oleh Robert B. Baowollo[1]
Pengantar: Beberapa Paradoks Dunia Pendidikan dan Realitas Hidup Berbangsa
Ada banyak paradoks memprihatinkan yang terjadi
dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia pada saat ini, beberapa di antaranya,
misalnya: (a) negeri ini setelah lebih dari 60 tahun tidak henti-hentinya
dilanda konflik etnis dan agama – suatu realitas yang sesungguhnya tidak normal dan keadaan itu tidak bisa
dilukiskan sebagai baik-baik saja. Juga, bahwa hal itu berlawanan dengan
cita-cita bersama untuk hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi pada saat yang
sama kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita masih mengandaikan bahwa semuanya
baik-baik saja, tidak ada masalah: konflik, ya konflik – sekolah, ya sekolah;
keduanya seolah tidak saling berhubungan; (b)
Pembangunan di sektor hidup
beragama mendapat perhatian sangat besar, tetapi upaya pembangunan luar
biasa itu tidak lantas berkorelasi langsung dan positip dengan kualitas hidup bersama sebagai praksis beriman: rumah ibadah kita
banyak dan megah, ibadah-ibadah kita juga megah dan meriah, tapi praktek korupsi dari orang-orang yang
mengaku bergama itu juga sangat megah dan meriah!; (c) khotbah-khotbah dari
hampir semua rumah ibadah gencar menyampaikan pesan kasih – bahkan ada perintah: kasihilah musuh-musuhmu! – dan ada
harapan besar agar agama-agama dan umat beragama menjadi rahmatan lil alamin. Tetapi pada saat yang sama kita justru
menyaksikan berbagai aksi kekerasan serta teror (bom) atas nama agama yang justru membuat banyak orang menderita. Bahkan perbuatan-perbuatan
menyengsarakan orang lain itu disambut dan dirayakan dengan pekik sorak kemenangan
dan rasa syukur kepada Allah; (d) Para pelaku kekerasan, mulai dari pelaku
teror bom, pelaku penyerangan terhadap kelompok etnis dan agama lain dan terhadap
kelompok-kelompok masyarakat minoritas, para pelaku tawuran anak sekolah hingga
mahasiswa – mereka semua pasti pada suatu masa pernah menjadi anak-anak kecil
manis, disayang orang tua, dibelikan baju baru, diantar kesekolah, mengalami
masa-masa cerah dan ceriah di sekolah, banyak menimba ilmu pengetahuan yang
bermanfaat, etc. Tetapi mengapa sebagian anak-anak
muda yang lahir dari proses kasih sayang di dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, dan sekolah itu justru menjadi manusia-manusia intoleran,
anti-kemajemukan, bringas, dan suka memaksakan ideologi mereka dengan cara-cara
kekerasan? Apa yang salah dengan sekolah, masyarakat, dan keluarga-keluarga
kita sebagai lingkungan belajar?
Empat contoh paradoks sosial
di atas hanyalah merupakan puncak-puncak kecil dari gunung es kekerasan laten
yang mengancam integrasi bangsa ini. Semua pihak, termasuk institusi
pendidikan, harus merumuskan peran masing-masing untuk mencegah kehancuran dan
kebangkrutan Indonesia sebagai rumah bersama. Sekolah adalah salah satu pilar
terpenting proses pembentukan peradaban. Alangkah baiknya jika sekolah mulai
menata diri untuk menjadi contoh praksis kemajemukan Indonesia. Tetapi sebaliknya,
alangkah celakanya jika sekolah membiarkan dirinya menjadi lahan subur
pembibitan mentalitas korup, radikalisme dan fundamentalisme yang cepat atau
lambat akan melahirkan ideologi terorisme. Oleh karena forum ini adalah forum
dinas/kementerian agama, maka saya membatasi diri untuk hanya berbicara
mengenai tanggungjawab sekolah dalam menumbuhkan semangat pluralisme dan
toleransi dalam hidup beragama dan bermasyarakat, serta mencegah agar sekolah
tidak menjadi lahan persemaian benih-benih fundamentalisme, radikalisme, dan
terorisme.
