingginya tingkat pendidikan masyarakat berkorelasi dengan populasi dan sebaran kebun kelapa di suatu kampung atau wilayah. Sampai sekarang kawasan Adonara Tengah (mulai dari Kiwangona, Hinga, Pepak, Lamabunga hingga Witihama) nyaris didominasi kebun kelapa disertai gejala akut menyempitnya lahan pertanian untuk membuka ladang padi atau jagung. Sabaliknya, sampai dengan akhir tahun 1970-an kawasan pantai utara pulau Adonara, mulai dari Sagu, Koli, Arang, Adonara, hingga Waiwadan, bahkan hampir seluruh wilayah Adonara Barat, masih menjadi kawasan pertanian rakyat yang produktif. Kawasan ini dapat disebut sebagai lumbung pangan bagi Adonara. Setiap pagi selalu ada ibu-ibu dari wilayah Hingga atau Witihama mencari jagung di kampung-kampung di wilayah Koli hingga berburu sampai ke kebang di kebun.
Situasi ini mulai berubah sejak pertengahan tahun 1980-an ketika para perantau yang bekerja di berbagai perkebunan di Malaysia mulai memperkenalkan pola tanam tanaman perdagangan, mulai dari cengkeh, kakao, hingga jambu  mete. Tanaman cengkeh hampir tidak pernah berhasil. Sebaliknya, kakao dan jambu mete, dua komoditas unggulan di pasar nasional dan internasional, telah mendorong para petani mengonversi lahan pertanian padi dan jagung mereka secara masif menjadi kebun coklat atau jambu mete. Cash value yang diperoleh dari tanaman kakao dan jambu mete membuat para petani merasa lebih percaya diri karena bisa memegang uang tunai di tangan ketimbang memiliki padi dan jagung berlimpah di dalam kebang atau lepong boka. Dengan menanam kakao dan jambu mete mereka bisa membeli sepeda motor dan memiliki hand phone – walau kedua makhluk modern itu lebih menguras isi dompet mereka ketimbang membuat mereka menjadi lebih sejahtera.
Migrasi dari masyarakat agrikultur ke masyarakat agribisnis tentu membawa perubahan paradigma ketahanan pangan itu sendiri. Pada masyarakat agrikultur, petani adalah subyek otonom dan tuan di atas tanah mereka. Mereka bisa mengukur kekuatan lumbung mereka dan mengetahui persis kapan mulai berburu ubi hutan sebagai penyanggah pangan cadangan di musim lapar. Sebaliknya, pada masyarakat agribisnis, harga komoditas pertanian mereka, sama seperti pemenuhan kebutuhan dapur mereka, ditentukan oleh mekanisme dan dinamika pasar yang sepenuhnya berada di luar kendali mereka.  Dengan tidak lagi memiliki lumbung padi dan jagung sendiri mereka mulai bergantung pada beras di pasar, dan hal itu berarti semua pekerjaan mereka sepanjang tahun adalah dalam rangka mensubsidi petani sawah dan pedagang beras di luar wilaya mereka. Dalam politik ketahanan pangan, mereka bukan lagi subyek ekonomi mandiri tetapi obyek ekonomi pasar bebas dengan tingkat kerentanan yang tinggi.
Jatuhnya harga komoditas perdagangan kakao dan jambumete di pasar internasional, pasar nasional dan pasar domestik, disertai dengan melonjaknya harga beras adalah dua pukulan mematikan bagi petani agribisnis akibat tidak adanya pertanggungajwaban rasional yang menyertai pergeseran paradigma pertanian dari agrikutltur menjadi agribisnis. Meminjam teori pergeseran paradigma (Schnädelbach), pergeseran pola agrikultur ke agribisnis tidak disertai dengan kesadaran kritis atas situasi awal yang baru dan karena itu para petani itu gagal merumuskan pertanyaan paradigmatis awal yang baru atas situasi baru. Dampaknya sudah bisa ditebak: orang melakoni ekonomi pasar bebas tanpa memahami kelemahan sistem pasar bebas itu sendiri. Orang meninggalkan pola pertanian agrikultur tanpa menyadari kekuatan ekonomi subsisten yang terdapat pada ekonomi agrikultur. Petani menjalani kehidupan agribisnis tetapi dengan pola pikir agrikultur. Dan juga sebaliknya, orang menjalankan agribisnis tetapi dengan mentalitas agrikultur.
Dengan cara itu mereka lalu kembali mengulangi kesalahan yang tidak disadari dan telah berjalan puluhan tahun sebelumnya: melakukan konversi atas lahan pertanian menjadi kebun kelapa tanpa pernah berpikir tentang siapa yang menentukan harga kopra di pasar. Kini mereka menjual langsung hasil panen kakao dan jambu mete kepada tengkulak, sama seperti dulu mereka menjual kopra kepada pedagang atau koperasi, tanpa pernah berpikir bagaimana mengambil peran yang lebih bermakna dalam salah satu matarantai ekonomi pasar bebas dengan nilai lebih, misalnya bergeser dari petani produsen saja menjadi petani dan pengolah hasil pertanian.


