Minggu, 17 Januari 2016

MENCEGAH FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME MULAI DARI RUANG KELAS DI SEKOLAH (republished)


oleh Robert B. Baowollo[1]

Pengantar: Beberapa Paradoks Dunia Pendidikan dan Realitas Hidup Berbangsa

Ada banyak paradoks memprihatinkan yang terjadi dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia pada saat ini, beberapa di antaranya, misalnya: (a) negeri ini setelah lebih dari 60 tahun tidak henti-hentinya dilanda konflik etnis dan agama – suatu realitas yang sesungguhnya tidak normal dan keadaan itu tidak bisa dilukiskan sebagai baik-baik saja. Juga, bahwa hal itu berlawanan dengan cita-cita bersama untuk hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi pada saat yang sama kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita masih mengandaikan bahwa semuanya baik-baik saja, tidak ada masalah: konflik, ya konflik – sekolah, ya sekolah; keduanya seolah tidak saling berhubungan; (b)  Pembangunan di sektor hidup beragama mendapat perhatian sangat besar, tetapi upaya pembangunan luar biasa itu tidak lantas berkorelasi langsung dan positip dengan kualitas hidup bersama sebagai praksis beriman: rumah ibadah kita banyak dan megah, ibadah-ibadah kita juga megah dan meriah, tapi praktek korupsi dari orang-orang yang mengaku bergama itu juga sangat megah dan meriah!; (c) khotbah-khotbah dari hampir semua rumah ibadah gencar menyampaikan pesan kasih – bahkan ada perintah: kasihilah musuh-musuhmu! – dan ada harapan besar agar agama-agama dan umat beragama menjadi rahmatan lil alamin. Tetapi pada saat yang sama kita justru menyaksikan berbagai aksi kekerasan serta teror (bom) atas nama agama yang justru membuat banyak orang menderita. Bahkan perbuatan-perbuatan menyengsarakan orang lain itu disambut dan dirayakan dengan pekik sorak kemenangan dan rasa syukur kepada Allah; (d) Para pelaku kekerasan, mulai dari pelaku teror bom, pelaku penyerangan terhadap kelompok etnis dan agama lain dan terhadap kelompok-kelompok masyarakat minoritas, para pelaku tawuran anak sekolah hingga mahasiswa – mereka semua pasti pada suatu masa pernah menjadi anak-anak kecil manis, disayang orang tua, dibelikan baju baru, diantar kesekolah, mengalami masa-masa cerah dan ceriah di sekolah, banyak menimba ilmu pengetahuan yang bermanfaat, etc. Tetapi mengapa sebagian anak-anak muda yang lahir dari proses kasih sayang di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah itu justru menjadi manusia-manusia intoleran, anti-kemajemukan, bringas, dan suka memaksakan ideologi mereka dengan cara-cara kekerasan? Apa yang salah dengan sekolah, masyarakat, dan keluarga-keluarga kita sebagai lingkungan belajar?

Empat contoh paradoks sosial di atas hanyalah merupakan puncak-puncak kecil dari gunung es kekerasan laten yang mengancam integrasi bangsa ini. Semua pihak, termasuk institusi pendidikan, harus merumuskan peran masing-masing untuk mencegah kehancuran dan kebangkrutan Indonesia sebagai rumah bersama. Sekolah adalah salah satu pilar terpenting proses pembentukan peradaban. Alangkah baiknya jika sekolah mulai menata diri untuk menjadi contoh praksis kemajemukan Indonesia. Tetapi sebaliknya, alangkah celakanya jika sekolah membiarkan dirinya menjadi lahan subur pembibitan mentalitas korup, radikalisme dan fundamentalisme yang cepat atau lambat akan melahirkan ideologi terorisme. Oleh karena forum ini adalah forum dinas/kementerian agama, maka saya membatasi diri untuk hanya berbicara mengenai tanggungjawab sekolah dalam menumbuhkan semangat pluralisme dan toleransi dalam hidup beragama dan bermasyarakat, serta mencegah agar sekolah tidak menjadi lahan persemaian benih-benih fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme.

Mengapa Sekolah?

Radikalisme itu tidak berawal dan berasal dari medan konflik seperti Afghanistan atau Bosnia, Palestina atau Iran, Belfast atau Basque. Radikalisme itu bertumbuh mulai dari dalam pikiran manusia! Radikalisme itu menyangkut pemikiran dan pola berpikir yang berasal dari proses pembentukan cara berpikir. Oleh karena itu, sekolah adalah institusi yang paling bertanggungjawab terhadap munculnya radikalisme dan fundamentalis beserta segala ekses yang ditimbulkannya.

Arah pendidikan nasional dan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita sudah lama dibajak, keluar dari rel filosofi pendidikan dan cita-cita kemerdekaan untuk memanusiakan manusia Indonesia, dan hanya menjadi abdi/budak kolonialisme modal, kapitalisme dan industri modern yang berjarak dengan rakyat miskin. Anak-anak di sekolah belajar atau diajari ilmu-ilmu tinggi untuk bisa memasuki abad industri dan abad informasi, tetapi pada saat yang sama anak-anak yang sama justru gagap dan gagal mengenal dan beradaptasi dengan alam lingkungan di sekitar mereka. Isi kurikulum kita mengandaikan bahwa seolah-olah nanti semua anak Indonesia akan menjadi dokter, insinyur, profesor, dan lain-lain, pada hal angka putus sekolah dan pengangguran jelas-jelas masih sangat memprihatinkan: anak-anak muda itu tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak mampu meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukan saja karena faktor biaya – sebagaimana banyak dituduhkan – tetapi juga karena pembenahan kurikulum berbasis kompetensi masih belum menghasilkan kompetensi yang diharapkan. Upaya mengembalikan keputusan tentang substansi materi pembelajaran kepada satuan pendidikan masing-masing dengan introduksi KTSP juga belum mampu membuat proses pembelajaran yang memampukan anak didik menguasai alam lingkungan di sekitar satuan pendidikan mereka. Mereka kemudian terlempar kembali ke masyarakat dengan bekal yang serba tanggung: tau banyak hal tapi hanya sedikit-sedikit dari yang banyak itu, dan dari yang sedikit-sedikit itu hampir tidak ada yang bisa diterapkan dalam hidup mereka.

Salah satu dampak ‘robotisasi’ produk pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia (sebuah istilah yang menyamakan manusia sebagai barang modal sejajar dengan sumberdaya alam, dll.) demi melayani kebutuhan dunia industri kapitalis itu adalah lemahnya penanaman sistem nilai pada anak didik. Sekolah cenderung mengabaikan proses dan mementingkan output: yang penting angka lulusan tinggi, terserah apakah target itu mau dicapai dengan cara halal atau tidak halal, semua itu tidak penting. Sekolah lalu kehilangan peluang dan peran utama dalam pembentukan karakter manusia muda Indonesia akibat pragmatisme pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus kembali kepada fungsinya sebagai tempat berlangsungnya proses persemaian dan pembentukan manusia berbudaya dan berakhlak, manusia yang mempunyai karakter untuk merawat ko-eksistensi damai antara manusia dengan alam lingkungannya, menjadi manusia yang menolak kekerasan dan mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Sekolah dan Lahan Pembibitan Fundamentalisme

Fundamentalisme dan radikalisme adalah dua fenomena yang memprihatinkan dewasa ini. Para pemimpin negeri ini seperti gagap, tidak siap, dan tidak mampu mengatasi akar persoalan fundamentalisme dan radikalisme yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fundamentalisme sebenarnya mengandung makna yang netral: orang mau kembali ke pada dasar-dasar (fundamentals) ajaran/doktrin agama yang asli dan benar. Karena itu fundamentalisme sering disebut sebagai gerakan puritan = gerakan yang ingin memurnikan kembali (purifikasi) ajaran/doktrin agama dari tafsir dan praktek yang dinilai sudah melenceng dan sesat. Gerakan fundamentalisme sebenarnya berasal dari sejarah Kekristenan, terutama sejarah Kekristenan di Amerika Utara pada awal abad 20 sebagai reaksi terhadap teori evolusi Darwin yang dianggap bertentangan dengan Kitab Suci dan dasar-dasar doktrin iman Kristiani. Dewasa ini pembicaraan mengenai fundamentalisme seolah-olah hanya merujuk kepada kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan radikal. Padahal di dalam kelompok-kelompok Kristen juga terdapat kelompok-kelompok fundamentalis yang tidak kalah sengitnya dalam ‘memerangi’ doktrin kekristenan pada gereja-gereja tradisional. Fundamentalisme bersifat ortodoks, puritan, tertutup atau suka menutup diri. Kelompok-kelompok fundamentalis menganggap hanya keyakinan mereka saja yang (paling) benar, keyakinan lain di luar mereka adalah salah dan sesat. Kelompok fundamentalis, terutama fundamentalisme agama,  mempunyai kecenderungan dan obsesi untuk menaklukkan dunia yang dipandang sebagai kafir, sesat, bida’a, dan semua keyakinan atau ideologi yang dianggap tidak sejalan dengan cara pandang menurut kacamata doktrin kaum puritan.

Kurikulum pelajaran agama dan praktek pengajaran agama di sekolah-sekolah kita, juga di berbagai pengajian dan/atau kegiatan katekisasi, masih sarat dengan muatan fundamentalisme yang mendiskualifikasi orang yang berkeyakinan lain sebagai salah, sesat, kafir, dan karena itu tidak bakal masuk surga. Anak-anak yang masih polos diracuni dengan pandangan fundamentalisme, bahwa, misalnya: “hanya mereka yang percaya pada nama Yesus Kristus saja yang akan diselamatkan” [lalu yang tidak/belum percaya Yesus itu (di)hanyut(kan) ke mana? Bagaimana nasib orang-orang yang lahir sebelum Yesus? Apakah mereka juga harus masuk neraka gara-gara Yesus terlambat lahir? Apakah orang-orang tua kita, nenek moyang kita, yang sangat saleh dan teguh memegang etika adat istiadat, hidup damai dan penuh toleransi, itu juga harus masuk neraka gara-gara belum dibaptis menjadi pengikut Kristus?];  atau “mereka yang tidak percaya pada Al-Qur’an, Hadist, dan Nabi Muhammad saw adalah orang-orang kafir. Dan bahwa orang-orang kafir itu bakal masuk neraka semua dan pantas diperangi,” dan sebagainya, dan seterusnya. 

Anak-anak pada usia dini sudah diindoktrinasi dengan pemikiran diskriminatif yang berdampak pada diseminasi kebencian pada semua yang lain, pada semua yang berbeda dari keyakinan dan identitas mereka: Anak-anak Muslim dilarang bergaul dengan anak-anak Kristen, demikian pula sebaliknya. Dan semua ini diajarkan dengan bangga dan didasarkan pada keyakinan untuk menjalankan perintah agama. Pantaskah agama-agama, sebagai lembaga, melalui sekolah mengajarkan kebenaran-kebenaran dangkal seperti itu?

Sekolah-sekolah kita juga, terutama sekolah-sekolah umum/negeri dari hari ke hari mulai dikelola dengan pola segregasi dengan semangat sektarian. Kultur kelompok mayoritas dipaksakan untuk menyeragamkan semua yang tidak seragam, yang tidak sesuai dengan identitas kelompok mayoritas. Pemerintah-pemerintah daerah, dengan menggunakan dalil otonomi daerah, mengeluarkan produk peraturan daerah sebagai payung hukum untuk membenarkan dan melestarikan diskriminasi dan pemaksaan penyeragaman di sekolah. Maka, sejak itu perbedaan dan keragaman bukan lagi merupakan sebuah kekayaan tetapi malah dianggap aneh dan salah, dan karena itu harus ditaklukkan melalui politik penyeragaman identitas. Pola-pola pembinaan siswa (dan mahasiswa) semakin merapat ke kelompok-kelompok fundamentalis yang berada di luar sekolah (dan kampus) – suatu kondisi yang menimbulkan friksi dalam pengelolaan kemajemukan di sekolah dan kampus yang berdampak pada menguatnya segregasi sosial di masyarakat dan melestarikan prasangka dan kebencian antar kelompok (suku dan agama) di negeri ini.

Radikalisme: Faktor-Faktor Psikologis

Radikalisme, terutama radikalisme agama, adalah fenomena yang melanda sebagian besar kaum muda dan menjadi fenomena yang paling memprihatinkan di negeri ini pada saat ini. Terma dan konteks radikalisme (dari kata Latin: radix = akar) secara politik muncul pertama kali pada akhir abad 18 dan terus mengalami perubahan makna. Secara sederhana, radikalisme merupakan sebuah bentuk orientasi politik yang menghendaki perubahan-perubahan fundamental, drastis, dan revolusioner – karena itu merujuk pada terma radix à perubahan-perubahan pada (tingkat) akar. Kepedulian kita terhadap fenomena radikalisme dan maraknya tindakan kekerasan atas nama agama, baik dalam bentuk terorisme maupun tindakan-tindakan intoleran terhadap kelompok-kelompok minoritas adalah karena para pelaku berbagai aksi kekerasan itu adalah anak-anak muda yang masih dalam masa pendidikan atau belum terlalu lama meninggalkan dunia pendidikan. Bahkan dalam kasus 11 September, misalnya, para pelakunya (Moh. Ata cs.) adalah mahasiswa-mahasiswa pada universitas-universitas terbaik di Barat!). Apa yang salah dengan dunia pendidikan?
Berikut ini penjelasan tentang beberapa faktor sosio-psikologis yang berpotensi mendukung atau mendorong seseorang, terutama anak-anak muda yang masih mencari-cari orientasi hidup, untuk mengadopsi ideologi radikalisme dan bergabung dengan kelompok-kelompok radikal dan terorisme dan sekaligus menjadi alasan untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka:

1.      Ideologi/agama yang menjanjikan solusi gampang dan praktis atas semua persoalan hidup di dunia. Anak-anak muda (dan siapa saja yang berada pada fase labil) amat mudah didekati dengan cara-cara persuasif, dibujuk-rayu untuk yakin pada kebenaran absolut ideologi tertentu. Jika manusia-manusia muda ini sudah bergabung dengan kelompok-kelompok radikal yang lebih besar maka mereka akan mendapat tekanan dari kelompok sedemikian rupa hingga mereka akhirnya mampu beradaptasi dan menerima ideologi baru itu, tidak lagi mempersoalkannya, bahkan merasa nyaman dengan cara pandang baru itu. Mereka juga tidak diperkenankan untuk berpikir dan bersikap kritis. Para mentor mereka menggunakan berbagai seremoni (sumpah/baiyat) dan teknik-teknik menghilangkan akal sehat dan kesadaran lainnya untuk memanipualsi cara berpikir anak muda. Mereka kemudian diisolasi dari dunia luar.

2.      Keyakinan yang sangat kuat bahwa tidak ada alternatif lain untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di dunia ini selain alternatif yang ditawarkan oleh ideologi/agama. Di sini telah terjadi proses pendangkalan spektrum psikologis (anak-anak muda mengalami psiko-patologis seperti depresi atau stress yang ekstrem).

3.      Dunia ini diinterpretasikan menurut sebuah persepsi ‘menyeluruh’ yang tidak boleh disangsikan lagi. Lagi-lagi di sini terjadi proses mendangkalkan spektrum psikologis – sebuah contoh dari model characteristics of cults = anak-anak muda itu mengidolakan solusi yang ditawarkan oleh sebuah ideologi/agama (atau tokoh kharismatis tertentu). Anak-anak muda sering memasang stiker berikut ini di kaca mobil mereka: Jesus is the answer atau Islam is the answer. Mereka menyodorkan isntant answers ( jawaban ces-pleng) untuk semua persoalan tetapi tidak ada yang tau persis what is the question?

4.      Pemimpin kharismatis yang menarik pengikut-pengikutnya. Para pengikut pemimpin kharismatis menerima begitu saja, dan merasa nyaman, dengan ideologi dan perintah dari sang pemimpin mereka. Psikologi merumuskan secara baik gejala ini sebagai bentuk konformitas dan kepatuhan, cara berpikir kelompok (group thinking), dan pengidolaan (cults).

5.      Adanya kesadaran tentang siapa saja in-group saya dan bahwa in-group saya sedang dalam bahaya. Mereka mendefinisikan – dan dengan demikian membedakan – diri mereka dengan dunia di luar mereka dalam terma ‘kami melawan mereka’, sebuah fenomena psikologis polarisasi in-group vs. out-group.

6.      Adanya pola pikir stereotipe dan memandang dunia secara hitam-putih tanpa ruang kompromi atau area abu-abu sedikit pun. Mereka menilai secara kategorial pihak lain sebagai salah, sesat, jelek, brengsek, etc. dan bahwa hanya mereka yang paling benar dan karena itu paling baik.

7.      Adanya atmosfer dukungan terhadap langkah-langkah kekerasan yang pernah mereka ambil. Nilai dan norma kelompok ideologi mereka membenarkan apa yang mereka lakukan.

8.      Tujuan perjuangan mereka jauh lebih penting ketimbang memikirkan nasib manusia yang menjadi korban tindakan mereka. Semua cara dianggap halal, legal dan legitim, untuk mencapai tujuan mereka. Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai moral disengagement (Bandura): membenarkan tindakan mereka menurut ukuran moral yang mereka anut (moral justification), euphemistic labeling, membanding-bandingkan segala sesuatu dengan memakai tolok ukur diri mereka sebagai model yang paling baik (advantageous comparison), tidak merasa ikut bertanggungjawab bila ada kerusakan atau korban akibat tindakan mereka (displacement of responsibility), merendahkan dan/atau mempersalahkan orang lain yang dipersepsi sebagai ‘yang tidak berkenan di mata mereka’ (dehumanization and attribution of blame).

9.      Sense of futility – perasaan yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa berubah atau berjalan dengan baik terkecuali melalui penggunaan kekerasan. Hal ini lebih merupakan situation effect dan/atau akibat de-individuation dan de-humanization.

10.  Pandangan yang mengatakan bahwa kehancuran sistem sosial dan sistem pemerintahan, keruntuhan rejim yang berkuasa, atau bahkan kehancuran seluruh dunia merupakan hal yang tak terhindarkan.

11.  Adanya kedadaran tentang keterbatsan waktu: perubahan harus terjadi sekarang juga!

12.  Usia muda merupakan faktor yang rentan terhadap semua proses manipulasi di atas. Anak-anak muda rentan terhadap proses radikalisasi.

Residu Sejarah dan Apa Yang Bisa Dilakukan Sekolah

Studi-studi yang dibuat oleh Dian Interfidei Yogyakarta, CRCS UGM dan PSKP UGM – sendiri-sendiri maupun bersama – menyimpulkan bahwa praksis pengajaran agama di sekolah (kurikulum/silabus, isi buku pelajaran, metode pembelajaran, dan arah pengajaran) masih ‘terkontaminasi’ oleh virus sektarian, intoleransi, dan posisi yang mengklaim kebenaran mutlak pada kelompok sendiri dan menganggap yang lain sebagai sesat. Realitas ini, cepat atau lembat, akan mendorong penguatan segregasi sosial di masyarakat berbasis agama (dan etnis). Realitas segregasi seperti itu tidak hadir begitu saja atau tiba-tiba turun dari langit. Semuanya bersumber dari semangat pewartaan: missi/zending dan da’wah yang berkompetisi sepanjang sejarah untuk memperebutkan ummat, baik dalam nama kristenisasi maupun islamisasi terhadap penduduk pribumi Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa persaingan missi/zending versus da’wah sejak awal berjalan penuh kekerasan berdarah-darah – sebuah situasi yang kemudian mewariskan rasa persaingan dan permusuhan antar-agama hingga hari ini.
Jauh sebelum konflik antara Timur (Islam) dan Barat (Kristen) yang kita warisi saat ini (terutama dalam diskursus Perang Salib), di antara agama-agama besar itu sendiri sudah ada konflik internal dengan nuansa politik dan kekerasan yang sangat kental. Demikian, misalnya, konflik atau tepatnya kontestasi antara Khalifah Abbasiyah di Bagdad (750 – 1258) dengan Khalifah Umayyah. Khalifah Abbasiyah mengusur kekuasaan Khalifah Umayyah hingga tersisa provinsi Al-Andalus (Spanyol) (711-1492) yang kemudian jatuh ke tangan pasukan Kristen-Spanyol di bawah perintah Raja Ferdinand dan Ratu Isabela (1492). Khalifah Bagdad kemudian ditundukkan Hulagu Khan dari Mongolia hingga akhirnya Islam kemudian dapat bersinar kembali sejalan dengan munculnya Kesultanan Ottoman (Utsmani) sebagai icon kebangkitan dan keemasan tata pemerintahan dan keperkasaan Islam (melawan Eropa) dengan pusat di Contstantinopel (Istanbul). Demikian pula kontestasi antara Romawi Barat dengan Romawi Timur (Bizantium) berujung dengan jatuhnya Konstantinopel ke Ottoman (1453) dan menjadi Islam (sampai hari ini). 

Eropa yang Kristen juga terperangkap dalam perang agama (dan politik) antara sesama denominasi Kristen (Katolik dan Protestan) selama 155 tahun (1560 – 1715). Konflik politik/agama di Negeri Belanda (basis Protestan-Calvinis) pada jaman kolonial ikut memberi warna persaingan missi (katolik) dan zending (Protestan) di Hindia Belanda dan berdampak pada pembentukan karakter pengajaran agama Kristen di sekolah-sekolah serta praktek perebutan political goods sejak jaman Hindia Belanda sampai hari ini, terutama di Maluku, Timor/Flores, Minahasa, dan Papua. Demikian pula konflik Timur Tengah yang berpusat pada isu Palestina-Israel dan hubungan dunia Arab dengan Amerika-Barat-Kristen, juga perang di Timur Tengah, khususnya di Afganistan, dan persoalan separatis komunitas Muslim di Philipina Selatan – semuanya ikut membentuk karakter politik sektarian di negeri ini dan berpengaruh terhadap corak pengajaran agama di sekolah-sekolah.

Dalam latar belakang seperti itu muatan khotbah, da’wa, dan isi buku pelajaran agama-agama di sekolah-sekolah dalam sebuah Indonesia post-colonial cenderung terjebak untuk menghidupkan kembali romantisme masa lalu sambil menyakiti diri dengan mengusik-usik luka dan duka sejarah masa lalu – semuanya untuk memprovokasi kesadaran kolektif beragama secara lebih radikal. Pengajaran agama di sekolah-sekolah tidak lagi diarahkan untuk menghadapi realitas masa depan yang tidak terelakkan: yaitu masyarakat multikultur, pluralis, masyarakat global, dll, tetapi terjebak untuk bernostalgia ke belakang untuk memulihkan kejayaan masa lampau dengan cara menutup diri, menjadi fundamentalis. Semua kegagalan dan kebangkrutan dunia hari ini ditimpakan pada kesalahan manusia akibat tidak berjalan di jalan Allah. Karena itu solusi untuk semua persoalan, mulai dari urusan pemerintahan yang gagal, penyakit dan kelaparan, korupsi, badai topan dan bencana tsunami, kalah di lapangan bola atau listrik PLN mati terus – menurut kelompok dengan cara pandang ini – semuanya hanya bisa diatasi dengan satu jurus ampuh: kembali ke jalan Allah dan serahkan semua kepada Allah. Biarlah Allah yang mengatur. Maka pada titik inilah, rasio – akal budi manusia yang dianugerahkan Tuhan untuk berpikir guna mengatasi persoalan – malah dipensiunkan! Inilah cara berpikir fatalis.

Apa Yang Bisa Dilakukan Sekolah

Kita secara individu maupun kelompok tidak pernah mampu mempelajari detail sebuah keyakinan/agama sebelum akhirnya merasa yakin dan menyimpulkan bahwa agama si A atau si B itu baik dan karena itu kita boleh bergaul, bersahabat, atau bertetangga dengan seseorang dari komunitas dengan keyakinan berbeda dengan kita. Yang sebaliknya malah lebih mungkin: dari pergaulan sehari-hari – sebagai sahabat, tetangga atau rekan kerja – kita memperoleh kesan bahwa mereka yang berbeda keyakinan/agama dengan kita itu ternyata adalah orang-orang baik, suka bersahabat, jujur, rendah hati, toleran, suka membantu, dan sebagainya dan seterusnya, maka kita bisa simpulkan, walau secara a’priori, bahwa di balik orang-orang baik ini pasti ada nilai-nilai kehidupan baik yang di anut, dan nilai-nilai kebaikan itu juga mencerminkan keyakinan/agama yang mereka anut. Artinya: saya menghargai Islam atau Kristen bukan karena saya memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang agama Islam atau Kristen, melainkan karena kesaksian hidup yang kita alami bersama!

Implikasi dari cara pandang di atas ialah bahwa:

1.      Sekolah harus menjadi ruang latihan dan praksis hidup bersama bagi anak-anak didik untuk mengenal kekayaan, kekuatan, dan keindahan hidup bersama sebagai satu keluarga besar dalam hidup berbangsa dan bernegara.
2.      Sekolah harus menjadi ruang belajar yang menghargai perbedaan dan mengedepankan metode penyelesaian perbedaan menurut cara-cara beradab, penuh semangat toleransi, dan saling respek.
3.      Materi pelajaran, terutama pelajaran agama, yang mendiskriminasi atau mengkafirkan pihak lain harus dibuang jauh-jauh.
4.      Para guru harus menjadi teladan toleransi dan penghayatan kemajemukan di dalam kelas.
5.      Kepala Sekolah hendaknya memiliki leadership and managerial skills yang mampu mengawal kehidupan bersama yang harmonis di lingkungan sekolah dan dalam hubungan dengan masyarakat.


[1] Robert B. Baowollo belajar ilmu-ilmu pendidikan dan psikologi pada universitas Hamburg (Republik Federal Jerman) dan studi perdamaian &resolusi konflik pada universitas Gadjah Mada – Yogyakarta. Saat ini ia bekerja sebagai konsultan manajemen peningkatan mutu pendidikan dasar di pedesaan dan peneliti independen untuk masalah-masalah konflik etnis dan agama, multikulturalisme, fundamentalisme, dan separatisme.