Mengapa Sekolah?
Radikalisme itu tidak berawal dan berasal dari
medan konflik seperti Afghanistan atau Bosnia, Palestina atau Iran, Belfast
atau Basque. Radikalisme itu bertumbuh mulai dari dalam pikiran manusia! Radikalisme
itu menyangkut pemikiran dan pola berpikir yang berasal dari proses pembentukan
cara berpikir. Oleh karena itu, sekolah adalah institusi yang paling
bertanggungjawab terhadap munculnya radikalisme dan fundamentalis beserta
segala ekses yang ditimbulkannya.
Arah pendidikan nasional dan
kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita sudah lama dibajak, keluar dari
rel filosofi pendidikan dan cita-cita kemerdekaan untuk memanusiakan manusia
Indonesia, dan hanya menjadi abdi/budak kolonialisme modal, kapitalisme dan
industri modern yang berjarak dengan rakyat miskin. Anak-anak di sekolah belajar
atau diajari ilmu-ilmu tinggi untuk
bisa memasuki abad industri dan abad informasi, tetapi pada saat yang sama anak-anak
yang sama justru gagap dan gagal mengenal dan beradaptasi dengan
alam lingkungan di sekitar mereka. Isi kurikulum kita mengandaikan bahwa seolah-olah
nanti semua anak Indonesia akan
menjadi dokter, insinyur, profesor, dan lain-lain, pada hal angka putus sekolah
dan pengangguran jelas-jelas masih sangat memprihatinkan: anak-anak muda itu
tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak mampu meneruskan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, bukan saja karena faktor biaya – sebagaimana banyak
dituduhkan – tetapi juga karena pembenahan kurikulum
berbasis kompetensi masih belum menghasilkan kompetensi yang diharapkan.
Upaya mengembalikan keputusan tentang substansi materi pembelajaran kepada
satuan pendidikan masing-masing dengan introduksi KTSP juga belum mampu membuat proses pembelajaran yang memampukan
anak didik menguasai alam lingkungan di sekitar satuan pendidikan mereka.
Mereka kemudian terlempar kembali ke masyarakat dengan bekal yang serba tanggung: tau banyak hal tapi
hanya sedikit-sedikit dari yang banyak itu, dan dari yang sedikit-sedikit itu
hampir tidak ada yang bisa diterapkan dalam hidup mereka.
Salah satu dampak ‘robotisasi’ produk pendidikan untuk
menghasilkan sumberdaya manusia (sebuah
istilah yang menyamakan manusia sebagai barang modal sejajar dengan sumberdaya alam, dll.) demi melayani
kebutuhan dunia industri kapitalis itu adalah lemahnya penanaman sistem nilai
pada anak didik. Sekolah cenderung mengabaikan proses dan mementingkan output:
yang penting angka lulusan tinggi, terserah apakah target itu mau dicapai
dengan cara halal atau tidak halal, semua itu tidak penting. Sekolah lalu
kehilangan peluang dan peran utama dalam pembentukan karakter manusia muda
Indonesia akibat pragmatisme pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus kembali
kepada fungsinya sebagai tempat berlangsungnya proses persemaian dan pembentukan
manusia berbudaya dan berakhlak, manusia yang mempunyai karakter untuk merawat
ko-eksistensi damai antara manusia dengan alam lingkungannya, menjadi manusia
yang menolak kekerasan dan mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesaikan
konflik.
Sekolah dan Lahan Pembibitan Fundamentalisme
Fundamentalisme dan radikalisme adalah dua
fenomena yang memprihatinkan dewasa ini. Para pemimpin negeri ini seperti
gagap, tidak siap, dan tidak mampu mengatasi akar persoalan fundamentalisme dan
radikalisme yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fundamentalisme sebenarnya
mengandung makna yang netral: orang
mau kembali ke pada dasar-dasar (fundamentals)
ajaran/doktrin agama yang asli dan benar.
Karena itu fundamentalisme sering disebut sebagai gerakan puritan = gerakan yang ingin memurnikan kembali
(purifikasi) ajaran/doktrin agama dari tafsir dan praktek yang dinilai sudah
melenceng dan sesat. Gerakan fundamentalisme sebenarnya berasal dari sejarah
Kekristenan, terutama sejarah Kekristenan di Amerika Utara pada awal abad 20
sebagai reaksi terhadap teori evolusi Darwin yang dianggap bertentangan dengan Kitab
Suci dan dasar-dasar doktrin iman Kristiani. Dewasa ini pembicaraan mengenai
fundamentalisme seolah-olah hanya merujuk kepada kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan radikal. Padahal di dalam kelompok-kelompok Kristen juga terdapat
kelompok-kelompok fundamentalis yang tidak kalah sengitnya dalam ‘memerangi’
doktrin kekristenan pada gereja-gereja tradisional. Fundamentalisme bersifat ortodoks,
puritan, tertutup atau suka menutup diri. Kelompok-kelompok fundamentalis menganggap
hanya keyakinan mereka saja yang (paling) benar, keyakinan lain di luar mereka
adalah salah dan sesat. Kelompok fundamentalis, terutama fundamentalisme
agama, mempunyai kecenderungan dan
obsesi untuk menaklukkan dunia yang dipandang sebagai kafir, sesat, bida’a, dan semua keyakinan atau
ideologi yang dianggap tidak sejalan dengan cara pandang menurut kacamata doktrin
kaum puritan.
Kurikulum pelajaran agama dan
praktek pengajaran agama di sekolah-sekolah kita, juga di berbagai pengajian
dan/atau kegiatan katekisasi, masih sarat dengan muatan fundamentalisme yang
mendiskualifikasi orang yang berkeyakinan lain sebagai salah, sesat, kafir, dan
karena itu tidak bakal masuk surga. Anak-anak yang masih polos diracuni dengan
pandangan fundamentalisme, bahwa, misalnya: “hanya
mereka yang percaya pada nama Yesus Kristus saja yang akan diselamatkan”
[lalu yang tidak/belum percaya Yesus itu (di)hanyut(kan) ke mana? Bagaimana
nasib orang-orang yang lahir sebelum Yesus? Apakah mereka juga harus masuk
neraka gara-gara Yesus terlambat lahir? Apakah orang-orang tua kita, nenek
moyang kita, yang sangat saleh dan teguh memegang etika adat istiadat, hidup
damai dan penuh toleransi, itu juga harus masuk neraka gara-gara belum dibaptis
menjadi pengikut Kristus?]; atau “mereka yang tidak percaya pada Al-Qur’an,
Hadist, dan Nabi Muhammad saw adalah orang-orang kafir. Dan bahwa orang-orang
kafir itu bakal masuk neraka semua dan pantas diperangi,” dan sebagainya,
dan seterusnya.
Anak-anak pada usia dini sudah
diindoktrinasi dengan pemikiran diskriminatif yang berdampak pada diseminasi
kebencian pada semua yang lain, pada semua yang berbeda dari keyakinan dan identitas
mereka: Anak-anak Muslim dilarang bergaul dengan anak-anak Kristen, demikian
pula sebaliknya. Dan semua ini diajarkan dengan bangga dan didasarkan pada
keyakinan untuk menjalankan perintah agama. Pantaskah agama-agama, sebagai
lembaga, melalui sekolah mengajarkan kebenaran-kebenaran
dangkal seperti itu?
Sekolah-sekolah kita juga,
terutama sekolah-sekolah umum/negeri dari hari ke hari mulai dikelola dengan
pola segregasi dengan semangat sektarian. Kultur kelompok mayoritas dipaksakan
untuk menyeragamkan semua yang tidak seragam, yang tidak sesuai dengan identitas
kelompok mayoritas. Pemerintah-pemerintah daerah, dengan menggunakan dalil
otonomi daerah, mengeluarkan produk peraturan daerah sebagai payung hukum untuk
membenarkan dan melestarikan diskriminasi dan pemaksaan penyeragaman di
sekolah. Maka, sejak itu perbedaan dan keragaman bukan lagi merupakan sebuah
kekayaan tetapi malah dianggap aneh dan salah, dan karena itu harus ditaklukkan
melalui politik penyeragaman identitas. Pola-pola pembinaan siswa (dan
mahasiswa) semakin merapat ke kelompok-kelompok fundamentalis yang berada di
luar sekolah (dan kampus) – suatu kondisi yang menimbulkan friksi dalam
pengelolaan kemajemukan di sekolah dan kampus yang berdampak pada menguatnya
segregasi sosial di masyarakat dan melestarikan prasangka dan kebencian antar kelompok
(suku dan agama) di negeri ini.
Radikalisme: Faktor-Faktor Psikologis
Radikalisme, terutama radikalisme agama, adalah
fenomena yang melanda sebagian besar kaum muda dan menjadi fenomena yang paling
memprihatinkan di negeri ini pada saat ini. Terma dan konteks radikalisme (dari kata Latin: radix = akar) secara politik muncul
pertama kali pada akhir abad 18 dan terus mengalami perubahan makna. Secara
sederhana, radikalisme merupakan sebuah bentuk orientasi politik yang
menghendaki perubahan-perubahan fundamental, drastis, dan revolusioner – karena
itu merujuk pada terma radix à perubahan-perubahan
pada (tingkat) akar. Kepedulian kita terhadap fenomena radikalisme dan maraknya
tindakan kekerasan atas nama agama, baik dalam bentuk terorisme maupun tindakan-tindakan
intoleran terhadap kelompok-kelompok minoritas adalah karena para pelaku
berbagai aksi kekerasan itu adalah anak-anak muda yang masih dalam masa
pendidikan atau belum terlalu lama meninggalkan dunia pendidikan. Bahkan dalam
kasus 11 September, misalnya, para pelakunya (Moh. Ata cs.) adalah
mahasiswa-mahasiswa pada universitas-universitas terbaik di Barat!). Apa yang
salah dengan dunia pendidikan?
Berikut ini penjelasan tentang
beberapa faktor sosio-psikologis yang berpotensi mendukung atau mendorong seseorang,
terutama anak-anak muda yang masih mencari-cari orientasi hidup, untuk mengadopsi
ideologi radikalisme dan bergabung dengan kelompok-kelompok radikal dan terorisme
dan sekaligus menjadi alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka:
1. Ideologi/agama yang menjanjikan solusi gampang dan praktis atas semua
persoalan hidup di dunia. Anak-anak muda (dan siapa saja yang berada pada fase labil) amat mudah
didekati dengan cara-cara persuasif, dibujuk-rayu untuk yakin pada kebenaran
absolut ideologi tertentu. Jika manusia-manusia muda ini sudah bergabung dengan
kelompok-kelompok radikal yang lebih besar maka mereka akan mendapat tekanan dari
kelompok sedemikian rupa hingga mereka akhirnya mampu beradaptasi dan menerima
ideologi baru itu, tidak lagi mempersoalkannya, bahkan merasa nyaman dengan
cara pandang baru itu. Mereka juga tidak diperkenankan untuk berpikir dan
bersikap kritis. Para mentor mereka menggunakan berbagai seremoni
(sumpah/baiyat) dan teknik-teknik menghilangkan akal sehat dan kesadaran
lainnya untuk memanipualsi cara berpikir anak muda. Mereka kemudian diisolasi
dari dunia luar.
2. Keyakinan yang sangat kuat bahwa tidak ada alternatif lain untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan di dunia ini selain alternatif yang
ditawarkan oleh ideologi/agama. Di sini telah terjadi proses pendangkalan spektrum
psikologis (anak-anak muda mengalami psiko-patologis
seperti depresi atau stress yang ekstrem).
3. Dunia ini diinterpretasikan menurut sebuah persepsi ‘menyeluruh’ yang tidak
boleh disangsikan lagi. Lagi-lagi di sini terjadi proses mendangkalkan spektrum psikologis –
sebuah contoh dari model characteristics
of cults = anak-anak muda itu mengidolakan solusi yang ditawarkan oleh sebuah
ideologi/agama (atau tokoh kharismatis tertentu). Anak-anak muda sering
memasang stiker berikut ini di kaca mobil mereka: Jesus is the answer atau Islam
is the answer. Mereka menyodorkan isntant
answers ( jawaban ces-pleng) untuk semua persoalan tetapi tidak ada
yang tau persis what is the question?
4. Pemimpin kharismatis yang menarik pengikut-pengikutnya. Para pengikut pemimpin kharismatis
menerima begitu saja, dan merasa nyaman, dengan ideologi dan perintah dari sang
pemimpin mereka. Psikologi merumuskan secara baik gejala ini sebagai bentuk
konformitas dan kepatuhan, cara berpikir kelompok (group thinking), dan pengidolaan (cults).
5. Adanya kesadaran tentang siapa saja in-group saya dan bahwa in-group saya sedang dalam bahaya. Mereka mendefinisikan – dan dengan
demikian membedakan – diri mereka dengan dunia di luar mereka dalam terma ‘kami
melawan mereka’, sebuah fenomena psikologis polarisasi in-group vs. out-group.
6. Adanya pola pikir stereotipe dan memandang dunia secara hitam-putih tanpa
ruang kompromi atau area abu-abu sedikit pun. Mereka menilai secara kategorial pihak lain sebagai
salah, sesat, jelek, brengsek, etc. dan bahwa hanya mereka yang paling benar
dan karena itu paling baik.
7. Adanya atmosfer dukungan terhadap langkah-langkah kekerasan yang pernah mereka
ambil. Nilai dan
norma kelompok ideologi mereka membenarkan
apa yang mereka lakukan.
8. Tujuan perjuangan mereka jauh lebih penting ketimbang memikirkan nasib
manusia yang menjadi korban tindakan mereka. Semua cara dianggap halal, legal dan legitim, untuk
mencapai tujuan mereka. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai moral disengagement (Bandura): membenarkan
tindakan mereka menurut ukuran moral yang mereka anut (moral justification), euphemistic
labeling, membanding-bandingkan segala sesuatu dengan memakai tolok ukur
diri mereka sebagai model yang paling baik (advantageous
comparison), tidak merasa ikut bertanggungjawab bila ada kerusakan atau
korban akibat tindakan mereka (displacement
of responsibility), merendahkan dan/atau mempersalahkan orang lain yang dipersepsi
sebagai ‘yang tidak berkenan di mata mereka’ (dehumanization and attribution of blame).
9. Sense of futility – perasaan yang
mengatakan bahwa tidak ada yang bisa berubah atau berjalan dengan baik terkecuali
melalui penggunaan kekerasan. Hal ini lebih merupakan situation effect dan/atau akibat de-individuation dan
de-humanization.
10. Pandangan yang mengatakan bahwa kehancuran sistem sosial dan sistem
pemerintahan, keruntuhan rejim yang berkuasa, atau bahkan kehancuran
seluruh dunia merupakan hal yang tak
terhindarkan.
11. Adanya kedadaran tentang keterbatsan waktu: perubahan harus terjadi sekarang
juga!
12. Usia muda merupakan
faktor yang rentan terhadap semua proses manipulasi di atas. Anak-anak muda
rentan terhadap proses radikalisasi.
Residu Sejarah dan Apa Yang Bisa Dilakukan Sekolah
Studi-studi yang dibuat oleh Dian Interfidei
Yogyakarta, CRCS UGM dan PSKP UGM – sendiri-sendiri maupun bersama –
menyimpulkan bahwa praksis pengajaran agama di sekolah (kurikulum/silabus, isi
buku pelajaran, metode pembelajaran, dan arah pengajaran) masih
‘terkontaminasi’ oleh virus sektarian, intoleransi, dan posisi yang mengklaim
kebenaran mutlak pada kelompok sendiri dan menganggap yang lain sebagai sesat.
Realitas ini, cepat atau lembat, akan mendorong penguatan segregasi sosial di
masyarakat berbasis agama (dan etnis). Realitas segregasi seperti itu tidak hadir
begitu saja atau tiba-tiba turun dari langit. Semuanya bersumber dari semangat
pewartaan: missi/zending dan da’wah yang berkompetisi sepanjang
sejarah untuk memperebutkan ummat,
baik dalam nama kristenisasi maupun islamisasi terhadap penduduk pribumi
Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa persaingan missi/zending versus da’wah sejak
awal berjalan penuh kekerasan berdarah-darah – sebuah situasi yang kemudian
mewariskan rasa persaingan dan permusuhan antar-agama hingga hari ini.
Jauh sebelum konflik antara Timur
(Islam) dan Barat (Kristen) yang kita warisi saat ini (terutama dalam diskursus
Perang Salib), di antara agama-agama besar itu sendiri sudah ada konflik internal
dengan nuansa politik dan kekerasan yang sangat kental. Demikian, misalnya,
konflik atau tepatnya kontestasi antara Khalifah Abbasiyah di Bagdad (750 –
1258) dengan Khalifah Umayyah. Khalifah Abbasiyah mengusur kekuasaan Khalifah
Umayyah hingga tersisa provinsi Al-Andalus
(Spanyol) (711-1492) yang kemudian jatuh ke tangan pasukan Kristen-Spanyol di bawah
perintah Raja Ferdinand dan Ratu Isabela (1492). Khalifah Bagdad kemudian
ditundukkan Hulagu Khan dari Mongolia hingga akhirnya Islam kemudian dapat
bersinar kembali sejalan dengan munculnya Kesultanan Ottoman (Utsmani) sebagai icon kebangkitan dan keemasan tata
pemerintahan dan keperkasaan Islam (melawan Eropa) dengan pusat di
Contstantinopel (Istanbul). Demikian pula kontestasi antara Romawi Barat dengan
Romawi Timur (Bizantium) berujung dengan jatuhnya Konstantinopel ke Ottoman
(1453) dan menjadi Islam (sampai hari ini).
Eropa yang Kristen juga terperangkap
dalam perang agama (dan politik) antara sesama denominasi Kristen (Katolik dan
Protestan) selama 155 tahun (1560 – 1715). Konflik politik/agama di Negeri
Belanda (basis Protestan-Calvinis) pada jaman kolonial ikut memberi warna
persaingan missi (katolik) dan zending (Protestan) di Hindia Belanda
dan berdampak pada pembentukan karakter pengajaran agama Kristen di
sekolah-sekolah serta praktek perebutan political
goods sejak jaman Hindia Belanda sampai hari ini, terutama di Maluku,
Timor/Flores, Minahasa, dan Papua. Demikian pula konflik Timur Tengah yang
berpusat pada isu Palestina-Israel dan hubungan dunia Arab dengan
Amerika-Barat-Kristen, juga perang di Timur Tengah, khususnya di Afganistan,
dan persoalan separatis komunitas Muslim di Philipina Selatan – semuanya ikut
membentuk karakter politik sektarian di negeri ini dan berpengaruh terhadap corak
pengajaran agama di sekolah-sekolah.
Dalam latar belakang seperti itu
muatan khotbah, da’wa, dan isi buku
pelajaran agama-agama di sekolah-sekolah dalam sebuah Indonesia post-colonial cenderung terjebak untuk
menghidupkan kembali romantisme masa lalu sambil menyakiti diri dengan
mengusik-usik luka dan duka sejarah masa lalu – semuanya untuk memprovokasi kesadaran kolektif beragama
secara lebih radikal. Pengajaran
agama di sekolah-sekolah tidak lagi diarahkan untuk menghadapi realitas masa
depan yang tidak terelakkan: yaitu masyarakat multikultur, pluralis, masyarakat
global, dll, tetapi terjebak untuk bernostalgia ke belakang untuk memulihkan kejayaan masa lampau dengan cara
menutup diri, menjadi fundamentalis. Semua kegagalan dan kebangkrutan dunia
hari ini ditimpakan pada kesalahan manusia akibat tidak berjalan di jalan Allah. Karena itu solusi untuk semua
persoalan, mulai dari urusan pemerintahan yang gagal, penyakit dan kelaparan,
korupsi, badai topan dan bencana tsunami, kalah di lapangan bola atau listrik
PLN mati terus – menurut kelompok dengan cara pandang ini – semuanya hanya bisa
diatasi dengan satu jurus ampuh: kembali ke jalan Allah dan serahkan semua
kepada Allah. Biarlah Allah yang mengatur. Maka pada titik inilah, rasio – akal
budi manusia yang dianugerahkan Tuhan untuk berpikir guna mengatasi persoalan –
malah dipensiunkan! Inilah cara berpikir fatalis.
Apa Yang Bisa Dilakukan Sekolah
Kita secara individu maupun kelompok tidak pernah
mampu mempelajari detail sebuah keyakinan/agama sebelum akhirnya merasa yakin
dan menyimpulkan bahwa agama si A atau si B itu baik dan karena itu kita boleh
bergaul, bersahabat, atau bertetangga dengan seseorang dari komunitas dengan
keyakinan berbeda dengan kita. Yang sebaliknya malah lebih mungkin: dari
pergaulan sehari-hari – sebagai sahabat, tetangga atau rekan kerja – kita
memperoleh kesan bahwa mereka yang berbeda keyakinan/agama dengan kita itu ternyata adalah orang-orang baik, suka
bersahabat, jujur, rendah hati, toleran, suka membantu, dan sebagainya dan
seterusnya, maka kita bisa simpulkan, walau secara a’priori, bahwa di balik orang-orang baik ini pasti ada nilai-nilai
kehidupan baik yang di anut, dan nilai-nilai kebaikan itu juga mencerminkan
keyakinan/agama yang mereka anut. Artinya: saya menghargai Islam atau Kristen
bukan karena saya memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang agama Islam atau
Kristen, melainkan karena kesaksian hidup
yang kita alami bersama!
Implikasi dari cara pandang di atas ialah bahwa:
1. Sekolah harus menjadi ruang latihan
dan praksis hidup bersama bagi anak-anak didik untuk mengenal kekayaan,
kekuatan, dan keindahan hidup bersama sebagai satu keluarga besar dalam hidup berbangsa
dan bernegara.
2. Sekolah harus menjadi ruang belajar yang
menghargai perbedaan dan mengedepankan metode penyelesaian perbedaan menurut
cara-cara beradab, penuh semangat toleransi, dan saling respek.
3. Materi pelajaran, terutama pelajaran
agama, yang mendiskriminasi atau mengkafirkan pihak lain harus dibuang
jauh-jauh.
4. Para guru harus menjadi teladan
toleransi dan penghayatan kemajemukan di dalam kelas.
5. Kepala Sekolah hendaknya memiliki leadership and managerial skills yang
mampu mengawal kehidupan bersama yang harmonis di lingkungan sekolah dan dalam
hubungan dengan masyarakat.
[1]
Robert B. Baowollo belajar ilmu-ilmu pendidikan dan psikologi pada universitas
Hamburg (Republik Federal Jerman) dan studi perdamaian &resolusi konflik
pada universitas Gadjah Mada – Yogyakarta. Saat ini ia bekerja sebagai
konsultan manajemen peningkatan mutu pendidikan dasar di pedesaan dan peneliti
independen untuk masalah-masalah konflik etnis dan agama, multikulturalisme,
fundamentalisme, dan separatisme.