Hilangnya Lumbung Petani dan Politik Pengembangan Kawasan

Adalah muskil membayangkan upaya pemerintah membangun kembali lumbung pangan dalam pengertian primer lumbung petani untuk ketahanan pangan di tingkat akar rumput hanya dengan membangun gudang pembelian dan penyimpanan hasil panen petani. Gudang seperti itu tak pernah menjadi milik rakyat karena tidak lahir dari proses kultural dalam bertani. Gudang semacam itu adalah lumbung kapitalis, lahir dari konsep ketahanan karena situasi emergency, bukan sebuah sistem ketahanan pangan yang sustainable. Pelaku ekonomi lumbung moderen seperti itu adalah para birokrat koperasi atau dinas pertanian yang datang dalam nama manajer berdasi, bukan petani dengan kaki penuh lumpur.
Sejak masa Orde Baru, koperasi dan pedagang Cina bersaing masuk ke kampung-kampung untuk mengumpul hasil perkebunan terutama kopra. Anehnya, dalam sejumlah kasus, koperasi kemudian menjual hasil pengumpulannya kepada pedagang Cina. Dari para saudagar Cina inilah kemudian hasil bumi diangkut dengan kapal layar atau perahu motor dari pelabuhan-pelabuhan rakyat di pantai utara Adonara menuju Surabaya. Itu pula alasan mengapa ekonomi di sepanjang pantai utara pulau Adonara cerah dan bertahan hidup sejak jaman Belanda.
Intervensi pemerintah yang menerapkan aturan retribusi berjenjang dan pengawasan ketat atas perdagangan antar pulau menyebabkan hasil pertanian di pantai utara harus diangkut ke ibukota kecamatan di Waiwerang yang berada di pantai selatan dan seterusnya menuju ibu kota kabupaten di Larantuka. Pelabuhan rakyat seperti Sagu, Arang, Adonara dan Waiwadan kehilangan relevansi, alasan, dan kemampuan untuk bertahan.
Kini geliat ekonomi rakyat di pantai utara sebagai penyedia biji jambu mete terbesar dari pulau Adonara untuk tujuan ekspor menyebabkan pemerintah mulai membangun sarana infrastruktur jalan raya, bukan untuk membantu mobilitas dan ekonomi masyarakat di kawasan itu, tetapi terutama untuk menjemput hasil retribusi atas transaksi jual beli hasil perkebunan langsung di tengah kebun. Mengapa perhatian terhadap kawasan ini begitu terlambat? Selama setengah abad Indonesia merdeka, Larantuka sebagai ibukota kabupaten dengan rasa tidak bertanggungjawab memandang pulau di depannya sebagai pulau tidak bermanfaat untuk pemerintah kabupaten, sebagai pulau asing yang tak perlu diurus. Keputusan membangun jembatan penyeberangan Tobilota nampaknya lebih untuk melayani kepentingan Waiwerang dan kawasan Adonara bagian Selatan dan Timur. Sebaliknya pembangunan jembatan penyeberangan Tanah Merah justru tidak disertai dengan persiapan infrastruktur untuk suatu pengembangan kawaan yang menyeluruh berbasis konsep yang terintegrasi. Kawasan pantai utara pulau Adonara, mulai dari Tanah Merah hingga Sagu bakal dipandang sebagai lumbung jambu mete dan akan kehilangan peran sebagai lumbung pangan berbasis petani.
Keengganan dan ketidakseriusan pemerintah kabupaten Flores Timur membangun sistem pertanian untuk memperkuat lumbung pangan rakyat nampak dari terbengkelainya proyek bendungan Waigowa untuk mengaliri sawah di dataran Plebo dan Lewobuku. Saat ini, di sepanjang jalan antara Waiwadan dan Tanah Merah orang bisa menemukan proyek irigasi mubasir. Saluran-saluran air sekunder dan tersier dibangun hingga ke bibir pantai tetapi sungainya sendiri kering kerontang. Dana pengembangan daerah tertinggal sudah dihabiskan untuk dan atas nama penguatan basis ketahanan pangan masyarakat. Namun demikian, tidak air yang mengalir di kanal-kanal irigasi yang dibangun, tidak ada sawah yang dicetak, dan tentu tidak akan ada lumbung yang kembali berdiri.


            [1] Kupang Tribun News Online (19/11/2011) „Hari Kamis Wajib Makan Pangan Lokal“. http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/72699.
            [2]Surya Online (24/11/2011) Lamongan Bangun Lumbung Pangan Rp 1 Miliar. “http://www.surya.co.id/2011/11/24/.
[3] Majalah Potensi. (27/10/2011). „Antisipasi Krisis Pangan, Satu Desa Satu Lumbung Pangan“. http://kominfo.jatimprov.go.id/watchp/791
            [4] Pikiran Rakyat (http://www.pikiran-rakyat.com/node/179475.
[5] Sindikasi (25/01/2012). „Gubernur NTT Minta Perhatikan Kemasan Produk Lokal“. http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1822509/.
[6] Waha orineng, berasal dari kata oring (pondok) untuk waha (padi)
                [7]  Geng menu lolong ne = makan dan minumlah dari bagian yang paling di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar